Kamis, November 13, 2008

24. Berani Mengambil Resiko

Minggu, 16 Nopember 2008

Minggu Biasa XXXIII
Mt 25:4-30
Injil pada hari Minggu ini melukiskan tentang seorang tuan yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan kekayaannya kepada mereka. Ada yang menerima 5 talenta, 2 talenta dan satu talenta. Jadi masing-masing dibaginya menurut kemampuan mereka. Apa yang terjadi setelah itu? Cerita ini memberi perhatian kepada hamba yang menerima satu talenta. Dia bukanlah seorang jenius, dan ia memiliki hanya sedikit kemampuan, tetapi tuan itu memberikannya juga kepada hamba yang relatif tidak memiliki kesanggupan, sebuah pertanda bahwa semua anak Allah telah memiliki talentanya masing-masing, termasuk juga mereka yang hanya memiliki sedikit kemampuan.

Setelah sang tuan berangkat, kedua hamba yang memiliki 5 dan 2 talenta langsung memikirkan dan menemukan cara untuk menggandakan talentanya masing-masing. Sementara hamba yang ketiga langsung menggali sebuah lobang dan menguburkan talentanya yang satu itu. Pertanyaannya adalah: "Mengapa ia berbuat demikian?" Karena ia takut akan kehilangan talentanya jika dijadikan sebagai modal untuk usahanya. Ia pasti memiliki alasan seperti ini: "Tentu mereka yang memiliki talenta lebih banyak, tidak cemas mengambil resiko." Pikiran yang serupa barangkali juga menghantui kebanyakan dari antara kita. Kita tidak melihat diri kita sendiri sebagai pemilik yang dapat diandalkan dalam menggandakan anugerah dan talenta yang kita miliki. Kita begitu gampang membuat kesimpulan bahwa tak ada sesuatu yang bisa kita lakukan hanya dengan kemampuan yang serba terbatas, yang sedikit.

Yang mengherankan dari cerita Injil hari ini nampak ketika tuan itu datang dan melakukan perhitungan dengan para hambanya. Kedua hamba yang menggandakan talentanya MENERIMA HADIAH YANG SAMA BANYAK DARI TUANNYA: "Selamat, hamba-hambaku yang baik dan setia; kamu telah setia dalam hal-hal yang kecil, Aku akan memberi lebih banyak tanggung jawab kepadamu; masuklah ke dalam kebahagiaan dan kegembiraan tuanmu." Mereka dianugerahi tuannya bukan berdasarkan seberapa banyak talenta yang kini mereka miliki, tetapi berdasarkan bagaimana mereka mendaya-gunakan talenta yang telah mereka terima dari tuannya dalam perjuangan jatuh-bangun. Benarlah kata orang bijak: "Keberhasilan bukan diukur berdasarkan sejauh mana posisi yang boleh anda capai dan miliki dalam hidup, melainkan melalui rintangan-rintangan yang dapat diatasi dalam proses perjuangan menuju keberhasilan.

Bagaimana dengan hamba yang ketiga? Pasti ada alasan mengapa ia memutuskan untuk menyembunyikan talenta, bakat, kemampuan, keahliannya. Ia mungkin membandingkan dirinya dengan hamba-hamba yang lain yang memiliki lebih banyak talenta, lalu menjadi kecil hati. Ia sungguh tidak menyadari bahwa meski hanya dengan satu talenta yang dapat tergandakan, ia akan menerima imbalan yang sama banyak dengan yang lain. Karena apa? Karena kita semua tidak diukur dengan aturan dan hukum yang sama. Kepada siapa yang memiliki nilai tambah diberi, kepada siapa yang sanggup menggandakan, diperhitungkan.

Kita semua di dalam Gereja dewasa ini telah menerima sekurang-kurangnya satu talenta. Kita telah menerima anugerah iman. Tanggung jawab kita sebagai anggota-anggota dari Tubuh Mistik Kristus terhadap anugerah iman itu adalah bukan hanya untuk melindungi dan menjaga iman itu. Kita diharapkan untuk berbuat lebih yakni dengan menggandakan, dengan mengembangkan anugerah tersebut. Kita perlu memperdalamkan dan menambah nilai pada iman itu. Dan hal ini merupakan suatu petualangan yang membawa serta dengan banyak resiko dan kesulitan dan ketidaknyaman. Tetapi, jika kita tidak melakukan hal ini, kita akan berada pada bahaya kehilangan iman, sama seperti hamba yang ketiga dalam Injil hari ini yang kehilangan tidak hanya talentanya, tetapi juga tidak diakui sebagai putra dalam keluarga Allah.

Tuhan, kami telah menerima anugerah iman. Kami yakin bahwa jalan untuk menjaga iman itu adalah mensyukurinya sambil terus berkarya dan memberikan hasil yang berlimpah. Amin.

Copyright © 05 Nopember 2008, by Paskalis Berkmans, SVD dan diedit kembali oleh Ansel Meo SVD

23. Keyakinan akan Pengabulan Doa

Sabtu, 15 November 2008
Lukas 18: 1 - 8

Betapa sering saya dihadapkan dengan pertanyaan, kenapa doa dan permohonan yang dipanjatkan dengan penuh keyakinan tak dikabulkan. Apa yang salah dan bagaimana seharusnya berdoa supaya dikabulkan Tuhan? Terhadap pertanyaan yang demikian, biasanya saya bilang, ‘mari kita minta agar kehendak Tuhan yang terjadi dalam apapun yang anda minta’. Apakah saya sedang memberikan suatu penghiburan? Sebenarnya tidak.

Perumpamaan dalam Injil pada hari ini menegaskan bahwa setiap permintaan yang disampaikan dalam doa yang tak putus-putusnya, pasti dikabulkan Allah. Apa yang disampaikan Yesus dalam perumpamaan hari ini sebenarnya adalah bagaimana seorang janda miskin yang tak diperhitungkan oleh siapapun berhadapan dengan seorang hakim yang keras tanpa belas kasihan sedikitpun, karena, “hakim itu tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorangpun”. Dan hakim yang lalim dalam Injil ini, melanjutkan, “Walaupun aku tak takut akan Allah dan tak menghormati seorangpun, karena janda ini menyusahkan aku, baiklah aku membenarkan dia, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya menyerang aku.”

Dan Yesus berkata, “Camkanlah apa yang dikatakan hakim yang lalim itu! Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihanNya yang siang malam berseru kepadaNya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? ... Ia akan segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?”

Inilah kuncinya, apakah doa yang disampaikan itu lahir dari iman? Ataukah lahir dari satu kasus yang membuat kita baru berpaling kepada Allah, lari kepada Allah? Keyakinan atau iman yang kuat bahwa Allah pasti mendengarkan doa, bermula dari kesadaran bahwa Allah tahu yang terbaik yang kita butuhkan. Karena itu apapun yang kita minta dalam doa, kita sudah meyakini bahwa Tuhan yang tahu segalanya itu pasti memberikan yang terbaik untuk kita. Juga kalau nampaknya apa yang nampak itu bertolak belakang dengan apa yang kita doakan. Maka doa yang berkanjang sebenarnya mengucap syukur bahwa apa yang kuminta dalam doa sudah diberikan Tuhan.

Tuhan, betapa sering kami berdoa. Tetapi betapa sering pula kami meragukan bahwa Engkaulah yang tahu apa yang terbaik bagi kami. Ajarilah kami untuk selalu mensyukuri semua yang terjadi dalam hidup kami. Amin.

