Sabtu, Juni 27, 2009

217. Kesatuan Dalam Perbedaan

Senin, 29 Juni 2009
Hari Raya Santu Petrus Dan Santu Paulus Rasul

Kis 12:1-11; 2Tim 4:6-8.17-18; Mt 16: 13-19

Persatuan/kesatuan adalah kekuatan. Inilah pikiran utama yang mungkin lagi mewarnai benak kita saat ini - ketika kita berkumpul bersama untuk mengucapkan syukur kepada Allah atas anugerah kedua rasul agung, Santu Petrus dan Santu Paulus. Pada jamannya, keduanya tidak begitu akur dalam mengemban misi yang dipercayakan Kristus. Ada banyak alasan yang mendasarinya. Petrus dipanggil langsung oleh Yesus dan diserahkan “kunci Kerajaan Surga (Mt 16: 16-18). Setelah Yesus naik ke Surga, Petrus langsung mengambil alih otoritas kepemimpinan atas para rasul sesuai dengan janji Kristus sendiri. Ada lagi keunikan yang satu ini, entah dalam bentuk patung atau pun gambar kudus, Petrus selalu ditampakkan dengan memegang kunci di tangannya. Sementara Paulus barangkali tidak pernah bertemu dengan Yesus dari muka ke muka. Apalagi ia pernah sebagai seorang penganiaya pengikut-pengikut Kristus. Pertobatannya justru terjadi karena ia mengalami penglihatan dalam suatu perjalanan menuju Damaskus. Inspirasi dan dan model pemakluman Injil didasarkan pada pengalaman penglihatan juga pengalaman karismatisnya. Ia dilukiskan dalam patung atau gambar-gambar kudus atau dengan pedang atau buku di tangannya. Singkatnya, kedua rasul agung ini dalam banyak hal berbeda secara menyolok. Petrus lebih dijuluki sebagai rasul bagi bangsa Yahudi sementara Paulus dikenal dengan sebutan rasul bagi kaum kafir. Paulus pernah beradu argumentasi secara terbuka dengan Petrus tentang apakah orang-orang Kristen Yahudi boleh duduk makan bersama dengan orang-orang Kristen yang berasal dari kaum kafir (Gal 2).

Santu Petrus dan Santu Paulus, de facto, memiliki perbedaan sepanjang masa hidup mereka, namun keduanya memiliki kesamaan dalam hal kematian mereka. Keduanya menyerahkan hidupnya ke pangkuan Bapa di Surga sebagai martir-martir di kota yang sama di Roma sekitar tahun 64-67 A.D. Gereja perdana mengenali keduanya sebagai dua pilar utama dari Gereja Kristus. Kenyataan ini lalu diabadikan dalam gambar-gambar kudus di mana Petrus di tempatkan di sisi kanan dan Paulus di sisi kiri. Dengan menempatkan keduanya dalam satu gambar, bersatu demi Gereja Kristus, Gereja sesungguhnya mengirimkan pesan kepada putra-putrinya dewasa ini bahwa mereka semua pun seharusnya dipersatukan kendati ada perbedaan entah sebagai individu pun karena perbedaan tempat, dalam membentuk satu Gereja Allah.

Pada zaman Gereja perdana memang ada kecenderungan untuk membentuk semacam fraksi-fraksi (tentu tidak sebanyak dengan fraksi-fraksi yang kita kenal di DPR. Ada Golkar, atau PDIP, PAN, PPPK dll), dan setiap fraksi mengklaim untuk mengikuti salah satu pemimpin dari para rasul atau para misionaris. Inilah salah satu alasan mengapa Paulus menulis Surat Pertama kepada umat di Korintus. Umat Korintus terpecah-pecah sebagai pengikut-pengikut Paulus, atau Petrus atau juga pengikut-pengikut Apolos. Dalam nada yang keras Santu Paulus mengingatkan mereka bahwa pemimpin-pemimpin manusia, semuanya sama dalam hal status, yakni sebagai hamba-hamba dari satu-satunya Kristus. Karena itu, Kristus seharusnya menjadi fokus perhatian umat dan bukan pada pemimpin-pemimpin manusia. “Karena itu, janganlah ada orang yang memegahkan dirinya atas manusia, sebab segala sesuatu adalah milikmu: baik Paulus, Apolos, maupun Kefas, baik dunia hidup maupun mati, baik waktu sekarang maupun waktu yang akan datang, semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” (1Kor 3:21-23).

