Jumat, April 10, 2009

170. Memperlihatkan Wajah Kristus

Sabtu, 11 April 2009
Vigili Paskah
Bacaan : Rom 6:3-11; Mk 16:1-8
Saat ini kita sedang merayakan Pesta Paskah, pesta kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus, pesta peralihan dari kegelapan menuju cahaya abadi. Kita tentu merasa gembira dan dengan sukacita menyanyikan lagu baru: “Alleluya.” Tetapi, apakah sebenarnya arti kebangkitan Tuhan itu bagi kita yang hidup sekarang, dalam masa yang ditandai oleh gejolak politik yang serba tidak menentu dan aneka macam krisis lainnya. Apakah sebenarnya arti kebangkitan itu bagi kita yang menyadari berbagai hambatan dalam pertumbuhan kesadaran penegakan keadilan?
Apakah sebenarnya arti kebangkitan bagi kita, yang mungkin sering merasa sulit untuk bicara jujur dan benar, karena takut akan resiko, entah itu kehilangan harga diri, pekerjaan, jabatan atau pun kuasa? Apa arti kebangkitan, bila cinta kasih, damai, kesetiakawanan dan saling berbagi, belum mewarnai keseharian kita, lantaran di sana-sini kita masih saling sikut, bersikap masa bodoh, acuh tak acuh, apatis, dan seterusnya. Kristus bangkit. Artinya apa? Satu peristiwa dalam sejarah yang sudah berlangsung dua ribuan tahun yang silam? Satu peristiwa yang sudah biasa kita rayakan setiap tahun? Satu kejadian yang kebetulan ditulis dalam Kitab Suci, atau satu peristiwa yang sudah masuk bahan buku-buku sejarah iman yang harus dihafalkan saja di sekolah?
Itu semua bukan arti dari kebangkitan. Kebangkitan adalah satu kejadian, yang masih berlaku sekarang, juga untuk masing-masing kita. Kristus masih bangkit sekarang dan hidup hari ini. Kristus bangkit dan hidup dalam diri kita.
Ketika kita dipermandikan kita bergabung dengan Kristus, kita mengambil bahagian dalam kehidupan-Nya, kita menjadi seperti Kristus, kita diciptakan kembali seturut citra, gambar atau rupa Kristus. Boleh dikatakan bahwa air muka dan rupa kita mencerminkan air muka dan rupa Kristus.
Sebagai orang Kristen, kita seharusnya dapat mencerminkan wajah Kristus dalam wajah kita. Sebagai orang Kristen, kita seharusnya memperlihatkan tingkah laku Kristus dalam tingkah laku kita. Dengan kata lain, kita harus tegar berjuang untuk melanjutkan hidup dan karya Kristus dalam hidup dan karya kita. Itulah tugas kita sebagai orang Kristen, ialah menjadi seperti Kristus, hidup mirip dengan Kristus, memperlihatkan Kristus dalam diri kita.
Kalau sekarang kita katakan bahwa Kristus sudah bangkit dan hidup, maka kita harus bisa bertanya lebih lanjut: “Sejauhmana Kristus bangkit dan hidup dalam diriku? Sejauhmanakah sifat-sifat Kristus kelihatan dalam tingkah lakuku?” Kita tentu masih ingat pengalaman Yudas Iskariot. Seorang sahabat, orang dekat Kristus, tetapi mudah sekali mengkhianati Kristus. Biar kita sudah dipermandikan seturut rupa Kristus, kita juga mungkin gampang turun dan merosot menjadi serupa Yudas.
Sifat kita rupanya bukan seperti Yudas, tetapi juga belum seperti Kristus. Kita agaknya masih merupakan satu campuran. Pesta Paskah yang kita rayakan saat ini memberikan kita satu tugas, yakni “Bersama Kristus hendaknya kita dikuatkan untuk mati terhadap dosa, terhadap sifat-sifat yang kurang baik dan menjalani hidup serba baru bersama dengan Kristus, Dia yang telah mengalami peralihan dari kegelapan maut menuju cahaya kehidupan.”
Dan kalau sekarang saya menyampaikan kepadamu semua: “Salam Selamat Pesta Paskah, maka yang saya maksudkan adalah harapan ini, ‘Semoga Kristus makin hari makin hidup di dalam bapa-ibu; saudara-saudari sekalian, di dalam kita. Agar kita dapat mencerminkan Kristus dalam hidup kita, agar wajah kita semakin mirip wajah Kristus, agar tingkah laku kita semakin menyerupai tingkah laku Kristus.
Kristus telah bangkit, Alleluya. Marilah kita bersorak-sorai, Alleluya. Amin!
Copyright © 08 April 2009 by P. Berkmans Keytimu, SVD).