Copyright © 13 Nopember 2008, by Anselm Meo, SVD

Rabu, November 12, 2008

22. Selalu Siap Menerima Allah Dalam Hidup

Jumat 14 November 2008
Lukas 17: 26 - 37

Tema tentang selalu siap menyambut Allah sekali lagi ditampilkan hari ini. Pada masa Yesus, keinginan untuk menyambut kedatangan Kerajaan Allah dengan persiapan yang matang memang menjadi tema penting. Karena, saat itulah keadilan Allah dinyatakan kepada Israel dan dunia. Itu sebabnya orang ingin menyambutnya dengan persiapan yang matang. Tetapi yang jadi soal ialah kapan hal itu terjadi dan di mana tempatnya berlangsung?

Terhadap keinginan tahu dari banyak orang tentang kapan Kerajaan Allah itu datang, Yesus tak memberikan jawaban jelas. Hanya satu hal pasti dimintaNya selalu: Bersiaplah senantiasa menyambut kedatangan Kerajaan Allah itu. Bersiaplah selalu menerima Allah dalam hidup. Jangan sampai orang terperanjat. Makanya Yesus bilang hari ini, “Dan sama seperti yang terjadi pada masa Nuh, ... demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot, ... Demikianlah halnya kelak pada hari di mana Anak Manusia menyatakan diriNya.”

Apakah kesamaan yang ditampilkan oleh kejadian pada masa Nuh dan Lot, sehingga diambil sebagai contoh oleh Yesus? Semua mereka yang hidup pada masa itu amat menikmati hidup mereka. Mereka menjalankan pekerjaan mereka dengan setia. Tetapi ada soal besar karena mereka melakukannya dengan sikap seolah-olah mereka tak bergantung pada Allah. Mereka tak peduli Allah dan KerajaanNya. Mereka menikmati kemakmuran hidup mereka, tetapi tenggelam juga dalam kenikmatan hidup yang mengabaikan keadilan sejati sebagaimana dikehendaki Allah. Jadi kelihatannya semuanya berjalan sempurna, hanya saja mereka tak peduli dengan kesiapan jiwanya untuk menghadap Allah. Nah ... pertanyaan penting di sini, untuk apa semuanya itu, kalau tak dapat menyelamatkan jiwa?

Inilah sebuah tantangan untuk hidup beriman di zaman yang serba ada sekarang ini. Kita mesti bertanya, adakah bingkai yang mengitari cara berpikir dan cara bertindak kita sekarang yang punya maksud untuk menyelamatkan jiwa di masa mendatang? Seharusnya ada. Bingkai yang dimaksud itu adalah bekerja dan hidup bersama dengan Allah. Kita menjalankan semuanya secara normal tetapi dengan satu pemikiran: Allah ada dan berkarya dalam diri kita. Kita selalu siap menerima kehadiranNya dalam hidup dan karya kita. Dan bila inilah yang terjadi, maka kemakmuran, kekayaan, kesejahteraan, keserba-ada-an tak pernah akan menutup mata kita terhadap kehadiran Allah dalam keseharian kita.

Tuhan, sebenarnya ketika kami sadar selalu bahwa Engkaulah Emmanuel, Allah yang beserta kami, hidup kami tak akan kami sia-siakan untuk menyangkali kehadiranMu, juga ketika sangat samar-samar kami kenal dalam wajah dunia dan saudara yang menderita. Amin.

Copyright © 12 Nopember 2008, by Anselm Meo, SVD

21. Bersiap-siaplah Untuk Menyambut Kedatangan Hari Tuhan!

Kamis 13 November 2008

Lukas 17: 20 - 25

Apa hubungannya kilat dengan berita tentang kedatangan Tuhan dan Kerajaan-Nya? Mungkin tak ada hubungan langsung tetapi orang-orang Yahudi pada masa Yesus sepertinya tengah menantikan beberapa tanda seperti kilat, yang mengindikasikan kapan Mesias akan datang untuk mendirikan kerajaan Allah.

Itulah sebabnya orang-orang Farisi bertanya tentang tanda dimaksud dengan tujuan untuk mencoba Yesus karena mereka memang tidak menerima Dia sebagai Mesias. Dan Yesus mengejutkan mereka dengan jawaban bahwa Kerajaan Allah sudah ada di tengah-tengah mereka.

