Sabtu, Oktober 03, 2009

296. Ada dan Siap Untuk Saudara

Senin, 05 Oktober 2009

Bacaan : Lk 10, 25-37

Bacaan Injil hari ini mengisahkan kepada kita tentang kisah orang Samaria yang baik hati. Sebuah kisah yang mengindikasikan kepada kita bahwa seperti halnya Allah, manusia atau orang yang dipanggil memiliki kemampuan natural untuk mendekati sesamanya. Manusia yang terbuka kepada rahmat Allah sesungguhnya terpanggil untuk selalu ada dan siap untuk sesamanya.

Ketika kepada Yesus ditanyakan tentang siapakah sesama, Ia menjawab, "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. .... Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali."

Orang Samaria yang diceriterakan Yesus menunjukkan sikap Allah sendiri. Bahwa berhadapan dengan penderitaan dan kemalangan, Allah selalu ada dan siap mengintervensi dan menyelamatkan. Allah tak pernah diam. Ia bukanlah yang berjalan lewat dan mengabaikan penderitaan. Ia bukanlah yang hanya menyatakan simpati dan rasa kasihan tanpa tindakan nyata. Seperti halnya orang Samaria yang baik hati, Allah sesungguhnya adalah Dia yang selalu ada dan siap bagi siapapun yang ditimpa kemalangan.

Dan karena kita semua mengimani Allah yang demikian, maka kita semua dipanggil untuk menyerupai Dia, mencontohi sikap dan tindakanNya dan selalu siap dan ada bagi orang yang menderita, bagi orang yang kurang beruntung. Terhadap pertanyaan tentang siapakah sesamaku manusia, kita yang beriman akan Allah hendaknya menyatakan komitmen kita untuk hadir dan ada serta siap membantu siapapun yang malang, menderita tanpa mengharapkan balasan.

Tuhan, siapakah sesamaku manusia? SabdaMu hari ini mengajak kami untuk membuka diri kami bagi sesama terutama mereka yang menderita dan kurang beruntung dalam masyarakat. Tuhan semoga kami memiliki hatiMu yang tergerak oleh belaskasihan dan menanggapinya dengan tindakan kasih yang nyata. Amin.

Copyright © 04 Oktober 2009, by Anselm Meo SVD

Selasa, September 29, 2009

295. Kita Mampu Membangun Relasi Sejati

Minggu, 04 Oktober 2009
Minggu Biasa XXVII, Tahun B

Bacaan : Mk 10, 2-16

Secara sepintas, kita diingatkan oleh Injil hari Minggu ini tentang satu prinsip penting dalam kehidupan perkawinan dan lembaga keluarga. Mudah mengamati bahwa Yesus dalam Injil hari ini diuji lagi oleh mereka yang disebut sebagai para pemimpin agama Yahudi. Tentu dengan maksud untuk mendapatkan kesalahanNya dalam ajaran yang disampaikanNya. Dari latar belakang inilah muncul pertanyaan ini kepada Yesus, "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?"

Menarik sekali bahwa Yesus tidak berlama-lama dalam memberikan jawabanNya. Ia langsung menyentuh apa yang kelihatannya paling mendasar dan universal. Yesus mengajak mereka semua untuk melihat apa rencana Allah sejak semula berkaitan dengan kehidupan manusia, juga berkaitan dengan perkawinan dan keluarga. Dan jawaban itu menjelaskan kepada kita semua dan para penanyaNya bahwa manusia menurut rencana Allah punya kemampuan natural untuk membangun relasi dan hubungan yang sejati.

Kata Yesus lebih lanjut, "Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu." Jadi penegasan yang diwartakan kepada kita hingga hari ini ialah bahwa Allah sejak semula menciptakan pasangan manusia, dan mereka diberi kemampuan untuk membangun hubungan di antara mereka, yang dengannya kebahagiaan manusia bisa terwujud. Jadi manusia tak pernah diciptakan untuk menjadi sendirian, untuk melakukan karyanya sendirian.

Lebih dari itu, konsekwensi lanjutnya ialah Allah memang menciptakan kesatuan, bukan perceraian, bukan perpisahan. Allah memaksudkan agar manusia hidup bersatu dan bukannya bertentangan satu sama lain.

Sebuah ajakan buat kita semua untuk mensyukuri Tuhan bahwa kita semua diciptakanNya untuk bersatu, untuk saling membantu, apapun perbedaan yang kita miliki. Inilah misi utama manusia berhadapan dengan keluarganya, dengan setiap bentuk kehidupan bersama yang dibangunnya. Dengan rahmatNya, kita akan selalu mampu untuk membangun relasi sejati dalam setiap bentuk hidup bersama kita.

Terimakasih Tuhan, dengan bantuan rahmatMu kami ingin selalu menjadi insan-insan yang mempersatukan dan bukannya pribadi yang menyebabkan pertentangan di antara kami. Amin.

Copyright © 03 Oktober 2009, by Anselm Meo SVD

Senin, September 28, 2009

294.Yang Terbesar Dalam Kerajaan Allah

Senin, 28 September 2009

Lukas 9: 46 – 50

Santu Lukas dalam Injil hari ini melukiskan sebuah kisah yang mengherankan, lagi mengecewakan. Sang Penginjil mengungkapkan secara transparan ambisi dan kesombongan keduabelas murid Yesus. Mereka tengah mempersoalan tentang siapkah yang terbesar di antara mereka di dalam Kerajaan Allah. Yesus menanggapi ambisi mereka dengan menempatkan seorang anak kecil di tengah-tengah mereka sambil menegaskan bahwa “Siapa yang menyambut anak kecil ini dalam nama-Ku, menyambut Aku....Yang terkecil di antara kamu, sesungguhnya dialah yang terbesar” (Lk 9: 48).

Ambisi akan keagungan dan kemuliaan juga nampaknya bercokol dalam diri kita. Siapa yang tidak mengiming-imingkan untuk menjadi orang yang disanjung-sanjungi dan dikagumi oleh orang lain? Sebagaimana para murid menunjukkan kebodohan dan kepicikan, demikian pula kita, ingin dihargai setinggi-tingginya, ingin berkuasa, ingin mengontrol dan menentukan tujuan hidup kita sendiri. Tetapi sebagai orang-orang Kristen Katolik, kita mengakui “untuk mengangkat salib kita dan mengikuti Yesus.” Seringkali kita dicobai untuk terjerumus ke dalam kebodohan itu, tetapi ingatlah bahwa kita harus menjawab panggilan Yesus untuk mengikuti contoh-conto-Nya sendiri dalam hal memahami, toleran, penuh kasih, berlaku adil, serta tidak mengadili sesama kita.

Melakukan atau mengkonkritisasi kebajikan-kebajikan ini tentu tidak mudah tetapi itulah “salib” yang diminta untuk kita angkat dan pikul sepanjang perjalanan mengikuti Kristus. Begitu gampang kita menebar gosip tentang sesama, memelihara dendam bertahun-tahun lamanya, tidak gampang mengampuni meskipun kita sering memohon dan memohon lagi, agar Tuhan mengampuni kesalahan dan dosa-dosa kita. Allah mengampuni dan terus mengampuni kita karena Ia mencintai kita tetapi kita sulit mengampuni sesama karena kita kehilangan atau kekurangan rasa cinta kita kepada sesama.

Di atas segala-galanya kita seharusnya memiliki iman dan kepercayaan dalam Yesus bahwa meskipun begitu miskin upaya kita untuk mengikuti Dia, Ia toh akan menyelamatkan kita sehingga harapan akan tujuan persatuan dalam cinta dengan-Nya di dalam Kerajaan-Nya akan menjadi nyata. Amin.

Copyright © 28 September 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD