Sabtu, Oktober 25, 2008

03. Bisa Lebih Buruk, jika Hidup Tanpa Iman

Sabtu, 25 Oktober 2008
Bacaan : Lukas 13, 1-9
Kita baru saja disuguhkan dengan persoalan kepekaan untuk membaca tanda-tanda zaman. Injil hari ini coba melanjutkan persoalan itu dengan mengisahkan tentang orang yang datang kepada Yesus dan bertanya, “Bagaimana dengan nasib orang – orang Galilea yang terbunuh itu?
Yesus memang mengunakan kisah itu untuk menyampaikan pesanNya tentang cara hidup kemuridan yang dimaksudkanNya. Namun Ia tidak sekedar memapar-kannya sebagai peristiwa, tetapi menjadikannya sebagai pelajaran tentang hidup beriman dan tentang sikap percaya dan tobat komunitasNya.
Membaca kisah ini, kita langsung melihat konsep yang telah hidup dalam masyarakat zaman itu sebagai latar belakangnya: bahwa yang bersalah memang harus dihukum. Konsep yang sama masih tetap hidup di dalam masyarakat kita, yang secara positif kita kenal sebagai masyarakat hukum. Juga tentang kenyataan sakit dan penderitaan yang dilihat sebagai akibat dari dosa dan salah seseorang.
Dalam pewartaan Yesus, mereka sama sekali bukan dihukum sebagai akibat kesalahan mereka. Nah, sesuatu yang baru dimunculkan di sini. Apa itu? Sekali lagi satu konsep tentang Allah dan pilihan keberpihakan Allah. Bahwa Allah memihak pada si korban, orang-orang kecil dan yang menderita, betapapun penederitaan mereka adalah mungkin diakibatkan oleh kesalahan mereka sendiri. Persis bertolak belakang dengan kebiasaan otomatis kita, yang mungkin berprinsip, “Ah, dia memang perlu dihajar, perlu dicambuk supaya bertobat dan berubah.”
Kita bertanya, “Apakah memang perlu Allah turun tangan menghukum seseorang untuk membuat dia sadar dan bertobat?” Secara manusiawi, jawabannya memang: YA. Tapi ada yang lebih buruk yang bisa terjadi, biarpun peristiwa semacam itu tidak terjadi lagi di zaman ini.
Yesus bersabda, “tetapi jika kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara yang demikian.” Jadi apa yang terjadi pada masa yang lalu masih bisa terjadi pada masa ini, jika orang tak memiliki visi kehidupan yang baik.
Apakah visi hidup yang baik itu? Kehidupan yang memiliki visi yang baik adalah hidup yang didasarkan pada iman bahwa Allah mau agar kita memilih yang baik, memilih yang positif dan hidup berdasarkan pilihan itu.
Mari kita hidup dengan keyakinan ini. Mari kita buat pilihan untuk yang baik dan positif dalam hidup.
Tuhan, di hari-hari yang sulit dan keras Biarlah mata kami masih bisa menengadah Bersikap positif dan baik kepadaMu dan kepada sesama kami.
Amin

Copyright © 25 Oktober 2008, by Anselm Meo, SVD

Jumat, Oktober 24, 2008

02. Perintah Terbesar? ‘Kasihilah ...!’

Minggu, 26 Oktober 2008
Bacaan : Mt 22, 34 - 40
Bertanya tentang mana perintah yang paling besar dari seluruh kitab Taurat memang mudah dianggap sebagai pertanyaan untuk mencobai Yesus. Betapa tidak. Bagi para rabi yang belajar Kitab Suci pada masa Yesus, mereka tahu pasti bahwa di sana ada kurang lebih 613 perintah. Dari jumlah ini ada 365 perintah negatif dan 248 perintah positif.