Tetapi mengapa Yesus mengasosiasikan kilat dengan „Hari Tuhan“? Kita tahu bahwa dalam suatu iklim yang kering seperti Palestina, badai-badai sangat jarang terjadi. Badai dan taufan sering muncul secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda, dan amat mengejutkan. Ia menutupi segala sesuatu dengan awan tebal yang menggelapkan, tanpa kilat yang memberi peringatan kepada manusia. Badai memenuhi langit dengan gemuruh guntur dan pancaran halilintar yang menerangi langit yang gelap. Lebih dari itu, kekuatannya menghasilkan terror dan ketakutan untuk mereka yang berusaha untuk melarikan diri dari hadapannya.
Yesus memperingatkan orang-orang Farisi bahwa “Putera Manusia” akan datang dalam cara yang persis sama, secara tiba-tiba dan tanpa disadari, untuk membawa pengadilan Allah pada “Hari Tuhan”. Tak ada tanda-tanda khusus dibutuhkan untuk mengumumkan kedatangan-Nya, tapi semua orang akan mengenal Dia dengan amat sangat jelas seperti halnya mereka melihat kilat di langit.

Yesus memperkenalkan diriNya dengan “Hari Tuhan”, dan "Putera Manusia“ dimengerti sebagai suatu gelar mesianis untuk Dia yang akan datang bukan saja untuk membangun Kerajaan Allah tapi Dia yang akan datang sebagai Hakim yang akan mengadili baik mereka yang masih hidup maupun yang sudah mati. Dan Yesus menunjukkan kepada kedatangan-Nya yang kedua ketika Dia akan kembali untuk menyelesaikan karya pembangunan kembali dan pengadilan terakhir.
Karena kita tidak tahu dengan pasti saat kedatangan-Nya kembali, kita tak akan keliru ketika hal ini terjadi. Kedatangan-Nya akan menjadi jelas untuk semua orang, baik untuk orang-orang yang percaya dan juga untuk mereka yang tidak percaya. Itulah sebabnya ketika orang-orang Farisi bertanya tentang tanda yang menunjuk pada „Hari Tuhan“ itu, Yesus menjawab bahwa tanda itu adalah diriNya sendiri. Dan jawaban Yesus ini memang mengejutkan orang-orang Jahudi pada zaman-Nya. Yesuslah tanda Kerajaan Allah yang telah berada di tengah-tengah mereka.
Dalam Yesus kita melihat kuasa dan kemuliaan kerajaan Allah. Kuasa-Nya mengalahkan kegelapan dan dosa. Yesus sadar bahwa satu-satunya jalan menuju kemenangan adalah melalui salib. Pada salib itu Dia mengalahkan kematian dan menghapus hutang dosa untuk kita. Kemenangan salib-Nya membuka jalan bagi kita untuk menjadi warga Kerajaan Allah. Apakah anda mencari dan menantikan kedatangan Kerajaan Allah dengan harapan penuh kegembiraan?

Tuhan Yesus Kristus, datanglah Kerajaan-Mu, terjadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga. Jadilah penguasa untuk hatiku dan master untuk hidupku sehingga saya boleh selalu hidup dalam kebebasan cinta dan kebenaran-Mu. Amin.

Copyright © 12 Nopember 2008 by Joseph Ruma, SVD dan diedit kembali oleh Ansel Meo SVD

Selasa, November 11, 2008

20. Ketika Terbiasa Menerima Pemberian

Rabu, 12 Nopember 2008

Lukas 17,11-19

Hal apa sajakah yang tidak kita terima dari yang lain, entah itu sesama, alam maupun Tuhan sendiri? Pertanyaan yang mengusik ini ingin menyadarkan kita bahwa kita ada karena yang lain ada. Terhadap kesadaran ini biasanya orang menunjukkan dua sikap berikut. Yang pertama, orang merasa biasa saja, karena mereka mengatakan bahwa itulah prinsip hidup. Wajar sekali bahwa kita menerima dari yang lain. Sedangkan yang kedua, merasa luar biasa dan mereka merasa perlu untuk memperkenalkan dirinya dalam hubungannya dengan si pemberi dan lebih dari itu berterimakasih serta mengucap syukur kepadanya.

Episode inilah yang terjadi dalam injil hari ini dalam cerita ke sepuluh orang kusta yang disembuhkan Yesus. Kehidupan penderita kusta sebenarnya adalah sebuah pencarian akan pengenalan diri, pengakuan akan siapa dirinya di hadapan agama dan masyarakat. Dan bertemu dengan Yesus, mereka meminta hal itu, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Dan Ia memandang mereka dan berkata, “Pergilah dan perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.”

Dalam perjalanan untuk memperlihatkan diri dan mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari imam dan masyarakat Yahudi itulah, mereka mengalami kesembuhan. Dan kebanyakan mereka saking gembiranya, terus melanjutkan perjalanan demi mendapatkan imam-imam untuk menyatakan bahwa mereka telah sembuh. Bagi mereka adalah sesuatu yang normal kalau mereka menerima pemberian penyembuhan itu, karena sudah lama mereka minta dan mereka cari. Kalau sudah didapat, mereka harus segera menunjukkan kepada publik bahwa mereka adalah orang normal sekarang. Dan Injil mencatat satu pengecualian: “Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepadaNya.” Hanya seorang dari mereka saja dan ia adalah seorang Samaria.

Dua sikap ditampilkan di sini. Yang terbanyak, orang Yahudi merasa adalah hak mereka disembuhkan karena mereka orang pilihan, sedang yang satu orang Samaria, melihat peristiwa kesembuhannya sebagai sesuatu yang luar biasa, yang perlu disyukuri.

Inilah persoalan kita. Dalam komunitas, dalam keluarga dan masyarakat, ada banyak hal yang kita klaim sebagai hak yang harus kita dapatkan. Kalau hak itu kita peroleh, kita rasa biasa saja, tak perlu menyampaikan terima kasih. Padahal seharusnya, betapapun itu hal biasa yang terjadi dan biasa kita dapatkan, itu perlu diakui dengan penuh syukur. Itu bisa dibuat dengan menyatakan terimakasih langsung kepada yang memberikan, tetapi bisa juga ditunjukkan dengan cara memakai pemberian itu secara bertanggung jawab sehingga dampaknya bisa juga dirasakan oleh yang lain.

Betapa banyak yang kami terima dari tanganMu, ya Tuhan, Betapa sering kami lupakan Dikau sang PemberiNya. Ajarilah kami Tuhan untuk selalu mengucap syukur atas berbagai pemberian yang kami terima. Amin.

Copyright © 11 Nopember 2008, by Anselm Meo, SVD

Minggu, November 09, 2008

19. Hamba tak bergunakah setiap orang Kristiani?

Selasa, 11 Nopember 2008

Lukas 17, 7-10

Itulah pertanyaan yang tergelitik dalam hati saya ketika membaca dan merenungkan kata-kata Yesus pada akhir bacaan injil hari ini: “Demikianlah juga kamu, jikalau kamu telah menyelesaikan semua pekerjaan yang diperintahkan kepadamu, katakanlah ‘kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna. Kami hanya melakukan apa yang menjadi kewajiban kami’”. Kalau diterima secara lurus saja kata-kata Tuhan ini maka kita akan terperanjat dan sulit melaksanakannya dalam hidup harian kita.

Di tengah dunia yang mengagungkan martabat pribadi manusia yang bebas, tinggi , akan menjadi sulitlah menerima begitu saja tawaran Yesus dalam injil hari ini. Kata-kata itu seakan-akan jauh dari cara pandang manusia jaman ini. Pada saat ini setiap orang berbicara mengenai hak yang mesti dihargai dan dihormati oleh setiap orang yang telah menjalankan suatu pekerjaan atau tugas. Dengan demikian ada kewajiban dari pihak pemberi kerja atau tuan, majikan untuk memberikan apa yang menjadi hak dari pekerja atau hamba. Dalam berbagai bidang hidup kita pun berlaku hal yang sama: setiap tugas dan pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan layak mendapat pahala, ganjaran dan penghargaan. Penghargaan itu bisa dalam berbagai bentuk. Itukah yang dimaksudkan oleh Tuhan dengan kata-katanya itu?

Kelihatannya Yesus membalikan arah pikiran tersebut. Yesus mau menunjukkan satu hubungan yang lain sama sekali bila orang hendak mengetahui siapakan manusia di hadapan Tuhan. Di dalam relasi tersebut yang ada hanya rahmat cinta Allah. Manusia tidak memiliki satu dasar yang kuat untuk mendapat rahmat tersebut karena rahmat adalah pemberian cuma-cuma dari Allah. Dengan demikian menjadi hamba Tuhan yang melaksanakan apa yang diperintahkanNya adalah satu rahmat. Dengan itulah orang mengenal dirinya di hadapan Allah. Bahwa manusia mampu menjadi pelaksana perintah Tuhan sudah merupakan satu rahmat. Kemampuan itu dianugerahkan oleh Allah kepada kita. Berbagialah kita kalau kita sungguh menjadi seorang hamba Tuhan yang melaksanakan perintah Allah. Tidak semua orang mendapat karunia seperti itu. Santu Martinus dari Tours yang kita peringati hari ini telah mendapat julukan itu: hamba Tuhan yang melaksanakan perintah Allah dalam hidup dan pelayananya sebagai seorang Uskup.

Tuhan, bukalah hatiku untuk dapat melaksanakan perintahMu sehingga aku menjadi hambamu yang berbahagia. Amin

Copyright © 08 Nopember 2008, by Paul Tolo, SVD

18. Mengoreksi Cara Kita Menilai Orang

Senin, 10 Nopember 2008
Lukas 17, 1-6

Ada banyak hal yang ditampilkan ke permukaan ketika kita membaca penggalan Injil hari ini. Dan dalam Alkitab yang saya pakai, teks ini diberi dengan judul ‘beberapa nasihat’.

Salah satu di antaranya sebagaimana ditunjuk dalam judul di atas adalah soal mengoreksi cara kita menilai orang. Mengapa bicara tentang cara kita menilai seseorang? Kelihatan figur Yesus yang kita temui hari ini adalah seorang yang sangat keras tetapi sekaligus juga seorang pengampun luar biasa. Injil mencatat, “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia. Tetapi jika ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.”

Kenapa Yesus mengatakan hal itu? Saya kira karena secara alamiah, kita umumnya mudah mengampuni diri kita sendiri, juga ketika kita membuat skandal, yang menurut orang lain mendatangkan kerugian bagi yang lain. Kita mudah mencari banyak alasan untuk membenarkan apa yang ingin kita buat. Tetapi ketika kesalahan yang sama dibuat oleh orang lain, kita akan membicarakannya, menyebarkannya dan tak mau melupakannya, bahkan tak mau memaafkannya.

Yesus hari ini mengoreksi cara kita dalam menilai orang lain. Kita diminta untuk meninggalkan cara kita dan mengenakan cara Yesus ketika berhadapan dengan kenyataan penyesatan. Bahwa mengampuni itulah satu-satunya jalan yang baik yang harus kita jalani. Kita mesti mengoreksi secara terus menerus cara kita menilai orang. Karena kalau cara kita menilai salah, maka aksi dan perbuatan kita terhadap mereka akan salah juga.

Tuhan, jalanMu adalah jalan kebijaksanaan. Satu jalan yang mengajarkan bahwa meilai seseorang secara baik dan positif, akan membantu kami juga untuk bertindak baik, adil dan benar terhadap mereka. Ajarilah kami jalanMu. Amin.

Copyright © 09 Nopember 2008, by Ansel Meo, SVD