Pemisahan di antara para pengikut Kristus merupakan masalah yang dihadapi di zamannya Paulus. Perpisahan dan perpecahan itu juga kini dialami oleh pengikut-pengikut Kristus di zaman yang makin canggih bahkan serba canggih ini. Seperti orang-orang Kristen di Korintus, demikin juga orang-orang Kristen dewasa ini, dibagi-bagi, entah di bawah otoritas absolut dari John Calvin, atau Jon Wesley atau pun Paus Benedictus XVI. Kita semua semisal jari-jari yang lemah yang tidak dapat merangkul satu terhadap yang lain dan mempersatukan ke dalam satu kekuatan. Keterpecahan orang-orang Kristen merupakan sebuah skandal yang melemahkan kesaksian Kristiani kepada dunia. Bagaimana Gereja-Gereja Kristen mewartakan cinta kasih dan kesatuan, pengampunan dan rekonsiliasi kepada dunia sementara mereka sendiri hidup dalam perpecahan, tidak sanggup saling mengampuni dan berdamai?

Malah perpecahan itu terlihat dan terjadi di dalam dinding Gereja yang sama. Ada celah perpecahan yang tampak dengan jelas. Setelah dua ribuan tahun Gereja Kristen berdiri, masih saja terlihat kelompok-kelompok umat Allah yang memberi label pada kelompoknya sebagai konservatif atau liberal. Konservatif adalah mereka yang mengidentifikasi dirinya dengan otoritas institusional dari Santu Petrus, berperang melawan yang liberal; dan liberal adalah kelompok yang mengidentifikasikan dirinya dengan visi karismatis Santu Paulus, berperang melawan yang konservatif. Lewat mengikat-satukan pesta Santu Petrus dan Santu Paulus, Gereja sebetulnya mengundang kita semua, putra-putrinya untuk melihat melampaui pemisahan konservatif - liberal dan menemukan suatu kesatuan dan persatuan yang lebih mendalam di dalam Kristus. Gereja Kristus membutuhkan wadas/batu karang kepemimpinan Santu Petrus juga vitalitas/daya hidup penglihatan karismatis Santu Paulus. Kesatuan Kristiani, seperti kesatuan Santu Petrus dan Paulus, bukan kesatuan dalam keseragaman melainkan kesatuan dalam perbedaan. Hari ini Gereja mengingatkan kita bahwa meskipun sebagai individu pun sebagai komunitas-komunitas ada yang lebih condong kepada gaya Santu Petrus dan yang lainnya lebih memilih gaya Santu Paulus, namun kita seharusnya tidak membiarkan pemisahan dan perpecahan di antara kita, karena kita semua adalah pertama, terutama adalah pengikut-pengikut dari satu Tuhan, Yesus Kristus dan putra-putri dari satu Allah, Bapa kita.

"Tuhan Yesus, aku mengakui dan percaya bahwa Engkau adalah Kristus, Putra Allah yang hidup. Engkau adalah Tuhanku dan Penyelamatku yang telah membebaskan aku dari tirani dosa dan beban kesalahan. Buatlah imanku semakin kokoh seperti iman kedua rasul agung-Mu, Santu Petrus dan Paulus dan anugerahkanlah kepadaku keberanian untuk bersaksi tentang Dikau kepada sesama sehingga mereka pun boleh datang untuk mengenal Dikau sebagai Tuhan dan Penyelamat. Anugerahkanlah kepadaku kedalaman pemahaman akan rahmat pewahyuan untuk menyelami keanekaan kebenaran Kristiani. Dengan rendah hati aku mengakui bahwa aku tak dapat sampai kepada kepenuhannya dengan usahaku sendiri tetapi harus membiarkan Engkau menuntun aku dengan tangan-Mu yang kudus.” Amin.
Copyright © 28 Juni 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD

216. Sentuhan yang Menyelamatkan

Minggu, 28 Juni 2009
Minggu Biasa XIII

Bacaan : Mk 5, 21-43

Membaca Injil pada hari Minggu ini, saya teringat akan judul yang diberikan kepada perikop ini ketika saya mengikuti retret beberapa tahun lalu. Sang pastor yang membawa renungan itu, yang adalah seorang ahli Kitab Suci memberi judul agak lain dari yang tertulis di dalam Kitab Suci, yakni "Kisah tentang Dua Puteri Israel".

