Sabtu, Oktober 10, 2009

302. Merangkul Kasih Yesus : Harta Hidup Kekal

Minggu, 11 Oktober 2009
Hari Minggu Biasa XXVIII, Tahun B

Bacaan : Mk 10, 17-30

Dalam hidup kita sering mendapatkan orang-orang yang walau memiliki segalanya dalam hidup, ternyata masih memiliki kerinduan yang lebih besar dan dalam untuk mendapatkan sesuatu yang dalam kekuatannya sendiri, mereka tak mampu melakukannya. Itulah yang sedang terjadi dengan si pemuda kaya dalam Injil pada hari Minggu ini.

Kita rasakan adanya simpati yang mendalam buat sikap si pemuda kaya yang sesungguhnya penuh kerendahan hati berlari kepada Yesus dan menginginkan petunjuk untuk memperoleh kehidupan kekal. Ia berlutut menyembah Yesus dan memohonkan agar ada jalan baginya untuk mendapatkan hidup kekal, hal mana tak bisa ia lakukan sendiri dengan semua kekayaannya. Dan Injil mengisahkan juga bahwa Yesus memandangnya dengan penuh kasih, seraya mengatakan, "Ada satu yang kurang padamu, pergilah juallah segala hartamu dan datanglah kemari seraya mengikuti Aku!". Sampai titik ini, dia sadar bahwa ia tak bisa melakukannya, karena hatinya telah terpaut pada kekayaannya, kekayaan telah menguasainya.

Ada apa sebenarnya di sini? Mengapa ia tak bisa menjual hartanya? Bukankan pada Yesus telah ia temukan harta sesungguhnya, bukankah ia telah menemukan orang yang menjamin hidup kekal itu sendiri seraya mengasihi dia? Kenyataan bahwa ia tak mampu melepaskannya, seolah menegaskan kepada kita bahwa motivasi yang membuatnya mendekati Yesus, bukanlah murni soal hidup kekal, tetapi sesungguhnya soal bahwa dia memiliki jaminan lebih lagi bahwa ia masih menjadi tuan atas hidupnya. Melepaskan segalanya berarti membuat dia tiada sandaran lagi. Matanya tertutup melihat undangan dan tawaran Tuhan Yesus untuk memiliki kasih sejati, yang bersumber dari Allah sendiri. Ia meolak untuk merangkul kasih sejati itu yang diberikan Yesus kepadanya. Ia karenanya menolak menerima hidup kekal, yang disediakan Yesus.

Sebuah ajakan tentang bagaimana mengorientasikan sendiri hidup kita, bukan hanya kepada kepentingan saat ini, tetapi kepada yang akan datang, untuk kehidupan yang menantikan kita, tatkala semua yang kita usahakan di dunia ini tak mampu lagi menahan kepergian kita. Cara Yesus mengajak pemuda itu adalah undangan penuh kasih untuk merangkul kasihNya, kendatipun kita bergelimang sahabat dan kekayaan serta sukses. Semuanya perlu untuk hidup, tapi tak boleh membuat mata kita tertutup untuk mendapatkan harta abadi. Ajakan datang dan mengikuti Yesus adalah sebuah ajakan untuk menempatkan karya kasih sebagai jalan untuk membuka harta surgawi.

Semoga kita tak pernah didapati terlalu susah melepaskan semua yang nampaknya menjanjikan kenyamanan hidup. Semoga kita masih terbuka hati dan mata kita untuk merangkul kasih Yesus dengan berkorban bagi yang lain, lewat sedekah, karya pelayanan tanpa pamrih dan menghargai Yesus sebagai Tuhan yang menjamin hidup kekal bagi kita. Amin.

Copyright © 10 Oktober 2009, by Anselm Meo SVD

Jumat, Oktober 09, 2009

301. Alasan Mendasar Untuk Berbahagia

Sabtu, 10 Oktober 2009

Bacaan : Lk 11, 27 - 28

Tentu mengejutkan mengetahui bahwa Yesus seolah menyangkal tentang posisi penting ibuNya berkaitan dengan keberadaan dan karyaNya. Secara tersurat, kita merasa bahwa Yesus tak menganggap betapa pentingnya hubungan alamiah antara Dia sebagai anak dan Maria sebagai ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui Dia.

Kita tangkap kesan ini ketika membaca perikop Injil yang sangat singkat hari ini. Injil mengisahkannya demikian, "Ketika Yesus masih berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan berkata kepada-Nya: "Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau." Tetapi Ia berkata: "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya."

Apakah Yesus sungguh menganggap remeh peran ibuNya sendiri? Apakah Ia memang tak menganggap penting peran ibuNya dalam karya dan hidupNya? Kalau kita menelusuri kisah-kisah Injil berkaitan dengan kehadiran Maria, sang ibu dan Yesus sendiri, kita bisa saja membenarkan hal itu. Kita tentu ingat bagaimana ia menjawab ibuNya ketika Dia dicari di bait Allah saat berusia 12 tahun. Juga bagaimana Ia menjawab sang ibu di Kana ketika mujisat air menjadi anggur. Dan hari ini ketika seorang memuji ibuNya, tatkala mengagumi Dia yang lagi mengajar banyak orang. Kita bertanya, sungguhkah Ia meremehkan hubungan alamiah diriNya sebagai anak dan Maria sebagai ibuNya?

Rupanya bukan itu yang menjadi konsern utama di sini. Bukannya soal hubungan kekeluargaanlah sebagai sumber kebahagiaan Yesus yang dipandang sebagai penting tetapi kebahagiaan yang lebih besar yang bakal dimiliki semua yang mengimani SabdaNya. Yesus menempatkan di sini soal alasan paling mendasar untuk berbahagia dalam hidup yang berhubungan dengan mendengarkan Sabda Tuhan dan melaksanakanNya.

Yang diremehkan Yesus ialah soal kegembiraan dan kebahagiaan sementara sang ibu di bumi seperti yang dimaksudkan perempuan itu. Kebahagiaan yang demikian tak berarti dibanding dengan kebahagiaan abadi, kebahagiaan spiritual, yang diperoleh seseorang ketika mendengarkan Firman Tuhan dan melaksanakanNya. Dan bila hal ini yang pusat perhatian, maka Maria adalah orang yang dimaksudkan Yesus karena ia sejak semula adalah seorang Hamba Tuhan yang mendengarkan SabdaNya dan menyimpanNya dalam hati serta menjadi pelaksana Sabda Tuhan pada tempat pertama.

Maria menemukan kegembiraan dan kebahagiaan sejati dalam Sabda Tuhan yang adalah Putranya sendiri. Dialah yang pertama-tama menerima Sabda itu dalam hidupNya, dia mengambil resiko berhadapan dengan Sabda Tuhan, dan menjadi murid Sabda itu pada kesempatan pertama.

Melihat Maria, kita bisa mengatakan inilah dia contoh sejati seorang yang menerima dan menghidupkan Sabda Allah pada kesempatan pertama. Dia adalah murid Yesus, karena Ia menerimaNya dalam hidup dan diriNya, Ia menjadikan Yesus bagian hidupNya. Ia pantas berbahagia secara sempurna.

Kita juga seperti Maria adalah Murid Yesus. Apakah kita memiliki alasan seperti Maria untuk disebut sebagai berbahagia? Ya, ketika kita menjadi seorang yang mendengarkan, menerima dan menjelmakan Sabda Tuhan yang kita terima dalam hidup dan pelayanan kita.

Tuhan Yesus, kiranya seperti Maria, kami menjadi murid yang merindukan Engkau, mendengarkan SabdaMu dan mengambil resiko dengan membiarkan SabdaMu mengubah kehidupan kami. Amin.

Copyright © 09 Oktober 2009, by Anselm Meo SVD

Kamis, Oktober 08, 2009

300. Bebaskan Kami Dari yang Jahat

Jumat, 09 Oktober 2009

Bacaan : Lk 11, 15-26

Ungkapan berbentuk doa, "Tuhan, Bebaskanlah kami dari segala yang jahat!" sering kita gunakan dalam doa, sebagaimana doa warisan Sang Guru, doa Bapa kami. Ungkapan ini juga kita gunakan dalam bentuk lain dalam hidup sehari-hari seperti, "kiranya engkau dijauhkan dari segala kemalangan dan kejahatan", "kiranya engkau beruntung", "semoga tak ada aral merintangi engkau!" Praktek memohon doa agar dijauhkan dari kekuatan roh jahat memang sudah dikenal dalam berbagai agama dan budaya. Bahkan ketika bepergian jauh seorang anak selalu mendapatkan doa restu orangtuanya dengan muatan doa seperti di atas.

Injil yang kita baca hari ini berkisah tentang perjuangan Yesus untuk membebaskan manusia dari roh-roh jahat yang selalu melingkungi manusia. Saya katakan perjuangan, karena Yesus memang berusaha supaya jangan lagi roh jahat menang berhadapan dengan para pengikutNya. Karena kalau sekali kejahatan menang, dia akan mencari sekutu untuk memperkuat dirinya. Kata Yesus, "Apabila roh jahat keluar dari manusia, iapun mengembara ke tempat-tempat yang tandus mencari perhentian, dan karena ia tidak mendapatnya, ia berkata: Aku akan kembali ke rumah yang telah kutinggalkan itu. Maka pergilah ia dan mendapati rumah itu bersih tersapu dan rapih teratur. Lalu ia keluar dan mengajak tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya, dan mereka masuk dan berdiam di situ. Maka akhirnya keadaan orang itu lebih buruk dari pada keadaannya semula." Yesus mau agar sekali orang dibebaskan dari kejahatan, ia hendaknya memiliki komitmen untuk memilih Tuhan sebagai Tuan atas hidupnya. Ia tidak boleh membiarkan dirinya tanpa perlindungan, karena jika demikian roh jahat akan datang dan menguasainya secara lebih dahsyat.

Sebagai orang beriman, kita tahu bahwa pembaptisan yang kita terima sesungguhnya adalah usaha pertama dari pihak Allah untuk membersihkan kuasa kejahatan dari dalam diri kita. Sakramen itu berdaya, tetapi tak menjamin bahwa kita tidak akan dikuasai lagi. Ibarat rumah kosong dan bersih, itulah keadaan jiwa kita sesudah pembaptisan. Bahwa ada bahaya mengancam dengan kembalinya roh jahat dan kebiasaan jahat, inilah yang membuat Yesus untuk meminta kita agar waspada. Dan bukan tidak mungkin, pemikiran ini pulalah yang mendorong Yesus memasukkannya sebagai sebuah doa, "Bebaskanlah kami dari segala yang jahat", sebagaimana doa Bapa Kami.

Injil hari ini menyadarkan kita semua bahwa mendoakan kebebasan dari kejahatan hendaknya menjadi doa harian kita. Upaya dan perjuangan melawan kejahatan harus pula menjadi program utama kehidupan kita. Hanya dengan cara inilah, Kerajaan Sorga yang diwartakan dan dibawa Yesus kepada kita bisa berkembang subur di dunia kehidupan kita, di dalam hati kita.

Tuhan, bebaskanlah kami dari segala yang jahat. Amin.

Copyright © 08 Oktober 2009, by Anselm Meo SVD

Rabu, Oktober 07, 2009

299. Seperti Bapa di Surga

Kamis, 08 Oktober 2009

Bacaan : Lk 11, 5-13

Bacaan yang diperdengarkan kepada kita hari ini sedikit banyak menyinggung tentang sikap ayah atau bapak sebagaimana yang kita kenal dalam keluarga-keluarga kita. Ketika Yesus masih melanjutkan pengajaranNya tentang doa dan bagaimana seharusnya berdoa yang baik, ia mengedepankan bagaimana sikap seorang bapak yang dengan segala cara memenuhi kebutuhan keluarganya dan mengusahakan perlindungan maksimal buat mereka.

Kata-Nya kepada mereka: "Jika seorang di antara kamu pada tengah malam pergi ke rumah seorang sahabatnya dan berkata kepadanya: Saudara, pinjamkanlah kepadaku tiga roti, sebab seorang sahabatku yang sedang berada dalam perjalanan singgah ke rumahku dan aku tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan kepadanya; masakan ia yang di dalam rumah itu akan menjawab: Jangan mengganggu aku, pintu sudah tertutup dan aku serta anak-anakku sudah tidur; aku tidak dapat bangun dan memberikannya kepada saudara. ... Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? ... Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya."

Bapa yang baik seyogyanya adalah figur yang melindungi anggota keluarganya, memenuhi kebutuhan mereka, yang iba hati ketika sang anak dalam kebutuhan dan bertindak dengan cepat tanpa birokrasi panjang dan berbelit. Lebih lanjut bapa yang demikian, pasti juga memiliki keterbukaan dan kepekaan untuk memperhatikan dan menanggapi kebutuhan dan penderitaan dalam masyarakat sekitarnya. Hal ini dilakukannya karena keluar dari tanggung jawab dan panggilannya sebagai bapa, yang dalam salah satu cara mewakili sikap Allah sebagai Bapa Surgawi bagi semua anakNya.

Sebagai manusia beriman, dan secara khusus sebagai orang Kristen yang bisa menyapa Allah dalam doa sebagai Bapa, kita sesungguhnya juga mengemban tugas untuk menampakan sikap Allah sebagai Bapa dalam setiap pertemuan kita dengan sesama. Ada tanggung jawab besar untuk mewujudkan apa yang kita doakan dalam karya dan hidup, terutama kalau berhadapan dengan kebutuhan dan realitas penderitaan yang ada di sekitar kita. Kita menerima Roh Kudus karena Bapa Surgawi menjaminnya untuk kita. Roh itulah yang memampukan kita berdoa secara benar kepada Bapa dan menjamin pula pemenuhan atas doa-doa kita. Nah ucapan syukur kita atas karunia inilah yang mendorong kita untuk menghadirkan sikap Allah Bapa yang peduli dengan kebutuhan anak-anak KerajaanNya.

Tuhan, kami menyapa Engkau Bapa kami. Engkau menganugerahkan kami apa yang kami perlukan untuk hidup. Kiranya sebagai tanda terimakasih, kami tak pernah melupakan untuk memperpanjang kasih dan kebaikanMu bagi semua yang membutuhkannya di sekitar kami. Amin.

Copyright © 07 Oktober 2009, by Anselm Meo SVD

Selasa, Oktober 06, 2009

298. Tuhan Beserta Engkau

Rabu, 07 Oktober 2009
SP Maria Ratu Rosario

Bacaan : Luk 1, 26-38

Entah sadar atau tidak, lingkaran hidup seorang beriman Kristen, akan selalu ditandai dengan sapaan "Tuhan besertamu", "Tuhan menyertai engkau". Hampir semua ritus liturgis atau perayaan sakramen di dalam Gereja selalu diawali dengan sapaan yang sama ini, yang sekaligus menunjukkan suatu pemahaman bahwa yang memampukan kita berdoa dan menghadap Allah sesungguhnya adalah Allah sendiri.

Pada peringatan Santa Perawan Maria Ratu Rosari yang kita rayakan pada hari ini, kita diajak untuk merenungkan maksud salam di atas, yang juga kita temukan dalam ungkapan Malaikat kepada Maria, ketika pertama kali Maria mengenal maksud dan rencana Allah. Injil hari ini mengisahkan, "Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: "Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau." Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata malaikat itu kepadanya: "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah!"

Apakah sesungguhnya arti salam itu bagi Maria dan bagi kita ketika kita sering menggunakannya atau menjawabnya dengan "Dan sertamu juga"? Bagi Maria, menerima salam Malaikat kepadanya, berarti menerima kenyataan bahwa ia sepenuhnya alat Tuhan untuk mewujudkan rencanaNya demi keselamatan manusia. Maria mengamini dan bekerjasama untuk mewujudkan semua misteri yang direncanakan Allah lewat Yesus Kristus. Salam malaikat kepadanya adalah satu penegasan, bahwa hidupnya tak akan sia-sia. Dan kalau kita merenungkan semua misteri iman dalam peristiwa rosario yang didoakan, rasanya kita mendapatkan peneguhan akan hal itu. Maria adalah alat Tuhan untuk mewujudkan misteri keselamatan Allah dalam Yesus.

Dan kita, bagaimana konsekwensinya kalau salam yang sama juga sering kita pakai dan kita amini? Sekolah yang dimasuki Maria sejak menerima salam Malaikat, hendaknya menjadi juga perjalanan kemuridan kita. Kita hendaknya sadar dan bersedia untuk membiarkan misteri Allah untuk keselamatan manusia juga bekerja dalam dan melalui kita.

Kiranya Tuhan menyertai kita. Amin.

Copyright © 06 Oktober 2009, by Anselm Meo SVD

Minggu, Oktober 04, 2009

297. Menerima Yesus sebagai Tamu Keluarga

Selasa, 06 Oktober 2009

Bacaan : Luk 10, 38 - 42

Dewasa ini ketika krisis ekonomi melanda kebanyakan orang, ada yang mencari jalan keluar dengan pergi ke tempat lain untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka mencari pekerjaan untuk memberikan penghasilan buat kehidupan mereka. Dan yang namanya pergi jauh dari kampung halaman, ada-ada saja tantangan yang dihadapi. Dalam situasi seperti ini keberadaan seorang sahabat yang menerima mereka sebagai tamu sementara akan terasa sangat berarti.

Yesus dalam Injil hari ini memang bukan pencari kerja seperti kebanyakan orang di jaman kita. Tapi Ia sedang melaksanakan perkerjaanNya sebagaimana diutus oleh BapaNya. Namun sama seperti para pencari kerja yang saya maksudkan di atas, Yesus juga merasa perlu juga ada orang, ada sahabat yang bisa menerima Dia untuk sementara di rumah mereka, walau cuma sebatas tamu saja. Dan rupanya inilah yang terjadi dalam perikop Injil hari ini.

Lukas dalam Injilnya mengisahkannya secara singkat demikian, "Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya..."

Kedua bersaudara Marta dan Maria ini menerima Yesus di rumah mereka dan memberikan perhatian dengan cara mereka masing-masing. Kita sering bertanya, "Apakah memang Maria memilih bagian terbaik sedangkan saudarinya Marta tidak?" Mungkin saja demikian sebagaimana tafsiran banyak ahli Kitab. Namun saya rasa keduanya memberikan bagian mereka secara khas dalam upaya menerima Yesus sebagai tamu di rumah keluarga mereka. Yang satu melayani kebutuhan Yesus sedangkan yang lain menemani Dia sambil mendengarkan Dia.

Cara kedua bersaudara ini dalam menerima Yesus sebagai tamu, sesungguhnya mengajak kita melihat hakikat kehidupan setiap keluarga Kristiani, kehidupan komunitas beriman. Dua-duanya vital dalam upaya menghidupkan ideal hidup Kristen, melalui pelayanan serta karya dan melalui upaya mendengarkan Sabda Tuhan terus menerus seraya berdoa kepadaNya. Dan persis inilah yang diminta dari kita dewasa ini dalam usaha kita menghidupkan cara berada Kristiani kita. Bahwa di manapun kita berada, kita diundang selalu untuk menerima Yesus sebagai tamu di keluarga kita, di komunitas kita. Caranya? Dengan melayani dan berkarya aktif dan dengan berdoa dan mendengarkan Sabda Tuhan.

Tuhan Yesus, kiranya kami dengan bantuan rahmatMu mampu juga untuk menerima Engkau sebagai tamu keluarga dan komunitas kami. Bantulah kami untuk melaksanakan karya-karya kami sebagai kesempatan untuk melayaniMu dan selalu mendengarkan Engkau dan SabdaMu sebagai sumber kekuatan keluarga kami. Amin.

Copyright © 05 Oktober 2009, by Anselm Meo SVD