Senin, Desember 22, 2008

63. "Kegembiraan Kepada Dunia" - "Kegembiraan Di Dalam Hati

Kamis, 24 Desember 2008
Vigili Natal
Bacaan: Yes 9:2-4.6-7; Titus 2: 11-14; Lk 2: 1-6

Akhirnya Natal itu hadir sekarang dan di sini. Selama empat Minggu kita setia dalam penantian sambil berdoa demi datangnya berkat-berkat Natal. Pada hari ini, ya pada malam ini, para malaikat membawa khabar baik tentang kegembiraan besar bagi seluruh umat: "Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus Tuhan di kota Daud." Kelahiran Kristus membawa kegembiraan besar dan damai bagi dunia, bagi seluruh umat manusia.

Natal telah mengumandangkan kegembiraan kepada kita, dan itu benar, tapi bagaimana kegembiraan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupku? Saya kira, itulah pertanyaan yang sangat penting saat ini untuk kita masing-masing. Sekalipun Allah telah memaklumkan kegembiraan kepada seluruh dunia, namun kita tahu, ada begitu banyak orang di antara kita di dunia ini yang tidak merasakan aliran rahmat kegembiraan itu, banyak dari antara kita yang belum tahu tentang bagaimana menimba kegembiraan itu dan menghayatinya sebagai bagian dari hidupnya sendiri.

Pertanyaan kita adalah "Bagaimana kegembiraan Natal itu menjadi kegembiraan kita sebagai pribadi? Memang lebih mudah untuk menjelaskan tapi sungguh berat untuk mempraktekkannya. Walaupun demikian saya ingin menjelaskan kegembiraan ini dengan meminjam kata JOY yang digunakan oleh masyarakat di negerinya Pangeran Charles.

JOY kata Bahasa Inggris yang berarti gembira. Ada tiga huruf yang membentuk kata JOY. Pertama, J, kemudian O dan terakhir Y. J berarti Jesus, O untuk Others dan Y untuk You. Dengan demikian JOY artinya YESUS, SESAMA, ANDA. Maka untuk sungguh-sungguh mengalami kegembiraan itu dalam hidup, pertama-tama kita perlu menempatkan Yesus di atas segala-galanya, lalu berusaha mempersilakan sesama sebelum anda mempersilakan dirimu sendiri. Inilah resep untuk Kegembiraan. Itulah pula caranya kita mengubah Kegembiraan Natal kepada dunia ke dalam suatu kegembiraan pribadi dalam hidup kita sekarang dan selalu.

Sebagaimana kita telah mendengarkan cerita Natal, kini saatnya untuk menaruh perhatian kepada interaksi yang terjadi di antara umat di lingkungan kita masing-masing. Apakah anda senantiasa berusaha mendahulukan Yesus dan sesama, atau, anda lebih tertarik pada upaya mendahulukan diri sendiri? Kita akan menemukan bahwa mereka yang mempraktekkan: mendahulukan Yesus, sesama, lalu diri sendiri adalah orang-orang yang sungguh-sungguh mengalami Damai dan Kegembiraan itu, ketimbang orang-orang yang lebih berminat untuk mendahulukan diri sendiri. Berikut ini ada beberapa contoh yang coba direfleksikan berdasarkan peristiwa dari Kitab Suci.

Di satu pihak, kita tahu bahwa cukup banyak warga Betlehem menolak Yosef dan Maria di tengah dinginnya malam, sementara mereka menikmati hangatnya malam di rumah mereka masing-masing. Di sana ada pula Herodes yang ingin mengamankan dirinya sebagai raja dengan mengeluarkan perintah untuk membunuh Yesus dan anak-anak lain yang tak berdosa. Orang-orang ini tidak pernah memperoleh pengalaman kegembiraan dari kabar baik.

Pada sisi yang lain, para gembala rela meninggalkan segala milik mereka, domba-dombanya, melewati semak-semak karena ingin menghormati Yesus. Ada pula tiga raja atau orang-orang bijak dari Timur yang meninggalkan keamanan hidup di tanah airnya dan rela melakukan suatu perjalanan panjang yang berbahaya menuju Yerusalem demi menyembah bayi Yesus yang baru lahir sekaligus mempersembahkan kado kepada-Nya. Mereka adalah orang-orang yang menerima kemurahan Allah, orang-orang yang mengalami dalam hatinya Damai dan Kegembiraan Sejati Natal.

Maka, hendaklah kita mengikuti contoh-contoh baik dari mereka dengan selalu menempatkan Yesus dan Sesama sebelum diri sendiri dan dengan ini kegembiraan Natal akan selalu bersama kita. Amin.

Copyright © 22 Desember 2008 by Paskalis Berkmans, SVD

62. Mensyukuri Dia yang Memberikan Arti Bagi Keberadaan Kita.

Kamis Pagi, 24 Desember 2008

Bacaan : Luk 1, 67-79

Membaca Injil hari ini, pikiran kita langsung diarahkan kepada Nyanyian Zakaria yang menjadi bagian integral dari Doa Offisi Gereja. Nyanyian yang biasa dibawakan pada setiap pagi ketika orang mendaraskan atau menyanyikan Ibadat Pagi Gereja.

Ketika kita membacanya, sebenarnya kita diajak juga mengajukan pertanyaan ini: mengapa Nyanyian Zakaria diangkat sebagai Nyanyian Gereja setiap pagi dalam ibadatnya? Adakah sesuatu yang fundamental diwartakan olehnya, sehingga tak pernah terlewatkan oleh Gereja dalam doa hariannya?

Salah satu penggalan Injil hari ini kita baca, “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya, [ ... ] Dan engkau, hai anakku, akan disebut nabi Allah Yang Mahatinggi; karena engkau akan berjalan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya, [ ... ] dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi, untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.”

Bagaimanakah Zakaria mengartikan peristiwa kehadiran Tuhan yang antisipasinya tengah dialaminya dalam kelahiran sang anak, Yohanes Pembaptis? Ketika menyampaikan pujian kepada AllahNya, Zakaria dipenuhi kekaguman terbesar dalam hidupnya. Ia memandang wajah anaknya seraya mengerti sepenuhnya bahwa Allah tengah memulai sesuatu yang baru dalam sejarah hidup manusia, sesuatu yang sangat berarti sehingga tanpaNya, hidup ini tak berarti sama sekali. Itulah yang disampaikannya dengan Sang Surya yang menyinari mereka yang diam dalam kegelapan.

Tetapi apakah seperti Zakaria, kita melihat aspek ini dalam hidup kita oleh kehadiran Tuhan? Yesus lahir untuk memberikan kita kesadaran baru ini, bahwa dengan Allah segala yang terjadi dalam hidup memiliki artinya.

Tuhan, anugerahkan aku mata dan hati untuk menyelami kehadiranMu yang menyelamatkan di setiap hari kehidupanku. Terpujilah Engkau ya Allah, karena mengunjungi kami umatMu dan terus menemani kami dalam ziarah hidup harian kami. Amin.

Copyright © 22 Desember 2008, by Anselm Meo, SVD

Minggu, Desember 21, 2008

61. Mengagumi Karya Tuhan dalam Pujian

Selasa, 23 Desembre 2008

Lukas 1, 57-66

Injil hari ini berkisah mengenai kelahiran Yohanes Pembaptis dan reaksi anggota keluarga dan juga orang-orang di sekitarnya. Kisah ini merupakan puncak dari lingkaran kisah kelahiran Yohanes Pembaptis yang dimulai dengan penampakan Allah kepada Zakaria di kenisah Yerusalem, pertemuan Elisabeth dengan Maria, kelahiran Yohanes Pembaptis yang di dalamnya juga ada lagu pujian Zakaria. Sejak peristiwa di kenisah Yerusalem, Zakaria menjadi bisu sehingga dia tidak bisa berkata-kata sama sekali.

Namun sejak saat itu, orang-orang di sekitar dan para anggota keluarganya mulai berbisik-bisik mengenai perisitiwa penuh rahasia yang terjadi di dalam keluarga imam dari kelompok Abia ini. Bisik-bisik itu semakin seru ketika Elisabet yang sudah tua itu melahirkan anak laki-laki dan Zakaria yang bisu itu kembali dapat berbicara. Maka lengkaplah kegemparan terhadap pasangan imam yang sudah uzur namun dikarunia anak. Peristiwa-peristiwa ini diliputi oleh berbagai hal ajaib sehingga memang anak yang dilahirkan itu membawa pratanda tertentu yang sampai saat itu belum diketahui secara persis. Makanya orang bertanya-tanya dan menyimpan semuanya dalam hati mereka masing-masing.

Menarik sekali bila kita merenungkan sikap yang ditunjukkan oleh anggota keluarga dan orang-orang di sekitar terhadap peristiwa ini. Zakaria yang bisu selama semua itu terjadi menjadi tanda bahwa dalam berurusan dengan penyelenggaraan ilahi mulutnya mesti dikatupkan untuk lebih banyak mendengarkan, merenungkan dan mendalami rencana Allah dalam dirinya, dalam diri anaknya. Masa bisunya Zakaria menjadi masa penuh rahmat baginya untuk melihat kembali sejarah keselamatan yang terjadi di tengah umat yang dilayaninya selama hidupnya. Dengan demikian sebagai pemimpin umat, jemaat , Zakaria mesti memberikan teladan dalam hal mendengarkan, merenungkan, mendalami karya Allah yang sedang terjadi di tengah umat.

Mesti muncul sikap kagum pada pihak Zakaria sehingga ketika semua hal yang dijanjian terpenuhi ia bisa mewartakan kemuliaan Allah. Hasil masa bisu suci itu muncul dalam bentuk madah pujian. Anggota keluarga dan orang-orang sekitar yang berbisik-bisik menunjukkan perhatian mereka pada peristiwa yang sedang terjadi di tengah mereka. Mereka bertanya-tanya dalam hati mengenai arti dari semuanya itu; sekali satu sikap mendengarkan, merenungkan dan mendalami peristiwa itu. Mereka hanya sampai di situ. Sedangkan Zakaria berlangkah lebih jauh: memadahkan hasil permenungannya, mewartakannya kepada orang lain. Dengan itu orang lain terbantu untuk mengakui karya agung Tuhan di tengah umat.

Tuhan, berilah aku kesanggupan untuk mendengarkan, merenungkan dan memadahkan karya agungMu di tengah umatMu. Amin

Copyright © 21 Desember 2008 by Paul Tolo SVD

60. Mensyukuri Sejarah Hidup

Senin, 22 Desembre 2008

Bacaan : Lukas 1, 46-55

Perikop injil hari ini sudah amat terkenal dengan nama “Magnificat Maria” atau “lagu pujian Maria”. Maria mengucapkan lagu pujian ini sebagai tanggapan atas pujian Elisabeth ketika keduanya bertemu di rumah Elisabeth. Elisabeth memuji Maria karena ia telah percaya kepada Sabda Tuhan. Sebagai balasannya Maria mengucapkan lagu pujian atas karya Allah dalam dirinya. Menarik sekali bahwa lagu pujian Maria itu berisikan sejarah bangsa Israel. Dengan itu Maria melihat dirinya sebagai bagian utuh dari bangsanya. Ia bukanlah bagian terpisah, yang berdiri sendiri. Apa yang terjadi atas bangsanya mempunyai pengaruh besar atas dirinya. Dan apa yang terjadi atas dirinya meneguhkan apa yang telah terjadi dalam bangsanya. Dengan demikian terlihatlah hubungan timbal balik yang begitu erat antara sejarah pribadi Maria dan sejarah bangsa Israel. Riwayat hidup (sejarah) masing-masing orang menjadi riwayat hidup (sejarah bangsa) dan sebaliknya juga. Apa yang terjadi pada diri Maria saat ini mengingatkan kembali akan apa yang terjadi pada masa dahulu kala dan pada masa yang akan datang. Dengan demikian riwayat hidup pribadi Maria menjadi membuktikan bahwa riwayat itu ada dalam penyelenggaraan Ilahi.

Riwayat hidup setiap orang dalam satu kelompok bangsa, umat, turut membentuk riwayat hidup dari kelompok dan umat itu. Itu terjadi kalau orang tetap merasa diri sebagai satu bagian utuh dari kelompok atau umat tersebut. Tanpa kesadaran ini orang akan merasa bahwa dirinya tidak memiliki hubungan timbal balik dengan bangsa, kelompok atau umat dimana dia menjadi bagian utuh. Ini yang orang sebut tercabut dari akar pengalaman, akar sejarah. Bila orang orang tersebut tidak ikut ambil bagian dalam seluruh pengalaman bangsa maka ia menjadi miskin dalam kekayaan pengalaman kelompok bangsa dan umat. Akibat lebih lanjut dia tidak mampu mensyukuri semua pengalaman pahit dan manis dari bangsanya, umatnya. Patut disayangkan kalau hal ini terjadi.

Maria menjadi contoh dalam mensyukuri sejarah hidup pribadi yang terajut sebegitu erat dan rapih dengan sejarah bangsa Israel. Dengan itu keyakinan pribadinya akan Allah yang setia pada janjiNya semakin kuat. Iman Maria adalah hasil dari iman bangsa dan sekaligus iman Mari memperkaya iman bangsanya sendiri. Setiap kita dapat melagukan syair pujian dan syukur serupa seperti Maria dalam setiap penggelan hidup kita entah manis maupun pahit.

Tuhan, Engkau hadir dalam sejarah hidupku dan sejarah hidup umatMu. Sadarkanlah aku selalu akan kehadiranMu ini.

Copyright © 21 Desember 2008 by Paul Tolo SVD

Jumat, Desember 19, 2008

59. Kristus Yang Tidak Kita Kenal

Minggu, 21 Desember 2008
Bacaan : Yes 61:1-2.10-11; 1Tes 5:16-24; Yoh 1:6-8.19-28

Adven adalah suatu masa kita mempersiapkan diri bagi kedatangan Tuhan. Tetapi, misalkan ada orang menyampaikan kepada kita bahwa Kristus yang sedang kita nantikan kedatangan-Nya, sudah ada di tengah-tengah kita sebagai salah seorang dari antara kita. Maka pertanyaannya adalah: "Apa yang dapat kita lakukan untuk mengenali bahwa ini sungguh-sungguh Kristus dan dan bukannya salah seorang dari antara kita?"

Ada suatu biara tua tengah mengalami krisis yang luar biasa. Beberapa rahib/biarawan meninggalkan biara, tidak ada calon-calon baru, dan umat tidak lagi datang untuk berdoa dan berkonsultasi sebagaimana mereka biasa lakukan. Beberapa rahib yang tinggal kian menjadi tua dan tertekan serta relasi di antara mereka begitu dingin dan tidak menyenangkan. Pemimpin biara mendengar tentang seorang pertama yang hidup sendirian di tengah hutan belantara dan ia memutuskan untuk berkonsultasi dengannya. Pemimpin biara menyampaikan kepada sang pertapa perihal keadaan biara mereka yang keanggotaan terus berkurang dan merosot pula semangat persaudaraan di antara mereka. Setelah mendengarkannya, Sang pertapa berkata, "aku punya satu rahasia untukmu. Salah satu dari para rahib yang sekarang hidup di biara itu sesungguhnya adalah Mesias, Kristus, tetapi ia sedang menjalalani suatu kehidupan yang membuat tak seorang pun di antara kalian mengenalinya."

Pemimpin biara kembali ke biaranya, lalu membuat undangan untuk pertemuan komunitas dan mengidentifikasi para anggotanya berdasarkan petunjuk yang disampaikan oleh pertapa itu. Ia memperhatikan setiap anggotanya dan terus berusaha untuk membuat pembedaan, siapakah di antara mereka yang barangkali Kristus. Mungkin Bruder Markus, katanya. Soalnya ia selalu berdoa dan terus berdoa sepanjang waktu. Cuma saudaraku yang satu ini juga memiliki sikap yang kurang baik terhadap saudaranya yang lain. Atau mungkin Bruder Yosef yang selalu siap untuk membantu? Tapi, Bruder Yosef juga selalu makan dan minum dan tidak tahu berpuasa. Lalu pemimpin biara mengingatkan para anggota biaranya bahwa Mesias telah mengadopsi beberapa kebiasaan yang kurang menyenangkan sebagaimana terjadi sekarang di sini sebagai suatu cara menyamarkan identitas real dirinya. Hingga kini ada kemajuan untuk mengenali siapa Kristus di antara mereka. Menjelang akhir pertemuan setiap anggota biara terbangun dari kesadaran dan setiap anggota mengatakan kepada saudaranya yang lain bahwa barangkali anda adalah Kristus itu, dan bukan aku.

Sejak hari itu, para rahib mulai saling memperlakukan dengan hormat yang besar dan dalam kerendahan hati, karena memahami bahwa pribadi yang itu, barangkali Kristus yang sesungguhnya. Mereka mulai menunjukkan cinta yang besar di antara satu terhadap yang lain, kehidupan bersama dihidupi dalam iklim persaudaraan dan kehidupan doa bersama menjadi lebih sungguh-sungguh. Perlahan-lahan umat mulai memperhatikan adanya semangat baru di biara tua itu. Serentak dengan itu, mereka pun mulai berdatangan untuk retret dan mengadakan latihan rohani. Ada perkembangan dalam keanggotaan karena kesaksian hidup para rahib tua. Mereka terus bertumbuh dengan penuh entusias dan dalam kekudusan. Semua perkembangan ini justru berkat seorang hamba Allah yang mengarahkan perhatian mereka kepada kebenaran bahwa Kristus tengah hidup di antara salah seorang dari mereka.

Dalam Injil hari ini, Santo Yohanes Pembaptis berusaha memaklumkan pesan yang sama kuatnya kepada orang-orang Yahudi pada zamannya yang lagi cemas-cemas menantikan kedatangan Mesias. Ia mengatakan kepada mereka: "Aku membaptis dengan air, tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak" (Yoh 1:26-27).

Alasan orang-orang Yahudi pada zaman Yesus tidak mengenali Yesus sebagai Mesias justru karena mereka telah memiliki gambaran yang definitip tentang siapakah Mesias yang akan datang. Mesias itu tiba-tiba akan turun dari Surga dengan kekuatan ilahinya dan dalam keagungannya dan akan memerintah kerajaannya dengan menghancurkan para musuh Israel. "Tentang orang ini kita tahu dari mana asal-Nya, tetapi bilamana Kristus datang tidak ada seorang pun tahu dari mana asal-Nya" (Yoh 7: 27). Maka ketika akhirnya Yesus lahir dari seorang wanita yang tampak kepada mereka tidak bedanya dengan wanita-wanita lain, mereka tidak mengenal-Nya. Yesus terlalu biasa, sederhana, juga begitu tidak menyenangkan.

Setelah dua ribu tahun lebih kelahiran Yesus, apakah kita yang hidup di zaman ini memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengenal Kristus di dalam pribadi-pribadi sederhana dan biasa seperti laki-laki dan perempuan-perempuan dan anak-anak di tengah kehidupan bersama kita dengan segala sikap, kebiasaan-kebiasaan dan penampilan yang tidak menyenangkan?

Copyright © 22 November 2008 by Paskalis Berkmans, SVD.

Rabu, Desember 17, 2008

58. Menjawab YA dan Percaya

Sabtu, 20 Desember 2008

Bacaan : Luk 1, 26-38

Injil hari ini menampilkan wajah lain dari mereka yang bertemu dengan Tuhan dalam keseharian pelayanan mereka. Kalau kemarin seorang imam, Zakharias, hari ini kita bertemu dengan seorang gadis desa, sederhana, Maria. Keduanya, baik Zakarias maupun Maria sama-sama diperhatikan oleh Allah, karena mereka meletakan harapan yang sama kepada Allah. Dan apa yang terjadi pada imam itu, juga terulang pula pada gadis desa ini. Mereka bertemu dengan Allah dan mendengarkan SabdaNya. Dan pasti bagi keduanya, Sabda Allah dipercayai sebagai mampu berbuat apa saja.

Injil Lukas mencatat hari ini, “Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.”

Dan Maria, sadar akan kelemahannya, ia tokh menjawab YA dan percaya, dan ia menjadi yang pertama percaya bahwa Allah sungguh menjadi manusia. Begitulah Injil hari ini melanjutkan kisah itu, “.... dan mendengar semuanya itu, kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu meninggalkan dia.” Berkat Ya dan Percayanya Maria, dunia berubah, dunia tak pernah menjadi sama lagi. Dia menjadi yang pertama di antara semua yang percaya.

Dan kita hari ini diajarkan jalan iman yang sama dengan yang pernah dilalui Maria. Mesti ada YA dulu lalu percaya dan bekerjasama dengan rahmat Allah. Maka dunia kitapun akan berubah, karena Tuhan Emanuel sudah ada bersama kita.

Tuhan, ajarilah kami jalan iman yang pernah ditapaki Maria. Kiranya kami menjawab YA juga dan percaya bahwa PutraMu bisa mengubah dunia melalui kami. Amin.

Copyright © 17 Desember 2008, by Anselm Meo, SVD

57. Kemenangan Cinta Allah atas Ketidakpercayaan Manusia

Jumat, 19 Desember 2008

Bacaan : Luk 1,5-25

Ketika membaca kisah pada permulaan Injil Lukas ini, pikiran kita dihantar kepada pertemuan dengan berbagai orangtua, kaum lansia yang hidup bersama kita ataupun yang kita layani sebagai bagian pekerjaan dan pelayanan kita. Lukas berkisah tentang kelahiran Yohanes Pembaptis, dan secara langsung pula tentang orangtuanya, Zakarias dan Elisabet.

Sudah tentu bagi keduanya kehidupan yang akan datang sudah di ambang pintu. Mereka tengah menantikan akhir hidup mereka, yang pasti juga sesuai dengan imannya, mereka menantikan saat pertemuan mereka muka dengan muka berhadapan dengan Allah Israel.

Tetapi ternyata Allah berkehendak lain. Harapan mereka untuk bertemu dengan Allah yang menjadi isi pengharapan mereka bukan terjadi pada masa yang akan datang, tetapi sedang di depan mata mereka. Kepada mereka Allah memenuhi harapan yang didambakan setiap orangtua Isarel yakni kehadiran anak. Dan hebatnya, anak yang diberikan kepada mereka bukan hanya untuk mereka, tetapi membuka jalan harapan bagi Isarel sebagai bangsa dan manusia seluruhnya.

Itulah yang dicatat Injil hari ini, “Maka tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan. Melihat hal itu ia terkejut dan menjadi takut. Tetapi malaikat itu berkata kepadanya: "Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes. Engkau akan bersukacita dan bergembira, bahkan banyak orang akan bersukacita atas kelahirannya itu. Sebab ia akan besar di hadapan Tuhan dan ia tidak akan minum anggur atau minuman keras dan ia akan penuh dengan Roh Kudus mulai dari rahim ibunya; ia akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan, Allah mereka, dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya."

Tetapi bagaimana reaksi Zakarias. “Tak mungkin, dan rasanya hal itu keterlaluan. Ia bukannya seorang yang tidak kenal dirinya dan keluarganya, tetapi rasanya khabar itu tak mungkin. Itulah sebabnya ia menjadi bisu. Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa sampai ia menjadi bisu? Kekuatan dan cinta Allah sedang berjumpa dengan ketidakpercayaan dari seorang putra Israel dan seorang imam pula yang melayaninya siang dan malam. Jadi Zakaria sebenarnya tak terbiasa mendengarkan dengan baik, sehingga ia tak berhasil pula berbicara dengan baik.

Tetapi itulah cinta dan kasih Allah. Kalau Allah sudah sedemikian mencintai manusia, ketidak percayaan manusia tak bisa menjadi hambatan. Kasih Tuhan akan memenangkannya. Dan Elisabet dalam masa tuanya mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Yohanes.
Nah, bersama kasih dan cinta Tuhan, tak akan pernah ada yang terlalu tua dan lelah untuk memberikan sesuatu yang indah dan sesuatu yang menggembirakan hati. Percayakah kita bahwa Tuhan memang mencintai kita secara sangat dahsyat.

Tuhan, semoga kasihMu mengalahkan ketidak percayaan hati kami. Kiranya kami masih layak untuk bekerjasama dengan rahmatMu. Amin.

Copyright © 16 Desember 2008, by Anselm Meo, SVD

56. Berkaca pada Yusuf

Kamis, 18 Desember 2008

Bacaan : Mat. 1, 18-25

Jika kita merefleksikan bacaan Injil pada hari ini, maka kita segera menemukan seorang figur yang berperan amat kuat dalam proses kelahiran Kristus. Tokoh itu adalah Yusuf, yang dalam silsilah Yesus disebut sebagai anak Matan. Adalah bagus kalau kita berkaca pada tokoh Yusuf ini, yang juga mewakili keseluruhan sisi kemanusiaan kita berhadapan dengan rencana dan kehendak ilahi. Pertama-tama yakni ketika dia harus memahami kenyataan Maria tunangannya yang telah mengandung dari Roh Kudus. Keadaan yang sulit dipahami dan diterima. Yusuf pun memutuskan untuk mau menceraikannya dengan diam-diam. Penginjil menulis bahwa ketulusan hati dan respek mendalam terhadap Maria membuatnya mengambil jalan ini, mau menceraikan Maria dengan diam-diam.

Situasi ini mewakili jalan pikiran setiap manusia, setiap kita. Untuk sesuatu yang tidak bisa kita pahami dengan kesanggupan akal budi (ratio) kita, maka biasanya kita segera menolak atau membantah dengan pelbagai alasan dan argumen. Menarik bahwa sesudah Yusuf tiba pada pertimbangan ini, malaikat Tuhan nampak padanya dalam mimpi. Inti penampakkan adalah agar Yusuf tidak takut mengambil Maria sebagai isterinya. “…sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.”

Bagaimana Yusuf mampu memahami hal ini? Sesuatu yang ganjil dan tidak masuk akal! Kalau Yusuf berhenti di sini, maka pasti dia akan segera menolak. Tapi dia terus mendengarkan semua yang dikatakan oleh malaikat Tuhan tentang bayi yang di dalam rahim Maria itu. Sampai pada akhirnya pada ayat 24: “Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya.” Pertanyaan kita adalaha bagaimana Yusuf tiba pada keputusan ini?

Jawabannya adalah iman. Iman yang berarti tidak semata-mata terpaku pada kemampuan berpikir dan intelek saja, tetapi juga dari kemauan mendengar dan bergerak melampaui kesanggupan berpikir. Yusuf sungguh percaya pada kata-kata Tuhan yang disampaikan kepadanya melalui mailkat. Dia sebetulnya secara sederhana mempersembahkan keterbatasan analisa akal budinya berhadapan dengan situasi Maria dan segera mengatakan: Tuhan aku percaya pada sabdaMu. Iman memang berangkat dari mendengarkan Tuhan dan memutuskan untuk membiarkan apa yang Tuhan kehendaki itu terjadi.

Kita sedang mempersiapkan diri menyambut kedatangan Kristus pada hari Natal-Nya. Ada banyak moment dalam hidup kita yang sulit kita pahami dengan kesanggupan akal budi kita. Sering kita menjadi putus asa dan kemudian mengambil jalan seperti yang pernah Yusuf lakukan. Tapi mestinya kita tidak lupa untuk juga mendengarkan Tuhan sebelum kita melakukan apa yang sudah putuskan. Tuhan tidak pernah membiarkan kita sendirian. Dia menghendaki agar kita pun bisa mendengarkan Dia dan terutama melakukan apa yang dikehendakiNya bagi kita.

Tuhan..tolonglah aku supaya bisa mendengarkan-Mu!

Copyright © 17 Desember 2008 by Paskalis Lina SVD

Selasa, Desember 16, 2008

55. Rencana Ilahi dalam Sejarah Manusia

Rabu, 17 Desembre 2008

Bacaan : Mateus 1, 1-17
Injil hari ini terasa kering saja karena penuh dengan nama-nama garis keturunan Yesus. Setiap keluarga memiliki garis keturunan. Biasanya garis keturunan itu diceritakan turun temurun agar akar dari keluarga diketahui dan relasi dengan orang lain dapat terjalin secara benar terutama dalam hal perkawinan. Injil hari ini tidak dimaksudkan untuk itu. Penginjil Mateus mau menunjukkan sesuatu yang lain sama sekali. Ada sesuatu yang amat penting yang hendak disampaikan olehnya berkenaan dengan pribadi Yesus. Bagi orang Yahudi yang mengenal dengan baik sejarah leluhur mereka nama-nama yang disebutkan dalam daftar silsilah Yesus tidaklah asing. Bagi orang kita sekarang yang kurang membaca dan merenungkan perisitiwa dalam perjanjian lama akan sulit melihat hubungan satu sama lain.

Dalam silsilah itu disebutkan beberapa orang dengan sifat khusus seperti Yehuda yang kawin dengan Tamar, istri anak sulungnya. Raja Daud juga melahirkan Salomon hasil perkawinan dengan isteri Uria. Dari nama-nama itu juga nampak bahwa tidak semuanya orang asli Israel, misalnya saja Rut, Tamar. Dari nama raja-raja yang keturunan Daud tidak semuanya raja yang baik dan mengikuti perintah Tuhan. Keadaan inilah yang mau ditunjukkan oleh Mateus dengan silsilah Yesus ini. Mateus mau menunjukkan bahwa rencana Allah untuk menyelamatkan manusia di luar pikiran manusiawi kita. Sekalipun manusia sering melawan Tuhan, tidak setia kepadaNya, Tuhan tidak pernah akan melupakan manusia. Ia tetap ingat akan manusia dan mencintainya apapun keadaan kita.

Sejarah hidup setiap kita, baik dan yang indah maupun yang menyakitkan; garis keturunan kita entah itu terdiri dari orang-orang yang terhormat atau hina tetaplah menjadi tempat Allah menampakkan kesetiaan dan rahmatNya. Bila kita melihat sejarah hidup kita dihiasi oleh noda hitam dan putih bercampur, Yesus memiliki sejarah keluarga yang demikian. Bila garis keturunanku dipenuhi oleh orang yang tidak selalu memiliki nama yang harum, Yesus memiliki garis keturunan yang demikian juga. Yesus memang menjadi sama denganku saat ini, saya tidak sendirian dalam perjalanan hidup. Sejarah hidupku, keluargaku merupakan medan Allah menampakkan rahmat dan kemuliaanNya. Tak ada alasan bagiku untuk berkecil hati. Allah menganggap diriku - dengan segala latar belakang sejarah dan keluargaku – berharga di mataNya.

Tuhan, berilah saya hati yang senantiasa bersyukur karena Engkau telah masuk dalam sejarah hidupku melalui peristwa kedatanganmu menjadi manusia. Amin

Copyright © 16 Desember 2008 by Paul Tolo, SVD

54. Jadi Soal kalau Terus Mengatakan 'TIDAK'

Selasa, 16 Desember 2008
Bacaan : Mat 21, 28-32

Bacaan hari ini menampilkan kepada kita satu perumpaan sederhana tentang seorang bapa yang mengutus kedua putranya untuk bekerja di kebun anggurnya. Mateus menceriterakannya demikian, "Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka: "Yang terakhir."
Menarik sekali bahwa anak kedua ditampilkan di sini sebagai contoh tindak dan laku dari kita pengikut Kristus. Ada apa dengan dia, sehingga semua menjawab bahwa dia melaksanakan kehendak sang Bapa.
Sebuah pengamatan sederhana saja. Dia menjadi menarik mungkin disebabkan oleh dua hal ini. Yang pertama, dia pasti rasa betapa bodohnya dia menjawab tidak kepada bapanya yang begitu baik dan mengasihnya. Sesudah jawaban itu dia pasti mebayangkan wajah bapanya yang tak percaya akan jawabannya, bapanya yang begitu percaya kepadanya. Dan yang kedua, dia juga pasti ingat betul tentang keadaan nyata kebun anggur miliknya yang tak terawat yang boleh jadi akan tak memberikan hasil maksimal.
Kedua aspek inilah yang melahirkan penyesalan di hatinya. Dia bertobat dan pergi bekerja di kebun anggur.
Hal ini tentu sebuah pelajaran penting untuk kita dlam hal mengikuti Yesus. Ada banyak kontradiksi dalam diri kita. Antara megatakan Ya lalu tidak buat, dan antara mengatakan tidak lalu bertobat dan buat. Soalnya kalau terus terbiasa mengatakan Ya tetapi tak buat terus dan mengatakan tidak terus menerus dan tidak buat.
Iman kita selalu berkaitan dengan kata dan tindakan. Kita tidak beriman untuk merumuskan dan menyatakan dengan lantang berbagai rumusan iman, tetapi dengan cinta tulus mennjalankannya dalam hidup.
Semoga warta Injil hari ini membantu kita untuk bertobat dan menjalankan Injil Tuhan dalam hidup kita. Amin.
Copyright © 15 Desember 2008 by Anselm Meo SVD

53. Karena Ia Hidup dan Mengasihi

Senin, 15 Desember 2008

Bacaan : Mat. 21, 23 - 27

Untuk tampil secara lebih percaya diri dan didengarkan banyak orang, dewasa ini orang bicara tentang kualifikasi akademis ataupun pengalaman yang membuatnya layak dipercaya atau didengarkan banyak orang. Tak heran kita mulai mencari sekolah, berguru bahkan dengan berbagai upaya mendapatkan pengakuan berupa sertifikat, diploma dan ijazah. Untuk apa? Sederhana saja, kita ingin menjadi lebih baik, baik dalam hal mengajarkan sesuatu ataupun lebih baik dalam hal pendapatan, bahkan jabatan.

Hari ini Injil Mateus menghadapkan kepada kita soal yang sama pada suatu masa ketika Yesus hidup. "Lalu Yesus masuk ke Bait Allah, dan ketika Ia mengajar di situ, datanglah imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi kepada-Nya, dan bertanya: "Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu?"

Menjadi pengajar dalam agama Yahudi adalah suatu status sosial yang terhormat. Karenanya ada banyak orang mencari guru, rabi dan pengajar terkenal untuk mendapatkan pengetahuan dari mereka. Para ahli Taurat dan imam-imam juga mendapatkannya, karenanya rasanya mereka berhak untuk mendapatkan status sosial sebagai pengajar orang Yahudi.

Bagaimana dengan Yesus, seorang pemuda Nazaret anak Yusuf? Siapakah gurunya? Dengan kuasa mana Dia mengajarkan orang banyak sehingga banyak orang mendengarkan Dia dengan penuh antusias? Bagaimana mungkin caranya mengajar 'mengalahkan' cara mengajar para ahli Taurat? Semua pertanyaan yang sangat mengusik kenyamanan status sosial para lawan Yesus, dalam hal ini para ahli Taurat dan orang Farisi serta kaum imam.

Dari mana Yesus memperoleh semuanya ini? Jawabannya adalah karena Ia mengalami dan menghidupkan pengalaman keseharianNya dengan Allah. Dia tak membutuhkan untuk mendengarkan orang berbicara kepadaNya tentang Allah, karena Ia hidup bersama Allah, Ia mengalami Allah. Hidup Yesus adalah suatu kehidupan dan perjalanan bersama Allah. Dan berbeda dengan orang Saduki, Farisi, Yesus tidak mengajarkan tentang Allah untuk menarik orang banyak kepada diriNya, tetapi secara konsekwen menghantar semua orang kepada kehadiran Allah.

Dan SabdaNya itu masih terdengar segar hari ini, karena Ia berbicara kepada hati manusia, memenuhi mereka semua dengan harapan akan hidup, karena SabdaNya memberikan terang dan pengertian yang semuanya berasal dari Allah. Ia berbeda dari mereka, karena Ia hidup bersama Allah dan mengasihi Allah serta menjabarkannya dalam kasih kepada semua yang mendengarNya.

Tuhan Yesus, SabdaMu penuh kuasa dan hidup, ajarkanlah kami semua untuk hidup. Kami butuhkan terang, juga di saat sekarang. Engkau mampu memberikannya kepada kami semua. Amin.
Copyright © 15 Desember 2008 by Anselm Meo SVD

Sabtu, Desember 13, 2008

52. Perintah Untuk Bergembira

Minggu, 14 Desember 2008

Minggu III Adventus

Yes 61:1-2.10-11; 1Tes 5:16-24; Yoh 1:6-8.19-28

Di antara kewajiban-kewajiban Kristiani yang diabaikan oleh orang-orang Kristen adalah Kewajiban untuk Bergembira. Sama seperti Sabda Allah yang mengajak kita untuk percaya dan mencintai, demikian halnya dengan kewajiban (ajakan) untuk bergembira. Pada Minggu ke-3 Adven ini, Gereja mengingatkan kita akan kewajiban yang sering terlupakan ini.

Minggu III Adven biasanya dikenal dengan "Minggu Gaudete". Gaudete adalah kata bahasa Latin, yang berarti "Bergembira." Inilah perintah yang secara langsung diambil dari Surat Pertama Santo Paulus kepada jemaat di Tesalonika, sebagaimana dipilih untuk bacaan kedua dalam Liturgi pada Hari Minggu ini: "Bergembiralah Selalu" (1Tes 5:16). Ini merupakan suatu perintah positif, satu-satunya yang diharapkan tetap kita pegang erat-erat pada segala waktu dan dalam segala keadaan hidup kita. Ini bukan merupakan suatu perintah situasional yang hanya kita genggam erat ketika segala sesuatu berjalan baik dalam hidup kita.

Perintah untuk bergembira, sama seperti perintah-perintah Allah lainnya memiliki kadar menuntut. Memang terasa berat, sulit untuk bergembira justru pada saat beban tengah menindih punggungmu. Berat dan berat sekali. Tetapi, setidaknya petunjuk-petunjuk praktis yang ditawarkan Santo Paulus berikut ini dapat menjadi penuntun pelaksana.

Santo Paulus mengawali suratnya dengan menceritakan apa yang harus kita buat pada segala waktu kehidupan kita. "Bergembiralah selalu, berdoalah tanpa henti, bersyukurlah dalam segala situasi apa pun, sebab inilah kehendak Allah di dalam Kristus bagimu" (1Tes 5:16-18). Pada segala waktu dan dalam keadaan apa pun hidup ini, kita harus bergembira, berdoa dan mengucap syukur. Sebagai pengikut-pengikut Kristus kita tahu bahwa kehidupan di dunia ini tidak selalu menyenangkan, pengharapan kita sebagai umat Kristen Katolik bukan hanya pada kehidupan di sini, di bumi ini. Itulah sebabnya mengapa kita diajak untuk BERGEMBIRA, tidak hanya pada saat-saat yang menyenangkan tetapi juga di saat-saat gelisah resah tak berdaya dan kepahitan menyelimuti hidup kita, sebagaimana Yesus telah melewati-Nya.

Lebih lanjut, Santo Paulus menunjukkan apa yang tidak perlu kita buat, apa yang seharusnya kita elakkan dengan segala perhitungannya. "Janganlah padamkan Roh dan janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik. Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan" (1Tes 5:19-22). Ia meminta kita untuk mengaktifkan dan memelihara bagian spiritual dari kehidupan kita. Sebagai manusia kita memiliki suatu kehidupan badaniah dan rohaniah. Kita mungkin lebih banyak menaruh perhatian pada yang badaniah, dan kurang memberi perhatian pada yang rohaniah. Lihat saja cara kita mempersiapkan pesta Natal. Kita lebih peduli dan luangkan begitu banyak waktu untuk dekorasi di rumah kita daripada membersihkan hati-jiwa kita. Kita lebih sibuk menyiapkan kado-kado untuk sanak keluarga dan sahabat-sahabat kita daripada mempersembahkan diri kita sendiri sebagai kado kepada Allah.

Selanjutnya Santo Paulus menunjukkan bagaimana cara kita mewujudkan ideal kehidupan sebagai putra-putri Allah karena untuk itulah Allah memanggil kita. Ini bukanlah sesuatu yang kita gapai hanya dengan kekuatan kehendak atau usaha-usaha manusiawi meluluh. "Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita. Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapi-Nya" (1Tes 5:23-24).

Kekudusan hidup yang disuarakan Santo Paulus pada masa Adven ini adalah Kehidupan Allah sendiri di dalam kita. Dialah Allah yang memungkinkan semuanya itu tercipta di dalam diri kita. Tugas kita ialah mengatakan YA kepada Allah, menyerahkan diri secara total kepada-Nya. Memang tidak gampang untuk menghidupi suatu kehidupan yang selalu memancarkan kegembiraan anak-anak Allah, tetapi Dia yang memanggil kita kepada kepenuhan hidup adalah Dia yang selalu menjawabi apa yang Ia perintahkan. Allah adalah setia, dan Allah akan melakukan hal itu di dalam diri kita. Adakah sesuatu yang terlupakan? Ya, beradalah sesuai kehendak dan perintah Allah sendiri di dalam kamu. Amin

Copyright © 22 Nopember 2008, by Paskalis Berkmans, SVD.

Jumat, Desember 12, 2008

51. Misi dan Konsekuensi Hidup Orang Kristiani

Sabtu, 13 Desember 2008

Bacaan : Mateus 17,10-13

“Memang Elia akan datang dan akan memulihkan segala sesuatu”. Itulah kata-kata Yesus menjawab pertanyaan para muridnya mengenai kedatangan Elia sebelum Almasih tiba. Yesus tegaskan itu sambil secara tidak langsung menunjuk pada Yohanes Pemandi. Yesus juga kelihatannya tidak terang-terangan menunjuk pada Yohanes sebab ia hanya menyatakan bahwa “Elia sudah datang tapi orang tidak mengenal dia”. Dengan itu para murid langsung menghubungkannya dengan Yohanes Pemandi yang membaptis orang demi pertobatan dari dosa-dosa dan karena kata-katanya yang keras terhadap Herodes dan Herodias akhirnya ia dipancung kepalanya.

Yesus mengakui tugas perutusan Yohanes Pemandi yang menurut keyakinan Yesus sendiri adalah Elia yang dinantikan oleh orang Yahudi. Yesus mengenal tugas dan misi Yohanes Pemandi, saudaranya itu, sebagai pemenuhan ramalam para nabi yaitu memulihkan segala sesuatu sebelum kedatangan Almasih. Kata-kata pewartaan Yohanes di tepi sungai Yordan jelas menunjukkan itu: “hasilkan buah buah yang sesuai dengan pertobatan” dan lagi “membagi kepada orang lain apa yang kau punyai, tidak menagih lebih banyak dari yang telah ditentukan, tidak merampas dan memeras, mencukupkan diri dengan gaji”. Warta dan misi Yohanes Pemandi memang seperti dimengerti oleh Yesus: memulihkan segala sesuatu lewat proses pertobatan agar orang dapat hidup benar, tulus dan penuh cinta kasih persaudaraan. Dengan kata lain hidup sesuai dengan jati diri sebagaimana dikehendaki oleh Pencipta.

Menjadi jelas bagi kita orang Kristen bahwa tugas perutusan kita di tengah dunia ini adalah memulihkan kembali situasi yang rusak entah karena akibat perbuatan kita ataupun perbuatan orang lain. Tugas memulihkan keadaan ini adalah kata lain dari pertobatan. Kita merobah diri kita dari hari ke hari untuk mencapai keadaan yang dikehendaki oleh Pencipta, Allah kita. Usaha ini tidak selalu berjalan mulus dan diterima banyak orang di sekitar. Kemungkinan untuk ditolak, dilawan malah dikucilkan akan ada. Kejahatan selalu menentang orang yang melakukan kebaikan. Ini tidak boleh menyusutkan semangat orang Kristen untuk tampil sebagai pembaharu dalam hidup baik pribadi maupun masyarakat, apapun akibatnya.

Tuhan, berikanlah aku keberanian untuk merobah diriku dan kemudian bersama orang lain merobah dunia ini sesuai dengan kehendakMu. Amin

Copyright © 12 Desember 2008 by Paul Tolo SVD

Rabu, Desember 10, 2008

50. Bebas Mengimani Tuhan

Jumat, 12 Desember 2008

Bacaan : Yes: 48, 17-19 dan Mat 11, 16-19

“Akulah Tuhan Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang berfaedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh.”

Penyampaian Nabi Yesaya ini menunjukkan bahwa: Tuhan memberikan diriNya sebagai keselamatan bagi kita. Dia mengajar, menuntun dan terus memanggil, agar kita tetap percaya padaNya. Percaya yang berarti merasa aman dan pasti hanya dalam Tuhan sendiri. Memang Tuhan tak pernah memaksa kita untuk percaya, untuk mengikutiNya. Tapi Dia mengundang dan mengajak. Seperti yang dikatakanNya melalui nabi Yesaya hari ini: “Sekiranya engkau memperthatikan, perintah-perintahKu, maka damai sejahtera akan seperti sungai yang tidak pernah henti.”

Kita mestinya merasa bebas untuk percaya pada Tuhan. Bebas dengan seluruh kekuatan kita, juga ketika kita merasa putus asa dan menderita. Hanya mereka yang tak merasa bebas untuk percaya pada Tuhan, mereka yang takut akan mengatur Tuhan seturut kehendakNya.

Lihatlah orang-orang yang tidak melihat keselamatan yang datang baik dalam diri Yohanes Pembaptis maupun dalam diri Yesus Kristus dalam Injil Matius hari ini. Yesus dinilai mereka sebagai pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Tuhan dalam keyakinan mereka mestinya yang bertindak sebaliknya: bukan pelahap dan peminum, bukan sahabat pemungut cukai dan pendosa. Singkatnya Tuhan mesti seperti yang saya pikirkan dan rasakan. Inilah kesalahan besar manusia. Tuhan mesti mengikuti kemauan saya, kesukaan saya atau seperti yang saya ingini. Jika tidak, maka saya tak akan percaya padaNya.

Tidak! Ini bukanlah iman yang sejati. Tuhan kita adalah satu-satunya penebus, penyelamat yang penuh kasih dan belaskasihan. Inilah kebenaran yang ada dalam diri Tuhan sendiri Dan inilah Tuhan yang sedang kita nantikan kedatanganNya pada masa Advent ini.

Kalau Tuhan mengajak kita menaati perintah-perintahNya, itu semata-mata karena Dia menghedaki agar kita menikmati kebahagiaan yang tak pernah berhenti. “..dan kebahagiaanmu akan akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidah pernah berhenti.” Jadi, mengapa kita masih menaruh kepercayaan dan harapan kita pada dunia dan manusia? Yang semuanya fana dan akan berlalu? Letakkanlah kepercayaan dan harapanmu pertama-tama dan terutama dalam Tuhan dan semua yang lain akan berjalan dalam terang Tuhan sendiri. Sebab nama kita tetap ada di hadapanNya.

Copyright © 10 Desember 2008 by Paskalis Lina SVD

49. Tuntutan Menjadi Besar Dalam Kerajaan Al-Masih

Kamis, 11 Desember 2008

Bacaan : Mat 11,11-15

“Tak ada satu manusiapun lebih besar dari Yohanes Pembaptis namun yang terkecil dalam kerajaan Surga lebih besar dari dia”.

Kata-kata Yesus ini diucapkan untuk menjelaskan siapakan Yohanes Pembaptis di mata Yesus. Yohanes Pemandi adalah keluarga dekat Yesus sendiri. Terasa sekali bahwa dalam kata-kata itu ada pertentangan. Yohanes Pemandi dinilai “amat besar” dari antara semua manusia yang dilahirkan oleh perampuan. Itu berarti dia melebihi Abraham, Ishak, Yakob, Musa, Daud, Salomo, Samuel, Yeremia, Yesaya, Daniel dll. Pada saat yang sama Yesus menyatakan bahwa “dia lebih kecil dari orang-orang kecil di dalam kerajaan Surga”. Kita bertanya siapakah orang kecil dalam kerajaan Surga menurut Yesus? Jawabannya adalah orang berdosa, pemungut cukai, orang penyakit kusta, orang-orang yang dibuang oleh masyarakat waktu itu.

Mengapa Yesus membuat penilaian seperti seperti itu? Apa yang menjadi usura untuk menilai Yohanes Pemandi? Dari kata-kata Yesus ini menjadi jelaslah bahwa ukurannya adalah Yesus sendiri. Semakin dekat orang dengan Yesus maka semakin besarlah dia. Yohanes Pemandi amat besar karena dia amat dekat waktunya dengan munculnya Yesus di depan umum dan kerajaan Surga yang diwartakan oleh Yesus. Sedangkan Abraham, Ishak, Yakob, Daud dll itu jauh sekali dari waktu kedatangan Yesus.

Yohanes Pemandi amat dekat dengan Yesus malah dia membaptis Yesus, menyatakan hormat kepada Yesus, merasa hina di depan Yesus. Tapi dia belum percaya sungguh bahwa Yesus memang Mesias yang dijanjikan karena dia masih kirim murid-muridnya untuk bertanya kepada Yesus “apakah kami harus menunggu lagi Mesias?” Inilah yang menjadi nilai kurang dari Yohanes Pembaptis. Akibatnya dia menjadi yang terkecil dalam kerajaan Surga.

Orang-orang berdosa, penjahat, pemungut cukai, orang-orang yang terbuang dalam masyarakat memang kecil di mata masyarakat tapi mereka menyaksikan Yesus, mendengarkan Yesus, mengikuti dia kemana saja dia pergi sampai kelaparan, kehausan dll. Meraka malah bertobat dan percaya penuh bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Daud, Allah yang menjadi manusia. Sementara Yohanes Pemandi masih sibuk dengan pembaptisannya di Sungai Yordan dan tidak mengikuti Yesus ke mana Yesus pergi. Dia hanya sampai pada menunjuk “itulah anak domba Allah!” atau mengakui dengan rendah hati “dia makin besar dan aku menjadi semakin kecil”. Yohanes Pemandi tidak sampai mengakui penuh Yesus adalah Al-Masih Terjanji .

Ada di kelompok manakah kita saat ini? Apakah aku ada dalam kelompok Yohanes Pemandi yang hanya sampai pada tingkat menunjuk “itulah Yesus, Anak Domba Allah” kepada orang lain dalam pewartaan tapi tidak percaya pada yang saya wartakan? Ataukah saya termasuk orang-orang kecil dalam Kerajaan Surga yang hari-hari mengikuti Yesus, bertobat dan percaya bahwa Yesus sungguh Al-Masih terjanji itu?

Tuhan Yesus, buatlah hatiku semakin dekat dengan Engkau dan kuatkanlah aku untuk berjalan mengikuti Engkau dan percaya penuh padamu.

Copyright © 10 Desember 2008 by Paul Tolo SVD

Selasa, Desember 09, 2008

48. Seorang di Antara Kita

Rabu, 10 Desember 2008

Bacaan : Mat 11, 28 - 30

Penggalan Injil Mateus hari ini menampilkan profil Yesus sebagai seorang yang lembut hati, yang mengayomi dan memberikan ketenangan bagi siapapun yang datang kepadaNya. Ia berkata, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."

Merenungkannya secara lebih mendalam, kita diajak untuk melihat siapakah sebenarnya manusia yang baik berhadapan dengan sesamanya? Menjawabnya, barangkali mudah saja, bahwa orang baik adalah orang yang mudah didekati, lembut dan rendah hati serta tak membuat sesamanya menderita sia-sia. Kalaupun ia bersikap keras kepada sahabatnya, ia tak akan melakukannya tanpa nilai edukatip tertentu. Singkatnya seorang sahabat yang baik akan ditemukan sebagai seorang yang mengasihi serta berbelaskasihan kepada sesamanya.

Kriteria seperti ini memang cocok sekali dengan isi perkataan Yesus di atas. Artinya, Yesus sendiri adalah Sahabat yang baik yang kita bisa temukan sebagai Seorang Di Antara Kita. Sebagai Allah, Yesus tak menampilkan diriNya dengan penuh kuasa dan kekuatan, tetapi menjadi satu di antara kita, seorang yang mudah kita datangi, seorang yang membuat kita rindu untuk mendengarkan dan belajar dariNya, seorang yang mengasihi dengan tulus.

Kenyataan bahwa Allah dalam Yesus Kristus yang ditemukan sebagai seorang di antara kita sesungguhnya adalah tanda nyata bahwa Allah yang demikian adalah Allah yang berbelaskasihan.

Kiranya masa Adventus ini mengajak kita mengagumi kerahiman dan belaskasihan Allah kepada kita. Dan lebih lanjut kita tentu juga diharapkan untuk menjadi pengasih yang berbelaskasihan juga kepada orang-orang di sekitar kita. Kalau Allah dalam Kristus telah menjadi Satu di antara kita, kiranya kita juga menjadi seorang sahabat di antara saudara-saudari kita. Amin.

Copyright © 09 Desember 2008, by Anselm Meo SVD

Senin, Desember 08, 2008

47. Rahasia Di Balik Penjelmaan Allah yang Menjadi Manusia

Selasa, 09 Desember 2008

Bacaan : Mat 18, 12-24

Sungguh, membaca penggalan Injil Mateus yang kita kutip untuk permenungan hari ini, amat membangkitkan harapan akan adanya keselamatan bagi siapapun yang percaya. Harapan itu terungkap dalam pernyataan Yesus, ketika Dia berkata, "Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang."

Kerinduan Allah untuk menyelamatkan manusia ciptaanNya, memang diemban oleh Yesus dalam seluruh hidupNya. Dialah yang melaksanakan kehendak Allah itu, dalam seluruh karyaNya, Ia mencari semua yang hilang dari Israel dan mengundang semua saja untuk mengalami keselamatan. Hati Allah yang diringkas dalam pernyataanNya di atas melukiskan hatiNya sendiri yang selalu menghendaki orang datang kepadaNya.

Allah yang menghendaki agar semua selamat inilah yang menguak rahasia besar kenapa Allah mau menjadi manusia. Ia mencintai mereka, Ia menyimpan mereka dalam hatiNya. Bagi kita inilah harapan yang sungguh membesarkan hati kita.

Kalau Allah demikian merindukan keselamatan kita, mengapa kita tidak merindukan keselamatan sesama kita? Kita berdoa agar kerinduan hati Allah juga menjadi isi kerinduan hati kita. Amin

Copyright © 08 Desember 2008, by Anselm Meo SVD

46. Rahmat Memungkinkan Kerjasama Manusia dengan Allah

Selasa, 08 Desember 2008

Pesta Santa Maria Dikandung Tanpa Cela

Bacaan : Luk 1, 26-38

"Selamat Pesta untukmu hari ini, Pater!" itulah isi pesan singkat di teleponku hari ini. Pesta apa ya? tanyaku hampir penasaran karena rasanya tak ada yang khusus buatku hari ini. "Akh, pesta Santa Maria dikandung tanpa cela, hari ini. Makanya mereka mengirimkanku sms itu", bathinku sambil tertawa sendiri.

Benar, hari ini pestaku dan pesta kita semua. Karena kita rayakan sebuah peristiwa iman yang menentukan dalam sejarah keselamatan, yang menyata dalam jawaban YA seorang anak manusia untuk bekerja sama dengan rahmat Allah untuk memungkinkan kedatangan Allah di tengah manusia. Tetapi mengapa terjadi demikian?

Jawaban tunggal hanyalah ada pada RAHMAT ALLAH yang tiada batasnya. Allah yang percaya bahwa seorang manusia lemah bisa menjadi satu kemungkinan bagi hadirnya keselamatan bagi semua. Allah yang percaya bahwa MARIA yang hari ini kita rayakan pestanya, telah terpilih dari keabadian untuk memberi jawaban YA bagi terjadinya peristiwa Allah menjadi manusia.
Injil hari ini mengedepankan salam malaikat kepada Maria sebagai yang dikaruniai atau yang dirahmati oleh Allah, "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Jadi aksi pertama datang dari pihak Allah, maka Maria mampu bekerja sama untuk merealisasikan peristiwa keselamatan itu.

Seperti halnya Maria, kita yang hari ini merayakan pesta khusus ini sebenarnya diminta untuk menanamkan di hati kita, bahwa kita juga dirahmati, dikaruniai. Untuk apa? Yah ... untuk bekerja sama dengan Allah menjadi perpanjangan tangan Allah untuk merealisasikan keselamatan bagi banyak orang. Kita mohon Maria, Bunda kita mendoakan kita kepada Yesus Puteranya dan kepada Allah yang telah merahmatinya. Amin

Copyright © 08 Desember 2008, by Anselm Meo SVD

Sabtu, Desember 06, 2008

45. Membiarkan Allah Menjumpai Kita

Minggu, 07 Desember 2008

Minggu II Masa Adventus

Bacaan : Yes 40:1-5.9-11; 2Ptr 3:8-15; Mrk 1:1-8

Ada sebuah cerita dikisahkan sebagai berikut:

Seorang anak Sekolah Dasar mendapat kunjungan dari salah seorang guru. Sang guru bermaksud mengetahui alasan, mengapa muridnya tidak ke sekolah pada hari itu. Ia disambut oleh muridnya sendiri. Hello…..? Apakah ayahmu ada di rumah? tanya sang guru. Ya, jawabnya berbisik. Boleh saya berbicara dengannya? tanya lagi sang guru. Tidak, jawabnya berbisik lagi. Oh ya, apakah ibumu ada di sana?, tanya guru itu lagi. Ya, bisik murid itu. Boleh saya berbicara dengan ibumu? Lagi-lagi anak itu membisikan jawabnya, Tidak. Baiklah, oh ya…apakah ada orang lain selain kalian sekeluarga? Ya, bisik anak itu … seorang Polisi. Seorang Polisi???
Sekarang, boleh saya berbicara dengan Polisi itu? Tidak bisa, bapak guru. Ia sedang sibuk. Sibuk buat apa, tanya guru itu. Polisi sedang berbicara dengan bapa dan mama serta pemadam kebakaran, tandas anak itu. Pemadam kebakaran??? Apakah ada kebakaran di rumahmu atau ada sesuatu yang lain? Tidak, jawab muridnya. Lalu, apa yang sedang dilakukan oleh Polisi dan Pemadam Kebakaran di rumahmu? Sambil terkiki-kiki anak itu menjawab: "Mereka sedang mencari aku."

Dalam Injil pada Hari Minggu II Adven, kita melihat Yohanes Pembaptis tengah menyerukan kepada rakyat Yudea untuk datang ke padang gurun dan membiarkan Allah menjumpai mereka.
Masuk ke padang gurun berarti sejenak meninggalkan rutinitas kehidupan normal dalam mana kita begitu terlekat dan bergantung. Hal-hal itu, antara lain bisa kita jumpai dalam pekerjaan kita, dalam relasi-relasi kita dan juga dalam praksis-praksis rutin kehidupan lainnya. Tetapi percayalah bahwa Allah tidak akan dapat berbuat banyak di tengah kita sejauh kita mengharapkan dan mempercayakan hal-hal ini sebagai hal-hal pertama yang memberi makna dalam hidup kita.

Ketika hati kita telah sarat, tak ada satu barang pun yang bisa masuk lagi, begitu pula Allah. Karena itu, pertama-tama, kita harus Membiarkan Pergi apa saja yang tengah melekat di hatimu, membiarkannya kosong, sebelum kita dapat memeluk/merangkul Allah. Dan melepaskan pergi ini dilambangkan oleh suatu Perjalanan Masuk ke Padang Gurun yang tandus.

Di dalam Kitab Suci, padang gurun berarti datang ke tempat pertemuan dengan Allah. (Semoga aku tidak menyesatkan anda kalian dengan penjelasan ini). Di sana, di padang gurun, umat Israel bertemu dengan Allah dan mendengarkan jalan-jalan Allah. Di padang gurun, mereka menjadi umat Allah sendiri dan Allah menjadi Allah mereka. Begitu pula yang dilakukan Yesus. Sebelum mengawali pelayanan-Nya di depan publik, Yesus menghabiskan 40 hari dan 40 malam di padang gurun. Itu adalah suatu masa penemuan dan pendalaman hubungan pribadi-Nya dengan Allah, Bapa-Nya. Jadi, seruan memasuki padang gurun, sesungguh merupakan sebuah ajakan yang disuarakan oleh Yohanes Pembaptistis kepada mereka, untuk "membiarkan pergi harapan dan jaminan mereka yang sesat" (…ya mungkin "keliruh" lebih nyaman terdengar…) dan "belajar untuk berharap dan percaya hanya pada Allah sendiri."

Yohanes Pembaptis menghidupi apa yang telah ia wartakan. Melalui gaya hidupnya, kebiasan-kebiasaan berpakaian dan makan, ia menunjukkan bahwa makna kehidupan tidak ditemukan dalam kelimpahan kepemilikan barang-barang duniawi, tetapi justru di dalam relasi dengan Allah. Kesederhanaan hidup dan pemisahan diri dari perhatian terhadap hal-hal yang tidak perlu serta kecemasan akan kehidupan sosial, membebaskan hati bagi suatu hubungan pribadi dengan Allah. Itu berarti meninggalkan tempat-tempat persembunyian kita yang biasa dan menempatkan diri kita sendiri dalam suatu keadaan di mana Allah dapat dengan mudah menjangkau kita. Itulah bukit-bukit yang harus diratakanlah dan itulah pula lembah-lembah yang perlu kita timbuni supaya tidak mempersulit Allah untuk menjumpai dan menyelamatkan kita.

Pada masa Adven ini Gereja menyampaikan kepada kita seruan/panggilan Yohanes Pembaptis untuk Bertobat dan Mengakui dosa-dosa kita sebagai persiapan bagi Dia yang akan datang. Ini merupakan suatu kesempatan untuk menemukan kembali ketergantungan yang seutuhnya pada Allah. Allah telah menciptakan kita bagi Diri-Nya dan akan terus mencipta, sebagaimana telah ditemukan Santo Agustinus, "Hatiku tidak tenteram sebelum beristirahat di dalam Allah." Amin.

Copyright © 22 Nopember 2008 by Paskalis Berkmans, SVD.

Jumat, Desember 05, 2008

44. Masihkah kita Mendoakan Panggilan Untuk Pelayanan?

Sabtu, 06 Desember 2008

Bacaan : Mat 9, 35-10,1.6-8

Pertanyaan sederhana di atas perlu kita ajukan lagi di sini, bukan karena terutama karena adanya kenyataan seperti kurangnya kaum muda untuk mengikuti panggilan khusus untuk menjadi imam dan untuk hidup membiara. Saya ajukan pertanyaan ini lagi terutama karena kebutuhan kita yang tetap urgen akan perlunya mereka yang bersedia terlibat dalam urusan kepentingan publik, berjuang demi kepentingan banyak orang dalam masyarakat. Mungkinkah itu?
Yesus dalam Injil hari ini berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Dan ketika melihat orang banyak, hatinya tergerak oleh belas kasihan kepada mereka. Membaca perikop ini dalam konteks kita dewasa ini, pikiran kita tak hanya serta merta tertuju pada banyak misionaris atau bapa Suci yang melakukan banyak perjalanan pastoral, tetapi saya juga ingat para politisi yang pergi berkeliling dari tempat ke tempat, berkampanye menarik suara pendukung dengan mengedepankan berbagai program demi memperbaiki mutu hidup para pendukung mereka.

Rasa-rasanya cita-cita Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus sering juga mereka ini dengungkan dalam kunjungan mereka, membuat foto yang berkesan dan pernyataan yang menggugah serta membesarkan hati. Mereka sebenarnya tengah mengikuti ajakan sang Guru. Tetapi ternyata tak semua berhasil membuatnya seperti Yesus.

Kita bertanya, apa yang salah? Mungkin inilah persoalan kunci yang membedakan kedua kelompok itu. Penginjil Mateus hari ini mencatat bagi kita hal ini, "Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma."

Kerajaan Allah adalah sebuah anugerah cuma-cuma yang diterima. Menerimanya selalu mengandung juga tugas untuk memberikannya kembali kepada yang lain dengan cuma-cuma pula, karena keyakinan ganjaran ada pada Dia sang Sumber Kerajaan itu. Dan rupanya inilah yang tidak bisa dibuat oleh para politisi, karena dia sudah menerima segalanya termasuk dukungan mungkin dengan cuma-cuma tetapi dia tidak akan memberikannya secara cuma-cuma. Mengapa? Dia masih ingin mengambil untuk dirinya sendiri.

Kita doakan para politisi dan para penguasa yang mengatur kehidupan bersama, agar sama seperti Yesus, hati mereka juga boleh tergerak oleh belas kasihan dan mengupayakan tindakan politis yang bermanfaat bagi banyak orang dalam berbagai karya kebaikan seperti, pendidikan, kesehatan, kemiskinan dan sebagainya.

Tuhan, kiranya kami semua baik yang bekerja untuk hal rohani maupun yang bekerja di bidang pemerintahan, boleh tergerak oleh belaskasihan dan pada saatnya memberi kembali demi kemajuan banyak orang. Amin.

Copyright © 05 Desember 2008, by Anselm Meo SVD

43. Yesus Membangkitkan Iman Mereka

Jumat, 5 Desember 2006

Bacaan : Mat 9, 27-31

Penginjil Mateus hari ini mengisahkan kepada kita tentang penyembuhan dua orang buta, dalam lukisan berikut ini. "Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: "Kasihanilah kami, hai Anak Daud." Setelah Yesus masuk ke dalam sebuah rumah, datanglah kedua orang buta itu kepada-Nya dan Yesus berkata kepada mereka: "Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?" Mereka menjawab: "Ya Tuhan, kami percaya." Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: "Jadilah kepadamu menurut imanmu." Maka meleklah mata mereka.

Oleh Yesus, keduanya disembuhkan melalui suatu proses yang meminta mereka untuk terlibat sepenuhnya. Keduanya meminta Yesus untuk campur tangan dalam persoalan mereka, dan Yesus menguji kesungguhan dan kerinduan mereka dengan menanyakan, apakah mereka percaya kepadaNya. Dan jawaban mereka menunjukkan bahwa pada mereka ada kepercayaan yang diperlukan agar Yesus melakukan karya penyembuhan itu. Yesus memang menyembuhkan mereka secara fisik, tetapi Dia terutama membangkitkan iman mereka kepadaNya. Inilah hal penting dari pewartaan hari ini.

Hidup dan karya setiap murid Yesus seyogyanya memiliki aspek penting ini. Kebutuhan jasmani dan manusiawi selalu penting untuk ditangani, tetapi jangan pernah berhenti di sana saja. Mesti melangkah lebih jauh, menyentuh aspek rohani, iman. Si buta tidak hanya ditolong Yesus untuk bisa melihat lagi secara normal, tetapi Yesus juga memberikan kepada mereka suatu cara pandang yang baru, bahwa Allah terlibat dalam hidup mereka, Allah terlibat dalam alam ini. Mereka sebenarnya tengah melihat karya Allah terjadi dalam hidup mereka. Begitupun hidup dan pelayanan kita hendaknya menghantar kita dan orang lain untuk melihat alam dan dunia ini sebagai medan karya Allah.

Yesus hari ini membangkitkan iman kita semua untuk memperhatikan cara kita melihat karya dan hidup kita sebagai medan Allah berkarya. Kiranya kita dibantu untuk menyadari aspek ini dalam pelayanan kita. Amin

Dan Yesuspun dengan tegas berpesan kepada mereka, kata-Nya: "Jagalah supaya jangan seorangpun mengetahui hal ini." 9:31 Tetapi mereka keluar dan memasyhurkan Dia ke seluruh daerah itu.

Copyright © 05 Desember 2008, by Anselm Meo SVD

Rabu, Desember 03, 2008

42. Tidak Cukup Untuk Percaya Saja

Kamis, 4 Desember 2008

Bacaan : Mat 7, 21. 24-27

Seorang pasien menghadap dokternya dan menjelaskan kepada sang dokter tentang penyakit yang dideritanya. Setelah itu ia mendengarkan dengan penuh perhatian apa diagnosis yang diberikan oleh sang dokter dan berbagai perawatan dan pengobatan yang harus dilakukan untuk bisa sembuh dari penyakitnya.

Dia memang sangat percaya kepada dokternya, tetapi karena saking sibuknya, ia lupa akan berbagai obat yang ditunjuk oleh dokternya dan lebih dari itu ia juga tak sempat memperhatikan berbagai perlakuan khusus yang harus dia buat demi menyembuhkan penyakitnya. Hasilnya, mudah diduga, beberapa saat kemudian, dia datang lagi kepada dokternya dengan keluhan yang sama.

Kisah ini nampaknya sama dengan yang terjadi dalam Injil hari ini. Makanya Yesus berkata, "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga."

Tidak cukup hanya percaya saja, tidak cukup hanya mendengarkan dan membaca firman Tuhan, tetapi yang terpenting adalah melaksanakannya dalam hidup. Tidak cukup menerima resep hidup abadi dan berbagai penjelasan yang lengkap tentangnya, tetapi bagaimana meletakkannya dalam praktik hidup.

Tuhan mengundang kita setiap saat dan di setiap tempat untuk menikmati kehidupan, kebahagiaan lewat berbagai cara dan berbagai orang. Kita bisa mendengarnya dengan penuh kekaguman atau mengomentari mereka. Tapi itu saja tak cukup. Perlu satu hal, keputusan sendiri untuk menyikapi apa yang didengar dan diketahui. Dan itulah yang perlu untuk hidupmu.

Tuhan, memang benar, kami mendengar dan memperoleh berbagai kebijaksanaan yang berguna untuk kami. Tapi sering kami cuma kagum dan berhenti di sana. Semoga Rohmu membantu kami menyikapinya sendiri. Amin.

Copyright © 03 Desember 2008, by Anselm Meo SVD

Selasa, Desember 02, 2008

41. Milikilah Pengharapan nan Dinamik

Rabu, 3 Desember 2006

Bacaan : Mat 15, 29-35

Sudah hampir pasti, setiap kita memiliki kerinduan hati yang ingin kita puaskan pada saatnya. Kerinduan akan sesuatu yang bernilai bagi hidup kita dan bagi hidup orang-orang yang kita cintai. Dalam bahasa yang tidak terlalu sederhana, kerinduan macam ini biasanya kita sebut juga impian atau harapan, yang merupakan salah satu kebajikan dalam hidup iman kita.

Mengapa kita berharap? Harapan biasanya lahir dari sebuah kenyataan kekurangan sesuatu yang dibutuhkan. Dan berhadapan dengan mengharapkan pemenuhan sesuatu kebutuhan, orang bukannya berharap sambil berlipat tangan, tetapi selalu ada unsur usaha, bahwa orang mengusahakan supaya apa yang diharapkannya dipenuhi. Inilah yang disebut sebagai dinamisme dalam harapan, orang mengharapkan sambil berusaha keras memenuhi harapan itu.

Inilah yang sedang terjadi dalam lukisan Injil hari ini. Penginjil Mateus mencatatnya secara indah sekali, "Lalu Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata: "Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan." Kata murid-murid-Nya kepada-Nya: "Bagaimana di tempat sunyi ini kita mendapat roti untuk mengenyangkan orang banyak yang begitu besar jumlahnya?" Kata Yesus kepada mereka: "Berapa roti ada padamu?" "Tujuh," jawab mereka, "dan ada lagi beberapa ikan kecil." Lalu Yesus menyuruh orang banyak itu duduk di tanah. Sesudah itu Ia mengambil ketujuh roti dan ikan-ikan itu, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya pula kepada orang banyak. Dan mereka semuanya makan sampai kenyang."

Yesus memang bisa membuat mukjizat perbanyakan roti dari ketiadaan, karena keAllahanNya, tetapi hal itu tak terjadi. Ia merasakan kebutuhan mereka yang telah mengikuti Dia kemanapun Dia pergi. Dan sebagai seorang pemerhati kemanusiaan, Dia tak mungkin membiarkan mereka pergi tanpa makan. Lahirlah harapan itu, sebuah kerinduan hati untuk memuaskan semua yang mengikuti Dia. Dan harapan yang Ia tunjukkan, Ia sebarkan juga ke kalangan para murid dan meminta mereka ambil bahagian dalam kerinduannya serta membuka diri bagi kenyataan kekurangan saat itu.

Dan hasilnya memang luar biasa. Yang mendengarkan syeringnya membuka diri, memberi dan Tuhan memberkati sehingga pemenuhan harapan itu berlipat ganda.

Begitulah kiranya harapan yang dikembangkan secara dinamis. Ketika menyertakan Tuhan dalam harapan dan kerinduan itu, maka kerjasama akan lahir secara luar biasa. Dan hasil akhirnya, kelimpahanlah yang dinikmati. Kiranya kita juga meletakan harapan kita di hadapan Tuhan dan aktif mengusahakan perwujudannya.

Tuhan, karena kerinduan hatiMu untuk memuaskan pencaharian kami akan Dikau, Engkau senantiasa menawarkan kepada kami untuk mengambil bahagian dalam rencanaMu. Gandakanlah kekuatan kami untuk bekerjasama denganMu, sehingga dunia kami boleh menikmati kepenuhan cinta kasihMu. Amin.

Copyright © 02 Desember 2008, by Anselm Meo SVD

Senin, Desember 01, 2008

40. Bahagia karena Melihat dengan Mata Iman

Selasa, 2 Desember 2008

Bacaan : Luk 10, 21-24

Tentulah sebuah pengalaman yang tak diharapkan oleh murid-murid saat itu. Yesus setelah mengucapkan syukur kepada BapaNya, berpaling kepada para muridNya dan berkata, "Berbahagialah kamu, karena kamu melihat semuanya itu. Banyak nabi dan raja yang ingin melihatNya, tetapi mereka tak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang telah kalian dengar, tetapi mereka tidak mendengarNya."

Menyimak apa yang dikatakan Yesus, kita tentu langsung berpikir bahwa Ia katakan hal itu untuk mengingat betapa beruntungnya para murid Yesus yang mendengarkan Dia, menyaksikan secara langsung karyaNya dan percaya kepadaNya. Saya kira tidak hanya itu, Yesus juga mau mengingatkan bahwa percaya kepada Yesus adalah sebuah kekuatan yang mengubah seseorang, yang memurnikan seseorang.

Para murid yang pernah mendengarkan dan menyaksikan Dia tetapi tak percaya, juga sebenarnya sama nasibnya dengan para pendahulu mereka. Tetapi sebaliknya ketika mereka percaya pada apa yang mereka dengarkan, dan mereka lihat, mereka sebenarnya tengah diubah dan dibaharui.

Begitupun dengan kita saat ini. Sebagaimana murid Yesus saat itu, kita juga diminta untuk memiliki iman untuk mendengar dan melihat peristiwa Yesus dalam alam dan hidup kita. Lebih lanjut meminta Tuhan campur tangan meneruskan karyaNya sendiri, untuk mengubah dunia kita.

Tuhan, kiranya kami memiliki iman yang sederhana tetapi kuat untuk melihat Engkau yang bersabda dan berkarya di tengah kami.

Amin

Copyright © 01 Desember 2008, by Anselm Meo SVD