Yah ... Injil yang kita renungkan hari ini berkisah tentang dua puteri Israel yang dalam salah satu aspek hidup mereka sebenarnya adalah orang-orang yang "terisolasi" dari masyarakat Israel pada umumnya. Yang pertama adalah puteri Yairus, yang dikhabarkan telah menderita sakit sejak masa kecilnya dan sekarang dinyatakan sebagai orang yang telah mati. Bagi Yairus yang adalah kepala rumah ibadat Yahudi, kesakitan dan kematian anak satu-satunya ini menjadikan hubungannya dengan masyarakat Yahudi terisolasi. Ia merasa terbeban dalam hidupnya karena kehilangan anak satu-satunya adalah suatu aib yang dibicarakan dalam masyarakat. Itulah sebabnya pertolongan segera sangatlah ia butuhkan. Dan untuk meminta pertolongan itu ia tak peduli dengan kedudukannya. Ia datang bersujud meminta Yesus agar Yesus menyembuhkan anaknya.

Orang kedua yang disinggung dalam Injil adalah wanita yang menderita pendarahan selama dua belas tahun. Wanita yang demikian dalam budaya Yahuda seharusnya tidak boleh ada di kerumunan orang banyak. Betapa resiko yang diambilnya ketika ia memutuskan untuk menyentuh jubah Yesus. Kalau saja ketahuan, ia pasti akan dirajam dan mati. Tetapi karena kerinduan akan sembuh dan karena kepercayaannya, ia nekat bertindak. "Asal kujamah saja jubahnya, aku akan sembuh," bathinnya ketika itu.

Dan akhirnya tibalah pernyataan kuasa Tuhan atas mereka itu. Sang wanita itu diminta tampil kedepan, "Siapa yang menjamah jubahKu?" tanya Yesus ketika merasa ada kekuatan yang keluar dari diriNya. Dan wanita itu tak bisa bersembunyi lagi. Ia harus memberi kesaksian tentang karya ajaib yang terjadi pada dirinya. Juga Yairus diminta Yesus untuk tidak usah takut. Iman keduanya mendatangkan keajaiban. Iman itu mendatangkan pemulihan hubungan yang telah rusak karena sakit, dosa, hukuman sosial. Sentuhan dengan Tuhan Yesus membuat wanita itu sembuh. Sentuhan dengan Tuhan Yesus membuat anak Yairus bangkit dan hidup. Dan keduanya terintegrasi kembali ke dalam masyarakatnya. Tuhan mengembalikan mereka kepada hubungan yang harmonis dengan sesamanya, keluarga dan masyarakatnya.

Bagi kita kisah ini sarat pesan, terutama ketika kita harus mempertimbangkan berbagai hubungan antara kita dengan masyarakat. Betapa banyak hal yang membuat hubungan di antara kita tak harmonis, yang membikin kita atau saudara kita terisolasi dari sesama. Mungkin ada banyak dari antara kita terbeban dengan kenyataan pengalaman pahit di masa lalu. Mungkin ada yang terbelenggu oleh bayang-bayang ketakutan akibat kesalahan, dosa, dan tak mau tampil lagi ke depan umum, karena merasa tak pantas, takut ketahuan.

Wanita yang disembuhkan dan Yairus yang meminta kesembuhan bagi puterinya adalah contoh buat kita masa kini. Sentuhan mereka dengan Yesus sungguh menyelamatkan, sungguh mengembalikan keharmonisan dalam diri mereka, sungguh melepaskan beban yang mereka tanggung. Dan kita? Apakah kita masih berpikir bahwa ada beban yang kita tanggung yang tak bisa diselesaikan oleh Tuhan? Masihkah ada iman yang sungguh dalam diri kita tentang karya Tuhan yang bermaksud menyelamatkan dan membebaskan kita? Kita mesti menyerahkannya kepada Tuhan.

Tuhan Yesus, sering masa lalu yang kelam membuat kami kehilangan keberanian untuk keluar dari diri sendiri dan menyentuh Dikau. Semoga kisah dua puteri Israel dalam Injil hari ini membuka mata iman kami, untuk percaya bahwa dalam Dikau ada penyelesaian atas segala permasalahan hidup kami. Amin.