Dengan begitu banyaknya perintah semacam ini, bisa dibayangkan betapa sulitnya mempelajari-nya. Dan kalau sudah sulit untuk mempelajari-nya, betapa lebih sulit lagi untuk mempraktek-kannya. Bisa dimengerti kenapa para ahli Taurat mengutuki orang banyak dengan ung-kapan bahwa mereka tak mengenal hukum, “Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka” (Yoh 7, 49). Dan Yesus melihat kenyataan seperti itu sebagai beban yang berat, yang meletihkan dan menekan orang (Mat 11,28). Dan dalam Injil hari ini Yesus ditanya oleh seorang ahli Taurat, “Guru, hukum manakah yang terutama (dari 613 perintah) dalam Hukum Taurat?” Dan Yesus menjawab dengan satu referensi kepada pengakuan iman Israel yang terkenal itu, yang dikenal sebagai ‘shema Israel’, yang diucapkan setiap hari. Dan Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Ul 6,5). Jadi, tak ada yang baru dalam Sabda Yesus khan? Boleh jadi. Karena sebelum Yesus, ada rabbi Hilel misalnya yang mengatakan, “Inti dari hukum Taurat adalah ’Apa yang tidak kau sukai, janganlah lakukan hal itu kepada sesamamu!’ sedangkan yang sisanya adalah komentar atas Hukum Taurat.” Tapi tunggu dulu. Ada sesuatu yang baru di sini. Apa itu? Itulah konsep mereka tentang sesama. Orang Israel hanya memahami saudara sebangsanya sebagai sesama, sedangkan Yesus mengajarkan bahwa semua manusia adalah sesama, bahkan juga musuh (lihat Mat 5,43-48). Maka kata Yesus, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Dan Ia melanjutkan, “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Kasihilah Tuhan Allahmu! Dan kasihilah sesamamu! Itulah yang utama. Itulah pilihan hidup dan pilihan dalam karya pelayanan. Satu hal jelas di sini: ada hubungan yang tak terpisahkan antara cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. Antara kewajiban menjalankan ibadat dan agama dan praktek hidup harian. Bahkan ketika tidak disinggung sedikitpun tentang kasih kepada Tuhan, ketika seorang mengatakan ‘aku mencintai kamu’ dia sebenarnya tengah menegaskan bahwa Tuhan hadir dalam saudaranya di hadapannya. Itulah sebabnya, Paulus misalnya, mengatakan, “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’.”(Gal 5,14). Lalu, bagaimana mencintai Allah? Mencintai sesama ya, mungkin tetapi mencintai Allah, bagaimana caranya? Apakah mungkin tak memisahkan keduanya? Ya, kalau kita mengerti dan mngenal Allah macam mana yang sedang Yesus wartakan. Allah yang Yesus wartakan tak pernah meminta sesuatu tanpa menunjukkannya lebih dahulu. Allahnya Yesus adalah Dia yang melayani manusia, Dia yang mencuci kaki dan meminta kita melakukan hal yang sama, sebagaimana Yohanes mengingatkan, “Kalau Tuhan mengasihi kita, kitapun harus mengasihi satu sama lain” (1 Yoh 4,11). Allah yang Ia wartakan adalah Allah yang karena kasihNya rela menumpahkan darahNya bagi dia yang dikasihiNya. Nah, jika demikianlah Allah yang Ia wartakan, maka mencintai Allah berarti mencontohi Dia yang mencintai sesama. Itu juga berarti mengasihi semua orang, terutama mereka yang terpinggirkan, yang kurang disukai, yang asing dan tak dikenal. Karena mengasihi manusia adalah mengasihi seseorang yang diciptakan dalam keserupaan dengan Allah (Kej 1,27). Tuhan, semoga kami tetap sadar dan mengimani Dikau yang menciptakan setiap orang seturut gambaran dan citraMu sendiri. Dan semoga kami mencintaiMu di dalam mereka. Amin.

Copyright © 26 Oktober 2008, by Anselm Meo, SVD

Kamis, Oktober 23, 2008

01. Tanda yang Paling Besar – ‘InjilNya’

Jumat, 24 Oktober 2008
Bacaan : Lukas 12, 54-59
“Mengapakah kamu tak bisa menilai zaman ini?” itulah pertanyaan Yesus kepada para pendengarNya, yang kita dengar dalam Injil hari ini.
Benarkah para pendengar Yesus tak sanggup membaca tanda zaman? Ataukah karena mereka sering memintaNya tentang suatu tanda agar mereka bisa percaya kepadaNya?
Kehidupan keagamaan kita memang tak bisa dipisahkan dari kehadiran tanda-tanda dan simbol-simbol. Mengapa? Karena agama dan kehidupan rohani berkaitan dengan realitas yang tak kelihatan, tetapi suatu realitas yang berkaitan erat dengan bagaimana manusia menjalani hidupnya.
Soal memberi tanda, Yesus ketika sedang mewartakan Kerajaan Allah yang sedang datang ke dalam dunia, sebenarnya ingin agar para muridNya dan orang banyak mengerti bahwa Kerajaan itu sedang beraksi dalam diriNya, dalam perkataan dan tindakanNya. Tapi ternyata tak satupun yang memahaminya.
Kerinduan Yesus itu masih tetap ada hingga kini. Ia ingin agar kita yang mengimaniNya tahu bahwa Allah dan KerajaanNya tengah ada sekarang ini. Dan salah satu tanda terbesar yang Ia tinggalkan buat kita adalah SabdaNya sendiri.
Sabda Tuhan, itulah pernyataan diri dan kehendak Tuhan yang menghendaki kita bahagia. Sabda Tuhan, itulah undangan Tuhan kepada kita untuk senantiasa kembali dan bertobat. Ia memurnikan, menerangi siapa saja yang berpaling kepadanya. Sabda Tuhan adalah sabda kehidupan.
Kalau demikian, bagaimana kita menanggapinya? Kita sedang mendoakan Sinode para Uskup yang mengambil tema tentang Sabda Tuhan di hari-hari ini. Semoga Roh Tuhan menyanggupkan kita untuk menyediakan diri kita bagi penerimaan akan sabdaNya dan pewartaan dan penyebar-luasan kerajaanNya.
Tuhan, kami sering takut dicap sebagai orang yang ketinggalan zaman. Lihat saja, kami mudah menyesuaikan cara berpakaian kami dengan mode yang kami saksikan lewat layer televisi.
Atau mengeluhkan teknologi yang kelihatannya cepat berubah yang meminta kami turut berubah di dalamnya. Tetapi Tuhan, terhadap SabdaMu, yang sebenarnya selalu berbicara secara baru dalam hidup kami, betapa sering kami tak peduli kepadanya.
Tuhan, bersabdalah sekali lagi. HambaMu mendengarkan. Amin

Copyright © 24 Oktober 2008, by Anselm Meo, SVD