Jumat, Februari 27, 2009

129. Menderita Tanpa Melakukan Kesalahan

Minggu, 01 Maret 2009

(Minggu I Masa Puasa)

Bacaan : Kej. 9: 8-15; 1Petr 3: 18-22; Mk 1: 12-15
Ada satu cerita tentang seorang anak laki-laki yang memiliki kebiasaan pulang terlambat ke rumah dari sekolah. Suatu hari sang ayah mengingatkan dia untuk pulang ke rumah pada waktunya. Namun, anak ini tetap pada kebiasaannya. Lalu mereka memutuskan untuk memberi pelajaran kepadanya. Pada waktu makan malam, anak ini hanya dilayani seketul roti di atas piringnya, dan segelas air putih sementara pada piring ayahnya makanan berlimpah. Anak yang malang ini menatap pada piring ayahnya penuh kemarahan dan membelalakkan matanya kepada ayahnya. Tiba-tiba terjadi sesuatu yang mengejutkan. Sambil tersenyum kepada anaknya dan dengan tenang ayahnya mengambil piring makanan anaknya dan menempat dihadapannya. Ketika anak ini menjadi dewasa, ia berkata, “Sepanjang kehidupanku, saya telah mengenal Allah sebagai Pribadi seperti yang ayahku lakukan pada malam itu.” Apa yang dilakukan ayahnya yakni mengalihkan hukuman yang seharusnya dikenakan pada anaknya bagi dirinya sendiri. Inilah yang disebut penebusan kesalahan. Hal inilah yang telah dilakukan Kristus bagi kita. Dan ini pula yang diserukan Gereja kepada kita untuk dilakukan selama masa puasa ini.

Dalam bacaan kedua dalam liturgi pada Hari Minggu I Masa Puasa ini, Petrus membesarkan hati umat untuk bertahan atau tabah menghadapi penderitaan akibat penganiayaan.Ketabahan dalam menghadapi penderitaan adalah baik tidak hanya untuk keselamatan diri sendiri, tetapi juga untuk keselamatan orang lain, sebagaimana telah dibuktikan oleh Yesus Kristus sendiri. “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah” (1 Petrus 3:18). Jadi, dukungan moril yang diberikan Petrus bukannya tanpa dasar, tetapi justru mendapatkan inspirasi dari teladan Yesus sendiri. Dan orang-orang yang memetik buah dari penderitaan Yesus tidak hanya orang-orang berdosa yang masih hidup yang mendengarkan Kristus dan yang menolak-Nya, tetapi juga kaum pendosa yang telah meninggal dan yang hidup sebelum kedatangan Kristus.

Memasuki masa puasa, Gereja mengundang semua putra dan putrinya untuk menyertai Kristus selama 40 hari perjalanan puasa, tobat dan memberi sedekah. Barangkali ada orang di antara kita yang menemukan kesulitan dalam upaya merealisasikannya, sehingga mereka tidak memerlukan bentuk menanggung penderitaan secara suka rela ini. Tetapi, sesungguhnya ia dapat membantu kita untuk memahami bahwa penderitaan yang ditanggung, sekalipun bukan karena akibat salah dan dosa kita sendiri mengandung nilai penebusan, tidak hanya untuk para pendosa jaman ini, tetapi juga bagi mereka yang telah mendahului kita dan yang masih berada di “penjara” yang memisahkan mereka untuk bertemu Allah dari muka ke muka.

Dalam membersarkan hati umat untuk menanggung penderitaan sekalipun tanpa melakukan kesalahan bahkan kejahatan, Petrus menunjuk pada pembaptisan dan membandingkan dengan perahu Nuh dengan segala isinya yang selamat dari malapetaka karena kesetiaan mereka kepada Allah. Dalam sejarah, orang-orang Kristen pernah berdebat seputar pembaptisan. Apakah pembaptisan dilakukan dengan meneteskan saja air, atau menuangkan air atau dengan menceburkan seluruh diri di dalam air. Petrus mengingatkan kita bahwa air itu tidak dimaksudkan untuk membersihkan badan dari kotoran akibat keringat dan daki, tetapi air itu sesungguhnya merupakan suatu simbol hati nurani. “Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan. Maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus” (1 Ptr.3:21).

Masa puasa adalah masa merefleksi diri bagi seluruh anggota Gereja sebagai suatu persiapan menyongsong pembaharuan janji baptis pada malam Paskah nanti.

Marilah kita berdoa, memohon rahmat Allah untuk menjalani pekan puasa ini sebagai suatu jalan untuk membersihakan hati nurani kita dari segala cacat celahnya dan untuk mennyertai Kristus di dalam penderitaan yang berdaya penebusan demi keselamatan jiwa orang-orang berdosa baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Amin.

Copyright © 27 Pebruari 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD

128. Wajah Allah: Pencarian tanpa batas manusia tersesat

Sabtu, 28 Februari 2009
Masa Puasa
Bacaan: Lukas 5, 27 - 32

Menarik sekali peristiwa yang dilukiskan oleh penginjil Lukas dalam bacaan hari ini. Masa puasa kita yakini sebagai masa untuk membangun kehidupan rohani untuk menjadi semakin dekat dengan Tuhan. Hal ini kelihatannya menekankan usaha kita untuk mendekati Allah. Dari perikop injil hari ini kita melihat sesuatu yang lain sama sekali. Yesus menyampaikan dua gerakan yang saling bertemu. Gerakan pertama adalah Allah yang mendekati manusia, "Yesus melihat seorang pemungut cukai, yang bernama Levi, sedang duduk di rumah cukai". Yesus yang pertama melihat Levi dan bukannya Levi yang melihat Yesus. Gerakan kedua adalah kebutuhan manusia akan penyembuhan sebagaimana diungkapkan oleh penginjil pada bagian akhir dari perikop ini "Bukan orang sehat yang membutuhkan tabib, tetapi orang sakit".

Dari dua gerakan itu nampaknya Yesus memberikan perhatian pada gerakan pertama yaitu Allah yang mencari manusia yang tersesat. Gerakan pertama ini memang terasa sekali dalam seluruh cerita Kitab Suci, baik perjanjian lama maupun perjanjian baru. Dengan itu penginjil Lukas mau menekankan wajah Allah yang senantiasa mencari manusia yang tersesat. Allah selalu ada waktu untuk mencari gambarannya, kembarannya yaitu manusia sendiri. Allah tidak pernah akan capai untuk hal ini.

Gerakan Allah yang demikian merupakan gambaran dari wajah Allah yang amat penting untuk diberi perwujudan dalam hidup manusia dewasa ini. Wajah Allah yang demikian semakin sirna terutama dalam karya pastoral di segala tingkat. Sebagai orang Kristiani, kita mendapat ajakan hari ini untuk menampilkan wajah Allah yang demikian dalam hidup haria kita. Bagi para petugas pastoral (entah tertahbis maupun tidak) wajah Allah yang demikian menjadi visi pelayanan yang amat menantang.

Dalam masa puasa ini kita diajak untuk merenungkan wajah Allah yang demikian dan kita membiarkan diri kita dipandang oleh wajah seperti itu sehingga kita sungguh mengalami penyembuhan dan pengampunan.

Ya Tuhan, terimakasih karena Engkau telah menyingkapkan wajah Allah yang mengasihi kami orang-orang yang berdosa ini.

Copyright © 27 Februari 2009 by Paulus Tolo SVD

Rabu, Februari 25, 2009

127. Pentingnya Menghubungkan Puasa dengan Relasi yang Erat dengan Yesus

Jumat, 27 Pebruari 2009
Masa Puasa
Bacaan : Mt 9, 14-15

Merenungkan perikope Injil yang singkat hari ini, kita dihantar kepada permenungan tentang perlunya menghubungkan praktek keagamaan dengan relasi yang sehat dengan Tuhan dan dengan sesama. Yesus mengingatkan adanya bahaya bahwa mereka yang sangat menekankan ketaatan dalam praktek keagamaan seringkali menjalankannya secara egoistis dan lebih parah lagi kalau sampai memaksa orang lain berbuat seperti mereka.

Inilah yang terjadi dengan murid - murid Yohanes dan orang Farisi yang mempertanyakan kenapa para murid Yesus tak berpuasa. Mateus menggambarkannya dengan sangat singkat demikian, Kemudian datanglah murid-murid Yohanes kepada Yesus dan berkata: "Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?" Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.

Jawaban Yesus menyadarkan mereka tentang apa yang terpenting dalam praktek keagamaan seperti halnya praktek puasa ataupun doa. Intinya ialah bahwa yang terpenting di sana adalah hubungan dengan Yesus, hubungan dengan Tuhan yang terbaca juga dalam hubungan dengan sesama. Dan puasa Kristiani sebagaimana dikehendaki Yesus adalah sebuah praktek yang menghubungkan kita selalu dengan sengsara Kristus. Karena selama masa hidupNya bersama para muridNya, Yesus memang tak pernah memaksakan praktek puasa, pantang dan mati raga kepada para muridNya. Keberadaan bersama Dia adalah suatu keadaan pesta yang menyukakan hati. Memang ada moment penderitaan dalam kebersamaan itu, makanya Yesus bilang, "akan ada saatnya mempelai diambil dari mereka, saat itulah mereka berpuasa".

Lalu untuk apa praktek berpuasa yang kita jalani sekarang? Jawabannya mesti kita letakkan dalam kerangka hubungkan dengan hubungan dan relasi pribadi dengan Yesus dan kasih kita kepada sesama. Puasa karenanya adalah kesempatan buat kita untuk mempererat hubungan kita dengan Yesus lewat doa dan kekayaan spiritual. Dan sebagaimana hidup Yesus diabdikan kepada sesamanya, puasa kita hendaknya dikaitkan dengan upaya untuk bertindak lebih adil, lebih solider dengan orang yang menderita, dengan mereka yang berkekurangan.

Tuhan Yesus, semoga puasa kami saat ini menjadi upaya nyata untuk mendekatkan diri kami dengan Dikau dan Bapa, dan juga menggerakkan kami untuk lebih mengasihi dan berbagi dengan mereka yang berkekurangan dan menderita. Amin.

Copyright © 26 Februari 2009 by Anselm Meo SVD

126.Berjalan Bersama Yesus Menuju Bapa

Kamis, 26 Pebruari 2009
Masa Puasa

Bacaan : Lk 9, 22 - 25

Setelah menyatakan bahwa Dia mesti menderita, ditolak oleh orang tua-tua dan disalibkan, Yesus mengedepankan kepada para muridNya satu ajakan yang merupakan jalan menuju Bapa yang Ia sendiri menapakinya. Penginjil Lukas mengisahkannya demikian, "Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.

Untuk mereka yang memilih menjadi pengikut dan murid Yesus, ajakan Yesus dalam Injil hari ini adalah sebuah ajakan yang mutlak dicamkan baik-baik. Yesus sedang menunjukkan bahwa tujuan kedatanganNya di dunia bukanlah untuk menyelamatkan diriNya sendiri. Ia datang demi solidaritasNya kepada manusia dan untuk menyelamatkan manusia, sehingga bersama mereka, bisa bersama-sama menghadap Allah BapaNya. Jalan solidaritas yang ditunjukkanNya adalah sebuah jalan penderitaan lewat penerimaan salib, kesulitan, bahkan kematian serta kehilangan nyawa. Tetapi seperti halnya Yesus, jalan itu bukanlah akhir yang membuat hidupNya habis, tanpa manfaat; jalan itu adalah jalan yang menghantar kepada kehidupan.

Bagaimana konkritnya jalan itu buat kita orang Kristen dewasa ini? Yesus semasa hidupNya menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana Ia menjalankan hidupNya di antara kegembiraan melayani sesamaNya dan kesiapanNya untuk menerima penolakan dari orang yang menentangNya. Ia menjalani jalan itu dengan setia, tak lupa meningkatkan hubungan dengan BapaNya dalam doa dan puasa. Dan Ia melukiskan jalan itu sebagai jalan Salib. Dan jalan yang disebut salib itu adalah sebuah upaya dan jalan mencintai sesama demi menyelamatkan hidup.

Kita sedang memasuki masa Puasa. Jalan Salib menjadi salah satu karakter khas masa ini. Di samping membuat ibadat jalan Salib, marilah kita meningkatkan pelayanan kasih kita kepada sesama dalam kegembiraan dan mari kita juga siap menerima penolakan, kekecewaan oleh karena kasih yang sama itu.

Tuhan Yesus, bersamaMu di jalan salib kami ingin menapaki jalan hidup yang menghantar kami kepada Bapa. Kiranya kami gembira selalu dalam pelayanan kasih sehari-hari dan tak ragu menerima Salib dan korban harian sebagai korban yang menghasilkan kehidupan. Amin.

Copyright © 25 Februari 2009 by Anselm Meo SVD

Senin, Februari 23, 2009

125. Mengingat Dan Bergerak Maju

Rabu, 25 Pebruari 2009

Hari Rabu Abu

Bacaan : Yoel 2:12-18; 2Kor 5:20-6:2; Mt.6:1-6.16-18

Masa Puasa kita awali dengan sebuah peringatan yang tampak kurang nyaman untuk kita. Mengapa? Pada hari Rabu Abu, ketika abu dibubuhi pada dahi setiap orang beriman, imam menyerukan peringatan: "Ingatlah, kamu berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Karena itu, tak mengherankan kalau masa puasa bagi banyak orang merupakan sebuah masa suram, kegelapan dan bahkan suatu malapetaka. Rumusan lain yang tampak lebih positip tetapi juga mengandung makna yang barangkali kurang pas untuk telinga kita, yakni, Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.

Pada hari ini saya mengundang kita untuk mendekati masa puasa sebagai suatu moment, saat untuk "Mengingat siapakah kita di hadapan Allah daripada tentang siapa sesungguhnya kita." "Mengingat atau Ingat" adalah kata yang paling sering kita jumpai dalam Kitab Suci. Misalnya, dikatakan bahwa Allah ingat kepada Abraham (Kej 19:29). Kata ini juga sering digunakan oleh para Nabi dan bapa-bapa Gereja. Mereka terus menerus menghimbau umat untuk tetap "mengingat". Dan tentu, masa puasa adalah panggilan Gereja kepada kita untuk mengingat relasi yang Allah telah bangun dengan kita, mengevaluasi hubungan tersebut dan berusaha melakukan apa yang perlu untuk memperdalam relasi itu.

Bagi umat Kristiani, kita hendaknya tidak saja mengingat bahwa kita berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Kita harus bergerak maju sehingga kita dapat berbagi di dalam kemenangan kehidupan yang mengatasi kematian abadi. Lebih jauh, di dalam kisah penciptaan dikatakan bahwa kita diciptakan dari debuh tanah, juga Allah menghembuskan nafas kehidupan dan atas cara demikian kita menjadi makhluk hidup (bdk Kej.2:7). Karena itu, kita memang berasal dari debu tanah, tapi sekaligus yang telah diilahikan karena nafas hidup itu sesunggunya nafas hidup Allah sendiri. Lebih jauh, dan ini tentunya merupakan sebuah khabar gembira bagi kita yakni melalui kematian kita akan kembali menjadi debu tanah tetapi melalui Yesus kita akan dibangkitkan untuk berbagi kegembiraan dalam kemuliaan kebangkitan-Nya.

Dengan demikian masa puasa sesungguhnya bukan suatu periode yang diliputi kesuraman, tetapi suatu perjalanan dalam mana kita berusaha sekuat kemampuan untuk memperdalam hubungan kita dengan Allah. Marilah kita memasuki masa puasa ini dengan mengingat secara jujur siapakah diri kita dihadapan Allah, sehingga dapat menggunakan waktu 40 hari ini untuk berkarya demi hubungan kita dengan Allah. Marilah kita memaknai masa berahmat ini dengan doa, puasa dan memberi sedekah. Dengan berdoa kita dapat kembali kepada Allah yang dari-Nya kita telah berpaling ke persimpangan jalan. Dengan berpuasa kita dapat belajar mengontrol diri sekaligus belajar mencintai diri kita sendiri di dalam suatu cara yang wajar dan seimbang. Dan dengan memberi sedekah kepada kaum miskin dan orang-orang yang tengah berada dalam kebutuhan, kita menjumpai sesama yang harus kita cintai sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Itulah obat-obat yang mujarab, bentuk-bentuk latihan rohani yang sehat dan dapat dilakukan dengan bijaksana dan tidak berlebihan, tetapi dengannya Yesus akan terus membawa penyembuhan bagi kita orang-orang sakit karena kedosaan kita. Inilah pula suatu bentuk pengorbanan yang sangat positip karena dengannya kita sebetulnya masuk secara mendalam ke dalam peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus Kristus sendiri.

Sembari mengingat bahwa kita ini berasal dari debu tanah, tetapi debu tanah yang ilahi dan diberkati, marilah kita berjuang semaksimal mungkin untuk memperdalam hubungan kita dengan Pencipta kita, melalui doa dan pengorbanan yang riang gembira. Dengan demikian, tatkala Paskah tiba, kita semua bergerak maju dan bernyanyi Alleluya, Ia telah hidup dan kita pun akan hidup, Alleluya. Amen

Copyright © 23 Pebruari 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD

124. Untuk Memurnikan Motivasi Kemuridan

Selasa, 24 Pebruari 2009

Bacaan : Mk 9, 30-37

Penginjil Markus hari ini mengisahkan bahwa Yesus sedang mengajar para muridNya. "Ia berkata kepada mereka: "Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit." ... Dan kataNya lagi kepada mereka, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya."

Kenyataan bahwa Yesus mencari kesempatan khusus untuk berada bersama para muridNya dan mengajarkan banyak hal kepada mereka, sesungguhnya memberikan kepada kita gambaran tentang bagaimana Yesus membentuk mereka kepada jalan kemuridan yang dikehendakiNya. Hal ini berangkat dari situasi bahwa para murid yang banyak sekali mengikuti Dia sering kali juga tak mengerti mengapa mereka mengikuti Dia. Tentu seperti orang kebanyakan, mereka menganggap pribadi Yesus bergitu mempesona. Dalam hati mausiawi mereka, tentu ada pikiran, "Akh betapa hebatnya kalau kami disebut muridNya!" Mereka mengikuti Dia tanpa sungguh mengerti siapa Dia sebenarnya. Mereka kagum serta turut berbicara tentang kekuatan serta pengajaranNya yang penuh kuasa.

Itulah sebabnya ketika Yesus mulai bicara tentang aspek penderitaan, tantangan, kesulitan bahkan kematian sebagai salah satu aspek penting hidup kemuridan itu, merekapun tetap bersikeras dengan pemikiran mereka. Bahkan karena itu banyak juga yang mulai meninggalkan Dia. Nah, pada titik inilah Yesus dengan tegas mesti mengatakan hal yang paling radikal sebagai satu-satunya jalan untuk tetap menjadi muridNya, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya."

Mengapa Yesus perlu memaparkan hal itu? Karena Ia tahu dengan pasti kebanyakan dari mereka masih turut ramai, mereka mengikuti Dia karena sebuah angan-angan yang sedang menyelimuti mereka dan mereka tak sadar betapa besarnya tantangan dan kesulitan yang bakal mereka hadapi karena upaya mereka megikuti dan menjadi muridNya. Lalu mengapa perlu sekali bicara tentang aspek penderitaan dan percobaan sebagai jalan kemuridan?

Di sinilah letak kunci jawabannya. Bahwa jalan kemuridan sesungguhnya adalah jalan yang mesti dilalui dengan cara berpartisipasi dalam misteri kematian dan kebangkitan Yesus. Bahwa kesulitan, tantangan bukanlah sebuah pintu mati yang memblok kita kepada hidup dan kesempatan baru. Bahwa bersama Yesus dan percaya kepada Yesus, penderitaanpun adalah jalan menuju pembebasan rohani, dan kematian adalah cara untuk memasuki kehidupan. Saya katakan ini adalah jawaban kunci iman, karena iman Kristiani, iman para murid dibangun di atas dasar misteri penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus.

Ajaran ini penting untuk dihidupkan kembali terus-menerus. Bukan untuk membuat kita menerima kesulitan dan penderitaan itu dengan pasrah, tetapi menjalaninya dengan suatu harapan bahwa setiap kesulitan, penderitaan adalah jalan untuk memurnikan motivasi kemuridan kita. Dan karena aspek harapan inilah, ketika berhadapan dengan kesulitan, hendaknya kita memandang Yesus. Karena dengan memusatkan perhatian pada Dia, kita akan selalu menemukan JALAN KELUAR. CintaNya pada kita dan cinta kita kepadaNya melengkapi aspek harapan itu.

Tuhan, kami percaya bahwa memandang Dikau dalam penderitaan dan kesulitan hidup akan menyanggupkan kami menemukan kekuatan ekstra dalam perjalanan kemuridan kami. Kiranya hal itu mewarnai harapan kami dalam keseharian pencarian kami akan kehendakMu. AMIN.

Copyright © 23 Februari 2009 by Anselm Meo SVD