Copyright © 27 Juni 2009, by Ansel Meo SVD

Kamis, Juni 25, 2009

215. Iman: Jalan Menuju Keselamatan

Sabtu, 27 Juni 2009
Pesta Santu Sirilus Dari Alexandria

Bacaan: Matius 8: 5-17

Perikop Injil pada hari ini merupakan lanjutan dari kisah Injil hari Jumad kemarin. Pada hari ini penginjil Matius mengarahkan perhatian kita pada peristiwa penyembuhan hamba seorang Perwira Romawi. Ada hal menarik dan istimewa yang mau disoroti dalam peristiwa ini. Unsur atau elemen yang memungkinkan mukjizat penyembuhan itu terjadi, yang tersingkap jelas kepada kita dari kata-kata Yesus sendiri. Ketika menyembuhkan hamba perwira Romawi, Yesus memaklumkan bahwa iman sebesar yang dimiliki perwira tersebut yang de facto kafir, justru tidak Ia jumpai di antara umat umat Irsael, bangsa kepilihan Allah.

Bagi orang-orang Kristen, iman semisal kunci untuk menghidupi dan menghayati kehidupan Kristen karena hanya dan melalui iman kita memasuki misteri agung Allah. Iman adalah pintu masuk ke dalam kehidupan Kristus. Dengan kekokohan iman kita dapat memindahkan gunung, demikian ditandaskan oleh Yesus sendiri. “Sesungguhnya, jika kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada gunung itu: pindahlah dari tempat ini ke tempat itu, maka gunung itu akan pindah dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Mt 17:20). Yesus mengundang kita melalui iman untuk menghidupi dan menghayati lewat suatu pemahaman yang berbeda dari pemahaman-pemahaman yang sudah biasa kita maknai, demi dan melalui iman kita memasuki suatu realitas yang sungguh berbeda.

Kadang-kadang kita dapat kehilangan pandangan tentang betapa radikalnya ajaran Yesus tentang iman. Tetapi Yesus berkata: “Tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” (Mrk 9:23). Orang-orang yang hidup dari dan melalui iman akan mengatakan bahwa sungguh benar Sabda Yesus Kristus. Iman yang kokoh memberi jaminan kepada kita untuk teguh berharap dan setia berkanjang sekalipun berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang tampaknya tak mustahil bagi manusia, dapat tersenyum sekalipun ditengah kepahitan hidup dan dengan gagah berani berseru “jadilah kehendak-Mu, ya Tuhan.” Iman mampu menggerakkan kita untuk melampaui bahasa optimis dan selalu berusaha melihat sisi yang positip dan tetap memiliki keyakinan mendalam bahwa Allah akan melakukan perbuatan-perbuatan ajaib. Allah selalu menyertai kita dan kehendak-Nya yang akan terjadi. Yesus memaklumkan bahwa kita dapat diselamatkan hanya melalui iman yang radikal, pembaharuan hati yang menyeleruh/total dan ketaatan baru kepada satu-satu Allah. Iman memberikan kita kepercayaan dan keberanian untuk mengharapkan hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang mulia dari Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan mulia bagi Allah.

“Tuhan Yesus, aku ingin berkembang dalam iman; berusaha menapaki jalan hidupku di dalam iman dan bertumbuh di dalamnya. Tuhan Yesus melalui rahmat-Mu, semoga aku hidup melalui dan berdasarkan iman.” Amin.

Copyright @ 24 Juni 2009, by: P, Paskalis B. Keytimu, SVD

Rabu, Juni 24, 2009

214. Tuhan, Sabda-Mu Menyembuhkan Dan Menghidupkan Aku

Jumad, 26 Juni 2009
Masa Biasa

Bacaan: Matius 8: 1-4

Seorang konsultan kesehatan ketika melakukan supervisi pada Fakultas Kesehatan, berceritera kepada para mahasiswa dan mahasiswi sebagai berikut. Ada seorang wanita yang tengah menderita kanker payudara pada stadium III. Tumor itu terus bertumbuh dan dari waktu ke waktu semakin menyebabkan penderitaannya bertambah berat. Namun wanita tersebut tidak pernah mau berkonsultasi dengan dokter guna mendapatkan perawatan dan pengobatan. Ia dirundung oleh perasaan malu dan dibenaknya selalu terbayang pikiran bahwa ia hanya akan menyita waktu dan kesibukan dokter karena de facto kondisinya makin memprihatinkan. Pikirnya, dokter tidak akan sanggup menyembuhkannya. Ketika usai membentangkan sikap wanita tersebut dalam menghadapi penderitaannya, sang konsultor lalu mengingatkan para mahasiswa dan mahasiswi untuk bersikap pro-aktif bila berhadapan dengan pasien-pasien yang dengan mudah merasa malu bila menghadapi penyakit-penyakit yang ganas seperti kanker. Ia menghimbau para mahasiswa dan mahasiswi untuk selalu pekah dan sigap membantu para pasien dengan pola perilaku seperti wanita tersebut.

Pola perilaku kita pun tidak jauh berbeda dengan wanita dalam ceritera di atas dalam berhubungan dengan Allah. Kita tidak suka mendekati Allah atau kita merasa dan berpikir bahwa Allah akan mengurangi dan menghalau dari kita persoalan dan kesulitan yang suka kita hadapi atau yang gemar kita lakukan. Tapi ini sesungguhnya suatu pola pikir yang sangat berbahaya, yang dihimbau oleh Injil hari ini untuk dihalau dari kehidupan kita sebagai orang-orang beriman. Ucapan syukur si penderita kusta barangkali tidak dilakukan berdasarkan cara berpikir demikian, namun ada sesuatu yang baik dan indah daripadanya yang patut kita contohi, yakni keberanian dan kepercayaan dirinya dalam mendekati Yesus. “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku” (Mt 8:2). Dan apa yang terjadi? Yesus langsung menanggapi atau tanpa ragu-ragu menjawabi permohonannya. “Aku mau, jadilah engkau tahir” (Mt 8: 3). Kita semua membutuhkan untuk dibersihkan, dimurnikan dan disembuhkan oleh Kristus. Kita semua memikul luka-luka dosa dan aneka beban kesalahan. Yesus adalah satu-satunya Pribadi yang dapat memurnikan dan membersihkan kita. Dan itu tampak jelas dari kisah Injil hari ini, suatu janji akan penyambutan yang hangat dan penuh cinta.

Kita mengalami pemurnian dan pembersihan atas dosa dan kesalahan kita dari Kristus secara mengagumkan lewat Sakramen Pengakuan. Melalui rahmat Sakramen ini kita dapat mengalami secara langsung sentuhan penyembuhan, pemurnian dan pembersihan dari Kristus sendiri. Melalui Sakramen tersebut kita dapat merasakan cinta dan belaskasih yang nyata dan hidup dari Kristus. Untuk itu, kita perlu bertumbuh dalam kepercayaan diri dan siap mendengarkan Tuhan yang berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir dan merasakan dalam hati kita kegembiraan penyembuhan dan pengampunan Allah.

“Tuhan Yesus, dengan, dan melalui Roh Kudus, semoga aku terus berusaha untuk bertumbuh dalam pengetahuan, pemahaman dan kebijaksanaan bahwa hanya dalam cinta-Mu aku disembuhkan, dibaharui dan diampuni.” Amin.

Copyright © 24 Juni 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD

Selasa, Juni 23, 2009

213. Bagai Orang Bodoh Yang Mendirikan Rumah Di Atas Pasir

Kamis, 25 Juni 2009
Masa Biasa

Bacaan: Matius 7: 21-29

Jika anda dapat meramalkan mengenai ancaman terhadap kehidupanmu dan tentang masalah kehilangan rumah serta segala harta kekayaanmu, akankah anda mengambil tindakan pencegahan yang perlu untuk menghindari bencana tersebut? Kisah Yesus tentang dihalau banjir dan badai menarik minat pendengar yang telah mengetahui akibat-akibat buruk dari bencana-bencana yang datang sering tanpa diawali dengan tanda-tanda peringatan. Tatkala Yesus berbicara tentang para pembangun (tukang bangunan) yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi suatu badai kehidupan, Ia sepertinya memiliki pertimbangan terhadap makna suatu ungkapan sederhana ini dalam pikiran-Nya: “Ketika badai datang menghalaui, orang-orang berdosa dihalau pergi sementara orang-orang benar teguh berdiri.”

Hal-hal manakah dari kisah Yesus dalam Injil, yang paling berkesan bagi hidupmu dan hidupku – ya, hidup kita? Jenis pondasi yang kita gunakan untuk membangun kehidupan kita akan sangat menentukan apakah kita dapat bertahan di tengah segala bencana dan penderitaan hidup yang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak manusia ini. Para tukang bangunan biasanya meletakkan pondasi ketika kondisi cuaca dan tanah tengah pada memasuki atau berada pada musim yang tepat. Hal itu melibatkan prediksi awal demi mengetahui sejauhmana pondasi tersebut akan sanggup bertahan menghadapi kondisi-kondisi yang bakal merusakkan. Mendirikan sebuah rumah pada dataran tanah yang riskan akan bahaya banjir, itu sungguh sebuah bencana. Yesus mengawali kisah-Nya dengan sebuah peringatan: “kita mungkin bisa saling berbohong satu terhadap yang lain, tetapi Allah tidak dapat ditipu. Ia melihat hati kita sebagaimana adanya – dengan segala motifnya, maksud-maksudnya, hasrat-hasrat dan pilihan-pilihannya” (bdk Mzm 139: 2). Hanya ada satu-satunya jalan dalam mana ketulusan hati seseorang dapat dibuktikan dan itu cuma lewat praksis konkrit. Kata-kata yang baik tidak pernah dapat menggantikan perbuatan-perbuatan yang baik. Karaktek kita akan ditampakkan lewat pilihan-pilihan sikap yang kita buat, khususnya ketika kita harus memilih antara yang benar dan salan, antara yang baik dan yang jahat. Apakah anda dan saya berbohong atau berusaha menutup-nutupi, manakalah menyadari bahwa kebenaran yang akan disingkapkan menghantar kita kepada penderitaan, terluka dan dipermalukan? Orang yang benar selalu jujur dan dapat dipercaya dihadapan Allah, sesama dan diri sendiri.

Apa yang dapat mencegah kita dari kebohongan dan bencana spiritual? Jika kita menjadikan Tuhan sebagai Batu Karang dan Pondasi kehidupan kita, maka tak akan ada yang sanggup membuat kita gemetar ketakutan dan mampu mencegah kita dari kehadiran dan perlindungan Allah sendiri. Apakah Tuhan dan Sabda-Nya adalah satu-satunya pondasi kehidupanmu?

“Tuhan Yesus, Engkau adalah satu-satunya pondasi yang dapat membuat kita teguh berdiri ketika penderitaan dan bencana mengancam hidup kita. Anugerahkanlah kepada kami kebijaksanaan, kekuatan yang sungguh kami perlukan untuk melakukan apa yang benar dan baik dan menolak apapun yang salah dan bertentangan dengan kehendak-Mu sendiri. Semoga kami boleh menjadi seorang pelaku Sabda-Mu dan bukan melulu sebagai seorang pendengar.” Amin.

Copyright © 23 Juni 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD

212. Ia Mempersiapkan Muridnya Untuk Bertemu dengan Sang Guru

Rabu, 24 Juni 2009
Hari Kelahiran Yohanes Pembaptis

Bacaan : Lk. 1, 57 - 66. 80

Hari ini Gereja merayakan Hari Kelahiran Yohanes Pembaptis, yang oleh Yesus sendiri dijuluki sebagai seorang nabi terbesar yang pernah lahir dari seorang wanita. Hubungannya dengan Yesus memang sangat akrab dan dekat, bahkan diberitakan oleh Injil bahwa ketika masih dikandung ibunya, Yohanes sudah mengungkapkan kegembiraannya tentang kedatangan juruselamat, tatkala bertemu dengan Yesus yang juga masih berada dalam kandungan ibunya Maria.

Kebesaran seorang Yohanes bukan terletak dalam kenyataan bahwa ialah nabi terbesar yang pernah ada, sebagaimana dikatakan Yesus. Kebesarannya terletak dalam kenyataan bahwa kepada dialah dipercayakan Allah tugas untuk menyiapkan orang-orang sebangsanya untuk bertemu dengan Mesias, yakni Yesus sendiri. Kepada Dialah ditugaskan untuk mempersiapkan mempelai untuk diperkenalkan kepada sang Pengantin. Dan dia jugalah yang memperkenalkan para murid kepada sang Guru sejati, Yesus sendiri, yang harus menjadi semakin besar sementara dia menjadi kecil dan makin tak kelihatan.

Tetapi ... bagaimanakah dunia mengenal Yohanes dan perannya dalam sejarah keselataman? Rasanya tak sulit menemukannya dalam pemaparan Injil tentang tokoh besar ini. Yohanes, dalam melaksanakan tugasnya, ia memberikan kesaksian, "Saya bukanlah Kristus, tetapi di tengah-tengah kamu berdiri seorang yang tidak kamu kenal." Dan sejalan dengan tugasnya untuk menghantarkan murid-muridnya kepada Yesus, ia juga berkata, "Lihatlah anak Domba Allah" .... dan para muridnya meninggalkan dia dan pergi kepada Yesus.