169. Membuang Bayang Gelap

Jumat, 10 April 2009

Jumad Agung
Bacaan : Yes 52:13 – 53:12; Ibr 4:14-16; 5:7-9; Yoh 18:1 - 19:42

Mengapa Yesus mati? Saya kira, inilah pertanyaan yang mungkin menghantui pikiran orang Kristen sepanjang hari Jumad Agung ini. Pertanyaan yang sungguh mengusik nurani, tetapi sekaligus mengandung kebenaran tentang keselamatan kita. Atas dasar pertimbangan inilah, saya memberanikan diri untuk mengundang kita: Mari kita coba dalami lebih lanjut, entahkah kita dapat menemukan jawabannya.

Mengapa Yesus mati? Jawaban spontan yang diberikan adalah “Itu karena Kesalahan.” Ada pendapat bahwa kematian Yesus demi menyelamatkan kita dari kuasa dosa dan kematian karena Ia dihukum oleh Allah. Apakah pendapat ini bisa dipertanggung jawabkan? Sekarang kita coba lihat pada kenyataan. Dari Kitab Suci, kita baca bahwa bukan Allah yang menyalibkan Yesus, tetapi manusia. Penyaliban adalah vonis hukuman mati yang ditimpahkan kepada Yesus oleh manusia dan yang dilakukan oleh manusia, bukan dari Yang Ilahi. Kita gagal menemukan jawabannya.

Sekarang kita coba cari jalan lain, apakah kita dapat menemukan jawabannya. Kita dapat bertanya sebagai berikut: “Mengapa orang-orang itu begitu membenci Yesus, hingga melakukan tindakan yang brutal atas diri-Nya? Ternyata, meremehkan cara pandangan yang keliruh demi menelusuri lebih lanjut pertanyaan kita, malah menjebak kita ke dalam kesalahan yang tidak lebih baik dari kesalahan terdahulu. Mengapa? Karena pertanyaan seperti ini, sesungguhnya menyingkapkan bahwa kita sedang dicengkeram oleh pencobaan untuk mencuci tangan dari tindakan kejahatan itu. Artinya, kita mau katakan bahwa bukan kita yang melakukan itu, dan kita tidak akan melakukannya. Kita tengah menunjuk kepada orang-orang lain. Merekalah orang-orang jahat itu. Kita memvonis bahwa merekalah pelaku tindak kejahatan itu.

Lalu…kalau kita katakan bahwa orang-orang jahat dan gila itu, adalah orang-orang yang menghasut massa untuk melakukan keinginan mereka. Dan massa yang berteriak “salibkan Yesus” adalah orang-orang sesat yang telah dicuci otaknya oleh para pemimpin mereka. Di sini pun kita tidak menemukan jawabannya. Karena massa tidak dapat dihasut untuk melakukan hal yang sama sekali bertententangan dengan hasrat mereka. Kelihatannya aneh, tapi benar bahwa orang-orang itu juga yang pernah mencari Yesus untuk memohon penyembuhan, dan mereka juga yang berteriak mengakui-Nya sebagai Raja.

Barangkali akan lebih jelas kalau kita menolak untuk dibutakan oleh macam-macam pencobaan ini, lalu beralih menyentuh pada soal motif. Pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa kematian Yesus, mengatakan pada diri sendiri bahwa mereka bertindak dengan motif yang sungguh baik. Para ahli Taurat dan kaum Farisi, misalnya, mengatakan bahwa keterlibatan mereka di dalam peristiwa itu justru demi menjaga dan melindungi hukum Allah. Para pemimpin bangsa Yahudi ikut ambil bagian di dalam kejahatan itu karena mereka ingin melindungi rakyat yang berada di bawah tanggung jawab kepemimpinan mereka. Dan orang-orang Roma melakukannya demi menjaga tata tertib, stabilitas dan perdamaian. Kelompok-kelompok orang ini melakukan semua itu demi alasan-alasan yang baik.

Tetapi, dengan mencermati jawaban-jawaban ini akan terlihat pula ada hal-hal yang kurang beres. Ini bukan tersingkap lewat alasan tindakan itu, tetapi karena mereka hampir kehilangan seluruh sikap dasar manusia yang seharusnya mereka miliki. Motif-motif mereka baik, tetapi mereka memiliki suatu bayangan/sisi gelap. Misalnya, Orang Roma menghendaki tata tertib, damai, dan stabilitas di negara jajahan mereka, tetapi mereka justru menempuh jalan yang sesat, demi mewujudkan impian mereka. Mereka mempertaruhkan kematian Yesus demi melabuhkan tujuan mereka. Mereka kehilangan belaskasih sebagai suatu sikap dasar manusia yang seharusnya menjadi kompas dalam upaya pencarian mereka bagi kedamaian. Akibatnya, hati mereka tertutup dan memilih jalan yang sungguh-sungguh menyesatkan. Mereka begitu terkonsentrasi pada soal damai sehingga mereka tidak memikirkan nilai-nilai penting dan hakiki manusia yang seharusnya mereka kejar, dan dengan demikian mereka tidak memperoleh perdamaian yang mereka kehendaki.

Tapi…mengapa harus Yesus? Mengapa Yesus menjadi Orang yang harus menghadapi akibat dari motif-motif yang tidak benar ini? Mengapa mereka begitu membenci Yesus? Untuk sedikit memudahkan kita memahami persoalan ini, baiklah kita mengarahkan perhatian pada pikiran Santu Yohanes penginjil berikut ini. Santu Yohanes mengatakan bahwa lawan dari cinta bukan benci melainkan ketakutan. Mereka takut terhadap Yesus karena Yesus tidak memiliki bayangan atau sisi gelap. Yesus bahkan menunjukkan, menyingkapkan bayangan/sisi gelap dari orang-orang di sekitar-Nya. Dan ini bukan kerena Yesus biasanya langsung mengatakan secara terbuka kesalahan orang-orang lain, tetapi terutama karena terang dan kebenaran selalu membuat bayangan gelap itu lebih mudah dan lebih jelas dilihat.

Dan inilah alasan lain yang tampaknya terasa berat sekali bagi kita untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan pada awal renungan ini. Mengapa? Karena kebanyakan dari kita biasanya mengelak untuk melihat bayangan gelap diri kita. Kita tahu bayangan-bayangan gelap itu hadir pada diri dan mengungkung serta mengancam kita sehingga membuat kita tidak dapat menghalaunya. Dan inilah yang membuat bayangan-bayangan gelap itu menjadi sangat menakutkan dan karena kadang terlalu dibanjiri oleh bayangan gelap itu kita lalu membenci diri kita sendiri atau kadang membuat kita menganggap tidak ada bayangan gelap itu dan membesar-besarkan hati kita (meski tidak efektif) bahwa kita adalah orang-orang baik yang bertindak demi alasan-alasan baik pula.

