Kamis, Juni 24, 2010

MENURUTMU, SIAPAKAH AKU INI?

HARI MINGGU BIASA XII
20 Juni 2010
Bacaan: Zak 12: 10-11; Gal 3: 26-29; Luk 9: 18-24
Tetapi apa katamu, siapakah AKU ini? Itulah pertanyaan yang ditujukan Yesus kepada para murid-Nya sebagaimana diungkapkan oleh Santo Lukas dalam Injil yang baru kita dengar.
Pertanyaan Yesus tadi, paliing kurang untuk kesempatan ini menghadirkan dua tanggapan. Pertama, membersitkan satu hal, krisis identitas Yesus, keraguan-Nya atas jati diri serta misi hidup-Nya. Yesus membutuhkan peneguhan dari para murid-Nya. Sesudah Petrus memberikan jawaban, “Engkaulah Mesias dari Allah”, sesudah Yesus memperoleh peneguhan itu, Dia lalu menegaskan bahwa Mesias harus menanggung banyak penderitaan. Kedua, (dan inilah yang menjadi pokok atau fokus dalam renungan kita), ialah pertanyaan Yesus itu sesunguhnya merupakan satu test bagi pemahaman dan penghayatan para murid tentang siapakah Yesus itu. Para murid harus menjawab pertanyaan tersebut bukan berdasarkan perkataan, atau tanggapan, atau pendapat orang lain, melainkan harus berlandaskan pemahaman dan penghayatan mereka sendiri.
Kalau dalam zaman sekarang, dapat dikatakan bahwa Yesus tidak membutuhkan suatu jawaban, misalnya berdasarkan pengetahuan akademik, buku, ajaran agama ataupun teologi; melainkan bersumber pada pemahaman dan penghayatan pribadi dalam integritasnya dengan seluruh pengalaman hidup seseorang dan bagaimana mengimplementasikan pemahaman dan penghayatan itu dalam kompleksitas hidup keseharian.
Adalah Petrus yang memberikan jawaban yang jitu dan tuntas. Jitu, karena tepat sasaran. Tuntas, karena menyentuh dan merangkul hakekat diri Yesus sebagai Mesias dari Allah yang harus menanggung banyak penderitaan demi keselamatan banyak orang. Jawaban itu atau pengakuan tersebut menjiwai seluruh sepak terjang perjalanan hidup Petrus, sekalipun pribadi Petrus penuh dengan kontradiksi. Seperti pada malam kelemahannya yang paling besar, dia menyangkal Gurunya. “Aku tidak tahu, apa yang engkau katakan. Aku tidak mengenal orang itu.” Begitu kata Petrus menjawab pertanyaan para penanyanya. Jawaban itu lahir dari rasa stres dan kebingungan, karena menurut pemikiran Petrus, Yesus tidak perlu menderita, Yesus tidak boleh menderita. Karena cintanya yang begitu besar kepada Yesus, dia tidak mau agar Yesus menderita.
Penyangkalan itu tidak menghancurkan cinta, kesetiaan dan imannya kepada sang Guru. Penyangkalan itu, malah melahirkan penyesalan dan penyesalan tersebut membuat Petrus lebih dalam mencintai Yesus, lebih setia menjadi rasul-Nya, utuh, kuat dan tergoyahkan imannya kepada Yesus. Semuanya itu Petrus buktikan dengan cara dia menjalani kematiannya: disalibkan dengan kepala ke bawah di Roma pada tanggal 29 Juni sekitar abad pertama. Dan apa yang terjadi pada Petrus, terjadi juga pada para rasul yang lain dalam sepak terjang mereka yang berbeda, namun bermura pada satu kesetiaan dan pengabdian, Yesus Kristus, Mesias dari Allah.
Tetapi, apa katamu, Siapakah Aku Ini? Banyak orang memberikan jawaban yang berbeda dan konsisten dengan jawabannya, bahkan sampai akhir hidup mereka. Pater Damian memberikan jawaban dengan teladan hidupnya yang konkrit. Ia hidup dan selalu berada bersama para penderita penyakit kusta di Molokai, sebuah pulau di gugusan kepulauan Hawai, dan mati di sana. Muder Teressa, yang mengabdikan seluruh hidup dan cintanya kepada mereka yang terhempas, tercampak, terlantar, terbuang, yang terbelenggu oleh kemiskinan, penyakit dan aneka penderitaan lahir bathin di Calcuta, India. Uskup Agung San Salvador, Mgr. Oscar Arnulfo Romero yang berani secara frontal menantang rezim militer yang berkuasa di El Savador, membela umatnya yang menderita penindasan dan kekerasan. Dan adalah tidak berlebihan bila kita sebut juga Mgr. Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, mantan Uskup Dili, Timor Leste, yang berani keluar dari rumah “keong ketakutannya”, tidak terbungkuk-bungkuk di bawah rezim yang berkuasa dan mengumandangkan suara kenabiannya, membebaskan rakyat Timor Leste yang adalah umatnya sendiri, dari ketidakadilan, penindasan dan kekerasan. Dan masih ada banyak contoh yang lain tentunya.
Pertanyaan Yesus tersebut di atas ditujukan juga kepada kita pada hari ini. “Tetapi, apa katamu, Siapakah Aku ini?” Bagaimana jawaban kita?
Kita semua tentu tahu bagaimana persisnya buah jambu air. Bila kita memperhatikan dengan cermat, kita akan menyadari bahwa bentuknya bagus, warnanya hijau kekuning-kuningan, kulitnya halus, mulus dan licin serta putih bersih isinya. Namun .... dan ini yang penting, TAWAR RASANYA.
Semoga hati kita tidak tawar terhadap situasi dan kondisi di sekitar kita dalam mengimplementasikan jawaban kita terhadap pertanyaan Yesus tersebut di atas: Menurut Kamu, Siapakah Aku ini? Amin.
Copyright @ 19 Juni 2010, by: P. P. Berkhmans Keytimu, SVD

Sabtu, Juni 05, 2010

251. HIDUP YANG TERCURAH DALAM TUBUH DAN DARAH

Minggu, 06 Juni 2010 Bacaan : 1 Kor 11, 23 - 26 dan Luk 9, 11-17
Kita rayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, sebuah perayaan yang mengingatkan kita akan perayaan pusat kehidupan Kristiani yakni Ekaristi. Merefleksikannya dengan tenang, kita sebenarnya merasa terhibur dan gembira. Mengapa ada alasan untuk terhibur dan bergembira? Saya meyakini satu alasan simple berikut ini, 'pesta ini menyadarkan kita untuk menghargai dan mengusahakan hidup dalam artinya yang sebenar-benarnya'. Santu Paulus dalam bacaan yang diperdengarkan kepada kita pada Hari Minggu ini mengingatkan kita tentang peristiwa yang terjadi pada saat Yesus mengadakan Ekaristi sebagai perayaan syukur dan perayaan korbanNya kepada BapakNya. "Inilah TubuhKu .... Inilah DarahKu yang diserahkan bagimu. Setiap kali kami mengingatnya, kami mengenangkan Aku sampai Aku datang kembali." Kata-kata yang tak asing bagi semua yang menyebut diri mereka Kristen, karena kata-kata ini menjadi kata kunci dalam setiap perayaan Ekaristi. Mengapa Tubuh dan Darahlah yang digunakan untuk mengingat Tuhan Yesus? Untuk semua makhluk hidup, Tubuh selalu dipakai untuk menunjukkan kehidupan. Untuk meneruskan dan melahirkan kehidupan diperlukan tubuh. Lewat tubuh manusia bersatu secara jasmani sebagai tanda pengungkapan cinta mereka. Pemberian diri dalam ekspresi persatuan dua tubuh manusia, bukan saja menyatakan kerinduan akan persatuan yang memberikan kepuasan sesaat, tetapi lebih dari itu adalah proses untuk saling mengenal untuk memberikan yang terbaik dan paling maksimal dalam pertemuan itu. Maka persatuan tubuh yang dalam bahasa hukumnya 'consumatum' itu menjadi langkah penyempurnaan sakramen Perkawinan, dan menjadikan perjanjian nikah sesuatu yang sah. Begitupun ... darah yang dihasilkan dalam persekutuan itu melahirkan kehidupan. Persis inilah yang mendasari hidup. Tubuh dan Darah adalah lambang hidup dan karena itu menjadi pemberian diri Yesus yang memberikan hidupNya bagi orang yang dikasihiNya. Ketika kita merayakannya, kita sesungguhnya diminta untuk selalu bersyukur atas pemberian diri kita, dan pemberian diri orang lain kepada kita. Tanpa itu kita tidak menghargai hidup dan tidak memperhjuangkan hidup. Kiranya Pesta Tubuh dan Darah Tuhan yang dirayakan hari ini memberanikan kita untuk mengusahakan hidup sejati dan hidup di dunia ini dengan cara memberikan tubuh dan darah kita untuk kehidupan orang-orang di sekitar kita. Amin
Copyright @ Ende, 05 Juni 2010 By Anselmus Meo SVD

Selasa, Juni 01, 2010

AKU PERCAYA AKAN KEBANGKITAN

Selasa, 2 Juni 2010 Bacaan : Markus 12, 18-27
Ungkapan yang saya pakai sebagai judul renungan ini kita kenal sebagai salah satu rumusan dalam Credo atau Aku percaya, yang secara lengkapnya berbunyi, "Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja katolik yang kudus, persekutuan para kudus, kebangkitan badan, kehidupan kekal. Amin"
Injil yang menjadi bacaan liturgi pada hari ini mengarahkan perhatian kita kepada persoalan kebangkitan orang mati, yang sungguh menjadi penghalang dalam relasi Yesus dengan kaum Saduki. Kelompok terakhir ini tak percaya akan kebangkitan, karena itu mereka bertanya kepada Yesus dan memaparkan sebuah contoh yang sesungguhnya hanya menambah anggapan bahwa pikiran mereka hanya sebatas persoalan badan dan kebutuhannya. Yang dilupakan oleh kelompok ini ialah kenyataan bahwa Yesus dalam karyaNya telah melakukan banyak perbuatan besar yang memulihkan keutuhan manusia sebagai makhluk berbadan dan berjiwa. Bukankah ada begitu banyak orang sakit yang fisiknya tak utuh dipulihkan Yesus. Bukankah Ia memberikan kembali keindahan dan kesehatan kepada tubuh manusia yang digerogoti berbagai penyakit dan kelemahan? Bukankah dengan itu Dia juga berkuasa memulihkan keutuhan jiwa manusia? Jadi mendasar sekali apa yang ditegaskan Yesus kepada mereka, bahwa dalam kehidupan baru tak ada lagi soal kawin dan dikawinkan, tetapi keutuhan manusia seluruhnyalah yang dipulihkan. Manusia akan menjadi seperti Allah, sebagaimana intensi penciptaannya oleh Allah, ketika Allah mengatakan, "Marilah kita menjadikan manusia menurut rupa dan citra Kita." Allah selalu konsekwen dengan kehendak dan maksudNya. Ia menciptakan manusia seperti gambaranNya sendiri. Tetapi ketika manusia berdosa, Ia tetap memberikan kesempatan untuk memulihkannya. "Manusia baru akan hidup seperti malaikat Allah, yang memandang wajah Allah siang dan malam". Itulah jiwa yang hidup sempurna di hadapan Allah. Sabda Tuhan dan ungkapan iman kita AKU PERCAYA AKAN KEBANGKITAN sesungguhnya mengajak kita untuk secara positip melihat maksud dan kehendak Allah bagi kita. Bahwa kita dimaksudkanNya untuk keselamatan. Mari kita bekerja untuk memenuhi maksud Allah itu, mengarahkan diri kita kepada keselamatan sejak kita masih di dunia. Tuhan, Kami Kauciptakan untuk keselamatan kekal. Semoga dalam hidup dunia ini kami tak tenggelam dalam karya yang hanya memperhatikan kemakmuran badan yang dapat binasa, tetapi mengusahakan keseimbangan keduanya, kesejahteraan badan dan keselamatan jiwa. Amin.
Copyright © 02 Juni 2010, by Anselm Meo, SVD

Kamis, November 05, 2009

14. Paulus yang Rendah Hati

Sabtu, 7 Nopember 2009
Bacaan : Rom 16, 3-9.16.22-27
Membaca bacaan dari surat Paulus kepada orang di Roma, langsung terasa betapa sapaan yang dialamatkan kepada orang-orang yang disebutkan dengan nama adalah sapaan yang akrab penuh rasa kekeluargaan. Dan memang demikianlah yang tersurat. Yang langsung saya dan anda pikirkan tentu sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin Paulus yang adalah seorang ahli Kitab Suci menjadi begitu rendah hati dan mengakui betapa banyak orang yang berperan dalam karya pewartaannya.
Paulus menghargai secara detail setiap sumbangan orang-orang ini dalam karyanya. Dan hal ini hanya terjadi karena Paulus merasa dirinya ditransformasikan sepenuhnya oleh Kristus. Kristuslah yang telah menyediakan baginya banyak orang, yang dalam pewartaan khabar gembira telah menjadi rekan sekerja, yang mempertaruhkan hidup dan nyawa bagi kelangsungan pewartaan khabar gembira. Itulah sebabnya dalam Paulus muncul kegembiraan yang sangat besar karena orang-orang yang dikarunikan Tuhan kepadanya. Paulus, seorang rasul yang agung, secara rendah hati mengakui betapa saudara-saudarinya seiman adalah anugerah Tuhan baginya dalam pelayanannya.
Bagi kita penghayatan Paulus ini adalah sebuah undangan untuk tak pernah mengabaikan setiap uluran tangan, setiap bentuk campurtangan dan derita dalam kaitan dengan pewartaan khabar gembira. Keberhasilan apapun yang kita raih sesungguhnya adalah sebuah karya bersama dengan tuntunan Roh ALlah yang menggerakkan begitu banyak hati dan kehendak untuk mengambil bahagian.
Kiranya kita semua seperti Paulus masih mampu mengapresiasi keterlibatan rekan kerja dalam pelayanan kita. Dan tak lupa mendoakan mereka. Amin.
Copyright © 06 November 2009, by Anselm Meo, SVD