Secara khusus Injil hari ini menolong kita untuk membaca fakta dibalik kelahiran Yohanes, terutama ketika keharusan memberikan nama kepada sang anak, delapan hari setelah kelahirannya. Yohaneslah namanya, demikian penegasan ibunya yang kemudian dikonfirmasi juga oleh Zakaria ayahnya. Namanya adalah Yohanes yang berarti pula pemberian dari Allah. Kenyataan dan fakta inilah yang mengungkapkan bahwa Yohanes bukan anak kebanyakan, dia adalah pemberian Allah. Dan atas kelahirannya, ayahnya berseru memuji Allah. Dan bersama dia, orang-orang disekitarnya juga menyadari bahwa kuasa Allah tengah ada dan bernaung di atas anak ini.

Bagi kita kelahiran Yohanes mengingatkan kita tentang peran penting yang kita emban berhadapan dengan Yesus Juru Selamat. Seperti dia, kita adalah yang bertugas mempersiapkan orang bertemu dengan Tuhan. Mungkin dengan seulas senyum, mungkin dengan kata peneguhan, mungkin dengan kestiaan dalam tugas kita kecil sekalipun. Yah ... kelahiran Yohanes adalah pesta buat gereja, karena perannya itulah, kita kini bertemu dengan Yesus Sang Juru Selamat.

Tuhan, sering sekali kami terlibat dalam berbagai tugas untuk mempersiapkan sesuatu yang penting. Yohanes menunjukkan caranya, kamipun berharap dapat mengikuti dia. Kiranya Tuhan semakin besar dalam kekecilan kami. Amin.

Copyright © 23 Juni 2009, by Ansel Meo SVD

Senin, Juni 22, 2009

211. Belum Cukup Kalau Aku Cuma Mengelak Untuk Melukai Sesama

Selasa, 23 Juni 2009
Masa Biasa

Bacaan: Matius 7 : 6. 12-14

Barangkali kita pernah mendengar ungkapan klasik berikut ini: “Jangan menggantung (memakaikan) anting pada moncong babi.” Ungkapan Yesus mengenai “mutiara dan babi” dalam bacaan Injil hari ini sungguh sangat mirip dengan ungkapan tersebut. Namun di sini, perhatian dan penekanan Yesus bukan pada soal eksklusif, melainkan pada soal kemurnian iman yang telah dipercayakan kepada kita oleh Allah, Bapa Yang Mahacinta dan Maha Bijaksana.

Lebih lanjut Yesus berbicara tentang standar hukum dengan menunjukkan kepada kita kesempurnaan cinta kasih – ‘utamakanlah kebaikan sesama dan berikanlah kepada mereka apa yang terbaik yang dapat kita tawarkan demi kebaikan mereka sendiri. Belumlah cukup jika kita hanya berusaha mengelakkan melukai sesama. Kita harus sungguh-sungguh berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik untuk sesama kita. Yesus kemudian mengutip beberapa nasihat dari Kitab Perjanjian Lama. Dalam Kitab Mazmur tertulis: “Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak bediri di jalan orang berdosa….tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan” (Mzm 1:1-2). Apabila suatu arah menyimpang dan bercabang-cabang di perjalanan, setiap arah menuntun ke tujuan masing-masing. Hal ini benar khususnya ketika berhadapan dan tengah berada di persimpangan jalan kehidupan yang menuntut kita untuk melakukan suatu pilihan. Dalam hubungan ini, Kitab Suci mengingatkan kita mengenai pilihan yang patut kita tempuh, yakni “pilihlah kehidupan agar engkau dan keturunanmu boleh hidup.” “Pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos 24:15). “Sesungguhnya Aku menghadapkan kepada kamu jalan kehidupan dan jalan kematian” (Yer 21:8). Yesus menantang kita dengan pilihan yang sama. Apakah anda dan saya sungguh menyadari pada jalan manakah kita tengah berlangkah dan apakah jalan itu tengah menuntun kita ke tujuan yang benar?

Yesus menyimpulkan ajaran-Nya dengan sebuah peringatan yang sangat penting dan mendesak, yakni kita harus memperlakukan sesama kita dengan cara yang kita harapkan diperlakukan oleh Allah dan sesama kepada kita. Kita bukan saja harus mengelak dari perilaku dan tindakan yang melukai sesama, tetapi juga kita harus secara aktif mempertimbangkan dan memperhatikan kebaikan dan kesejahteraan mereka sebelum bertindak. Dengan melakukan hal-hal ini, kita sesungguhnya memenuhi apa yang Allah tuntut dari pihak kita, yakni mencintai Allah dengan segenap hati, pikiran dan kekuatan, dan mencintai sesama seperti kita mencintai diri kita sendiri. Cinta kasih yang kita persembahkan kepada sesama itu sebetulnya cinta kasih Allah sendiri yang telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rom 5:5). Roh Kudus setiap saat siap untuk membarui kehidupan kita. Apakah kita rindu akan kekudusan dan haus akan api cinta kasih Allah?