Tetapi Yesus mencintai orang-orang pada zaman-Nya dan mencintai kita meskipun mereka dan kita memiliki bayang-bayang gelap itu. Ia berdoa bagi mereka pun ketika mereka hendak membunuh-Nya. Dan itulah yang membuat penyembahan Salib pada hari ini begitu sangat menggetarkan rasa dan sukma. Lewat peristiwa ini kita menemukan jalan untuk mencintai diri kita secara utuh, tahu bahwa kita juga memiliki bayang gelap itu, mampu menyingkapkan muslihat diri yang gelap karena ketakutan kita telah menemukan obat penangkalnya. Cinta yang Yesus tunjukkan pada kayu Salib akan memberikan kepada kita kesempatan untuk berbagi di dalam terang-Nya, yang tidak hanya memampukan kita untuk melihat bayang gelap kita dengan lebih jelas tetapi sekaligus menghalau semuanya dari diri kita, sehingga yang tertinggal hanya cinta Yesus yang paling luhur. Amin.

Copyright © 08 April 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD

Rabu, April 08, 2009

168. EKARISTI DAN PEMBASUHAN KAKI

Kamis, 09 April 2009

Kamis Putih

Bacaan : Kel 12:1-8.11-14; 1Kor 11:23-26; Yoh 13:1-15

Kehidupan di Palestina pada zaman Yesus memang penuh dengan perjuangan yang berat. Misalnya, sarana transportasi yang populer adalah kaki. Dengan kaki mereka harus menempuh suatu perjalanan yang teramat jauh jaraknya, pada jalan yang berbatu, berlubang dan bertebaran debu. Maka tak mengherankan, kaki terasa perih dan sakit dan pegal mengitari seluruh tubuh, ketika tiba di suatu tempat tujuan. Sebagai tanda keramah-tamahan, tuan rumah akan menyediakan air hangat untuk pembasuhan kaki, yang mengandung makna sebagai suatu cara pembersihan segala debu dan pemulihan rasa sakit. Dan pembasuhan kaki ini biasanya dilakukan oleh para hamba atau para budak.
Pelayanan pembasuhan kaki yang bertujuan memulihkan kepenatan dan memperoleh kembali kesegaran juga dilayani di rumah-rumah penginapan yang bisa dijumpai di tempat-tempat strategis. Mereka yang bepergian dan menempuh suatu perjalanan yang jauh, dapat mampir di rumah-rumah penginapan untuk mendapatkan makanan dan pelayanan pembasuhan kaki. Dengan demikian, kekuatan baru diperoleh demi melanjutkan dan menyelesaikan perjalanan. Dari sinilah, rumah-rumah penginapan sepanjang perjalanan itu mendapat nama “Restoran”, artinya memberikan kekuatan demi mengembalikan dan memulihkan kecapaian kepada orang-orang yang tengah bepergian. Para murid tampaknya memahami Yesus membasuh kaki mereka dalam terang latar belakang budaya ini. Sementara bagi kita, pembasuhan kaki merupakan sebuah tonggak penunjuk pada makna Ekaristi yang kita rayakan.
Dalam terang pemahaman atas peristiwa pembasuhan kaki, Ekaristi dapat kita pahami sebagai suatu tempat restorasi, tempat di mana kita mendapatkan pemulihan, pemugaran dalam peziarahan hidup ini. Bukankah kehidupan orang Kristen di dunia ini merupakan sebuah ziarah, suatu perjalanan panjang dan tidak ringan. Dan sepanjang perjalanan itu, kita tentu merasa letih dan lesuh dan sering menantang kita untuk berhenti berlangkah dan kembali ke tempat semula. Tetapi Yesus telah menyediakan dan memberikan kepada kita Ekaristi sebagai suatu tempat di mana kita dapat pergi untuk memulihkan kepenatan dan memperoleh kembali kesegaran lewat Tubuh dan Darah-Nya sendiri, sehingga kita dapat melanjutkan dan menyelesaikan perjalanan kita yang masih tersisah. Ketika kita memberi komuni kepada orang-orang sakit, kita menyebutnya Viaticum yang berarti persediaan, bekal untuk perjalanan. Ekaristi adalah suatu Viaticum, artinya di dalam Ekaristi kita memperoleh kekuatan untuk melanjutkan perjalanan kita kepada Allah, Bapa kita.
Dalam kisah Injil kita menemukan bahwa Petrus menunjukkan sikap kurang enak ketika Yesus hendak membasuh kakinya, Petrus, yang agaknya seorang aktivis, akan lebih suka kalau dia yang bertindak sebagai pelaku, membasuh kaki Yesus pun kaki para murid lainnya. Memang, kadang terasa sulit untuk tetap pasip dan mengizinkan orang lain membasuh kaki kita daripada kita yang melakukan. Tetapi, ingat bahwa memberi diri dibasuh dan membasuh kaki sesama, ibarat dua sisi dari mata uang yang sama.
Sisi yang satu dan sekaligus paling esensial adalah membiarkan Tuhan membasuh kita. Mengapa? Kepada Petrus, Yesus berkata, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh 13:8). Jadi, pertama-tama, izinkan Tuhan membasuh kita hingga bersih seluruhnya, sehingga kita menjadi kepunyaan Tuhan. Dan hanya melalui jalan ini, kita memperolah wewenang dan hak dan kesanggupan untuk membasuh kaki sesama saudari dan saudara kita yang lain di dalam Tuhan. Ketika kebenaran ini merasuki pikiran Petrus, ia langsung mengatasi keengganannya dan berseru, “Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku” (Yoh 13:9). Agar semuanya ini terjadi, Allah cuma meminta kita untuk hadir dengan seluruh diri kita di hadapan-Nya dan membiarkan Dia membasuh kita. Sederhana, bukan?
Sisi yang lain dari koin itu, yang juga sama pentingnya adalah: setelah kaki kita dibasuh oleh Tuhan, kita harus pergi untuk membasuh kaki sesama kita. Setelah Yesus membasuh kaki para murid-Nya, Ia lalu berpesan: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu, sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh 13:12-15).
Yesus telah membangun suatu hubungan yang akrab antara diri-Nya yang membasuh kaki murid-murid-Nya dan para murid yang harus membasuh kaki sesamanya. Jika Ekaristi adalah tempat di mana Tuhan membasuh kaki kita, tempat kita dapat menimba kekuatan baru untuk langkah kita selanjutnya, maka kehidupan harian kita harus menjadi arena di mana kita harus pergi untuk membasuh kaki sesama, menawarkan harapan dan kekuatan baru kepada sesama. Ekaristi membimbing kepada kehidupan dan sebaliknya, kehidupan harus memimpin kita kepada Ekaristi. Ekaristi yang kudus dan benar harus membimbing kita kepada pelayanan terhadap sesama. Yesus telah memecah-mecahkan roti Ekaristi dan membagi-bagikannya, juga yang telah membasuh kaki para murid-Nya. Kita harus mengikuti teladan-Nya, baik pada altar Ekaristi maupun pada altar kehidupan kita setiap hari. Amin.
Copyright © 07 April 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD

167. Bukan aku, ya Tuhan?

Rabu, 08 April 2009
Pekan Suci

Bacaan : Mt 26, 14-25

Teks :

Kemudian pergilah seorang dari kedua belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala. Ia berkata: "Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?" Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya. Dan mulai saat itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus.

Pada hari pertama dari hari raya Roti Tidak Beragi datanglah murid-murid Yesus kepada-Nya dan berkata: "Di mana Engkau kehendaki kami mempersiapkan perjamuan Paskah bagi-Mu?" Jawab Yesus: "Pergilah ke kota kepada si Anu dan katakan kepadanya: Pesan Guru: waktu-Ku hampir tiba; di dalam rumahmulah Aku mau merayakan Paskah bersama-sama dengan murid-murid-Ku." Lalu murid-murid-Nya melakukan seperti yang ditugaskan Yesus kepada mereka dan mempersiapkan Paskah. Setelah hari malam, Yesus duduk makan bersama-sama dengan kedua belas murid itu.

Dan ketika mereka sedang makan, Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku." Dan dengan hati yang sangat sedih berkatalah mereka seorang demi seorang kepada-Nya: "Bukan aku, ya Tuhan?" Ia menjawab: "Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku. Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan." Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: "Bukan aku, ya Rabi?" Kata Yesus kepadanya: "Engkau telah mengatakannya."

166. Kelak engkau akan pergi juga

Selasa, 07 April 2009
Pekan Suci
Bacaan : Yoh 13, 21-33.36-38
Teks :

Setelah Yesus berkata demikian Ia sangat terharu, lalu bersaksi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku." Murid-murid itu memandang seorang kepada yang lain, mereka ragu-ragu siapa yang dimaksudkan-Nya. Seorang di antara murid Yesus, yaitu murid yang dikasihi-Nya, bersandar dekat kepada-Nya, di sebelah kanan-Nya. Kepada murid itu Simon Petrus memberi isyarat dan berkata: "Tanyalah siapa yang dimaksudkan-Nya!" Murid yang duduk dekat Yesus itu berpaling dan berkata kepada-Nya: "Tuhan, siapakah itu?" Jawab Yesus: "Dialah itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya." Sesudah berkata demikian Ia mengambil roti, mencelupkannya dan memberikannya kepada Yudas, anak Simon Iskariot.

Dan sesudah Yudas menerima roti itu, ia kerasukan Iblis. Maka Yesus berkata kepadanya: "Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera." Tetapi tidak ada seorangpun dari antara mereka yang duduk makan itu mengerti, apa maksud Yesus mengatakan itu kepada Yudas. Karena Yudas memegang kas ada yang menyangka, bahwa Yesus menyuruh dia membeli apa-apa yang perlu untuk perayaan itu, atau memberi apa-apa kepada orang miskin. Yudas menerima roti itu lalu segera pergi. Pada waktu itu hari sudah malam.

Sesudah Yudas pergi, berkatalah Yesus: "Sekarang Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia. Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia, Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan Dia dengan segera.

Simon Petrus berkata kepada Yesus: "Tuhan, ke manakah Engkau pergi?" Jawab Yesus: "Ke tempat Aku pergi, engkau tidak dapat mengikuti Aku sekarang, tetapi kelak engkau akan mengikuti Aku." Kata Petrus kepada-Nya: "Tuhan, mengapa aku tidak dapat mengikuti Engkau sekarang? Aku akan memberikan nyawaku bagi-Mu!" Jawab Yesus: "Nyawamu akan kauberikan bagi-Ku? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali."

165. Untuk Mengingat Hari PenguburanKu

Senin, 6 April 2009
Pekan Suci
Bacaan : Yoh 12, 1-11
Teks Injil :
Enam hari sebelum Paskah Yesus datang ke Betania, tempat tinggal Lazarus yang dibangkitkan Yesus dari antara orang mati. Di situ diadakan perjamuan untuk Dia dan Marta melayani, sedang salah seorang yang turut makan dengan Yesus adalah Lazarus. Maka Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu.
Tetapi Yudas Iskariot, seorang dari murid-murid Yesus, yang akan segera menyerahkan Dia, berkata: "Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?"
Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya. Maka kata Yesus: "Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu."
Sejumlah besar orang Yahudi mendengar, bahwa Yesus ada di sana dan mereka datang bukan hanya karena Yesus, melainkan juga untuk melihat Lazarus, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati. Lalu imam-imam kepala bermupakat untuk membunuh Lazarus juga, sebab karena dia banyak orang Yahudi meninggalkan mereka dan percaya kepada Yesus.