Perkenankanlah aku mencintai-Mu, Tuhanku dan Allahku, dan melihat serta mengenali diriku sebagaimana aku adanya – seorang peziarah di dunia ini, seorang Katolik yang dipanggil untuk menghormati dan mencintai semua yang hidupnya saya sentuh, mereka yang patut aku hormati sebagai atasan dan bawahanku, para sahabat dan musuh-musuhku. Bantulah aku mengolah kemarahan dengan sikap kelemah-lembutan, menyambut dengan kedermawanan hati; keseluhan/apatis dengan semangat yang membara. Tolonglah aku untuk tidak hanya memikirkan diriku sendiri tetapi mengulurkan tanganku untuk menjangkau sesamaku tanpa disekati oleh batas apapun” Amin.

Copyright © 22 Juni 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD

Minggu, Juni 21, 2009

210. Keluarkanlah Dahulu Balok Dari Matamu

Senin, 22 Juni 2009
Masa Biasa

Bacaan: Matius 7: 1-5

Setiap orang memiliki kemampuan untuk mengeritik, tetapi tak seorang pun yang menghendaki diadili atau dituntut. Mengapa sikap mengadili itu begitu merajalela pun di antara orang-orang Kristen? Berpikir positip tentang orang lain adalah sangat perlu jika kita memang ingin bertumbuh dalam cinta kasih. Dan kebaikan hati dalam mengadili tidak lain merupakan sebuah tugas mulia. Para Rabi Yahudi mengingatkan umat bahwa “dia yang mengadili sesama secara adil akan diadili pula oleh Allah dengan takaran yang sama.” Namun dalam keseharian hidup lebih sering kita menjumpai bahwa begitu mudah mengadili sesama secara tidak adil dan betapa sulit berlaku jujur dalam mengadili. Padahal kita sendiri sebenarnya tahu sungguh bahwa pengadilan yang kita lakukan terhadap sesama umumnya tidak mengungkapkan seluruh kebenaran karena siapakah anak-anak manusia ini yang sanggup menyelami sesamanya secara sempurna? Apalagi kita juga tidak memiliki seluruh akses terhadap fakta, atau terkadang kita hanya mengandalkan pada instink dan alasan-alasan yang tidak masuk akal terhadap orang lain. Singkat kata, adalah lebih mudah menemukan kesalahan sesama daripada kesalahan-kesalahan kita sendiri. “Adalah lebih mudah melihat selumbar dalam mata sesama daripada balok di mata sendiri” (Mt 7: 3).

Dalam Injil hari ini, Yesus mengungkapkan suatu prinsip yang patut kita jadikan acuan untuk menilai kehidupan kita sendiri: “penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan dikembalikan kepadamu.” Tuhan mengetahui segala kesalahan kita dan melihat semuanya, pun ketidaksempurnaan dan dosa yang bergelimang dalam hati yang sering tidak kita sendiri menyadarinya. Semisal seorang ayah yang murah hati dan seorang dokter spesialis, Tuhan dengan penuh kesabaran mendekati kita dengan penuh belaskasih dan kerahiman dan merenggut segala kanker dosa yang menempel pada hati kita. Apakah anda dan saya percaya akan belaskasihan dan rahmat Allah? Mohonlah kepada Tuhan untuk mengairi hati kita dengan cinta kebaikan dan belaskasih sehingga kita hanya boleh memiliki ruang untuk kemurahan hati dan kesabaran terhadap sesama kita.

“Oh Bapa, anugerahkanlah kepada kami kerendahan hati yang akan memampukan kami untuk menyadari kebodohan, mengakui kesalahan; mengenali kebutuhan, menyambut segala nasihat dan menerima kemarahan. Bantulah kami selalu untuk lebih tahu bersyukur daripada mengeritik, menaruh simpati daripada membenci, membangun daripada menghancurkan dan berpikir dan sanggup melihat sisi baik sesama daripada keburukannya.” Amin (William Barclai, abad ke-20).

Copyright © 21 Juni 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD