Sabtu, April 04, 2009

164. Jalan Sang Raja

Minggu, 05 Maret 2009
Minggu Palma

Bacaan : Yes 50: 4-7; Fil 2: 6-11; Mrk 14: 1 – 15: 47
Minggu Palma adalah sebuah perayaan yang penuh kontradiksi! Berawal dengan suasana pawai yang gegap gempita dari peziarah yang datang ke Yerusalem untuk merayakan Pesta Paskah umat Yahudi. Sebuah perayaan untuk mengenangkan kembali peristiwa Allah membebaskan umat-Nya dari perbudakan di tanah Mesir. Sebuah perayaan yang syarat makna karena Allah memperbaharui janji-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya dari kejahatah dan sekaligus umat memperbaharui komitmen mereka untuk setia kepada Allah.
Suasana yang ramai itu tidak hanya berasal dari irama ribuan kaki yang menjejakkan langkah pada jalan menuju kota Yerusalem. Kemegahan prosesi itu bertambah semarak juga karena sorak-sorai massa yang memaklumkan bahwa Yesus adalah putra Daud yang datang atas nama Tuhan. Ia adalah Mesias terjanji yang dengan jaya memasuki kota Allah untuk menyatakan kerajaan-Nya. Karenanya mereka lalu tak peduli kalau harus membentangkan pakaiannya di jalan di mana akan dilalui oleh Yesus, Mesias terjanji itu.

Tetapi gemuruh sorak sorai dan puji-pujian itu berubah drastis. Inilah hal-hal yang kontras sebagaimana terlihat dalam kisah sengsara Kristus menurut Santu Markus. Santu Markus melukiskan kisah Sengsara Yesus dengan warna yang sangat suram. Tak seorang pun dari massa itu hadir di bawah kaki salib. Ia tidak mengungkapkan doa Yesus demi pengampunan dosa bagi para penganiaya, atau menjanjikan kebahagiaan Firdaus kepada penjahat yang bertobat. Yesus tidak mempercayakan murid yang dikasihi kepada ibu-Nya. Dan sebelum wafat Yesus juga tidak memaklumkan bahwa Ia telah menyelesaikan misi-Nya, pun tidak menyerahkan hidup dan kematian-Nya ke dalam tangan Bapa.

Dalam kenyataan hanya seruan ini yang terungkap dari atas salib: “Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?” Suatu seruan yang sama sekali tidak dimengerti oleh para penonton yang menyaksikan peristiwa penyaliban itu. Akhirnya, Yesus masuk ke dalam kegelapan kematian tanpa mengucapkan lagi sepata kata pun. Sungguh Markus menghadirkan Kristus yang tersalib dengan perasaan ditinggalkan oleh Allah dan manusia, sungguh-sungguh tidak dipahami.

Belum lagi kontradiksi yang satu ini. Orang-orang yang menobatkan Yesus sebagai Raja dan mengelu-elukan sang Raja ketika memasuki kota Yerusalem, kini mereka juga yang mengejek dan mencelah manakalah Yesus bergantung pada Salib. Pilatus menghukum Dia sebagai Yesus dari Nazareth, Raja orang Yahudi. Sementara para serdadu Roma mengolok-olok Dia sebagai Raja yang dimahkotai duri. Apa yang ironi dari kisah sengsara menurut penginjil Markus adalah setiap orang benar dalam memaklumkan bahwa Yesus adalah Raja, tetapi tak seorang pun yang memahami makna dari kata-kata tersebut.

Bangsa Yahudi mengharapkan seorang pemimpin yang akan membebaskan mereka dari pendudukan Roma, tetapi Yesus justru datang untuk membebaskan kita dari sebuah tirani yang teramat besar, yakni dosa dan kematian. Walaupun kelihatan Yesus dikalahkan oleh kegagalan, tak berdaya dipaku pada salib. Tetapi di sana, pada salib itulah, bukan di sebuah istana, juga bukan di sebuah kenisah,Yesus ditakhtakan sebagai Raja. Sebab dengan kematian pada Salib Yesus menaklukkan segala kekuatan jahat yang menimpah diri-Nya dan pengikut-pengikut-Nya, orang-orang Kristen.

Mengapa Santu Markus melukiskan kisah sengsara Yesus atas cara sangat memprihatinkan? Bagi Markus, Kristus yang tersalib adalah Dia yang telah secara total mengidentifikasikan diri-Nya dengan penderitaan kita. Dan hal itu dimaksudkan agar kita tidak segan-segan untuk mengidentifikasikan diri kita dengan-Nya. Dia, yang telah mengalami kesendirian pada salib, adalah Dia yang selalu menyertai kita, membesarkan hati kita dalam menghadapi penderitaan. Kita dapat mengambil bagian dalam kemenangan-Nya mengatasi kejahatan, jika kita mengangkat salib hidup kita, memanggulnya dan mengikuti Yesus. Kita dapat mengambil bagian dalam kejayaan salib.
Lewat menghadirkan kengerian penderitaan Kristus, Markus menunjukkan bahwa kepekatan kegelapan dari penyaliban sesungguhnya menyingkapkan kemuliaan kemenangan. Bagi Markus makna yang benar dari Kabar Gembira tentang Yesus Kristus , Putra Allah, hanya ditampakkan pada salib. Meskipun semua orang lain tidak memahami Yesus, hanya kepala pasukan yang secara sekilas menyadari jati diri Yesus yang benar. Ia mengakui bahwa sungguh, Kristus adalah Putra Allah.

Pengakuan iman kepala pasukan itu ditempatkan sebagai puncak dari Kisah Sengsara menurut Santu Markus. Ini dilakukannya demi menunjukkan kepada kita bahwa Yesus Kristus, Putra Allah, adalah Hamba Tuhan yang menderita, yang mati pada kayu Salib untuk menyelamatkan kita dari kekuatan jahat. Itulah esensi/intisari/pokok dari Kabar Gembira, dan itulah pula menyingkapkan arti yang benar tentang Yesus sebagai Kristus.

Pada hari ini kita masuk ke dalam gerbang Minggu Suci. Serentak dengan itu, kita sekaligus dipanggil untuk berjalan bersama Yesus. Bersama para peziarah yang melambaikan daun-daun palma, marilah dengan penuh suka cita kita menyambut Yesus sebagai Mesias terjanji. Tapi ingat, kemegahan Kristus sungguh berbeda secara total dengan kemegahan dari bangsa manusia ini. Jalan Salib adalah jalan menuju kemegahan itu. Jika kita ingin masuk ke dalam Kerajaan Kristus dan mengambil bagian dalam kemenangan-Nya, hanya ada satu-satunya jalan, yakni mengikuti Kristus pada jalan Salib, Amin.

Copyright © 25 Maret 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD

Jumat, April 03, 2009

163. Mencari "kambing hitam" dalam percaturan pengaruh

Sabtu, 04 April 2009
Masa Puasa

Bacaan: Yohanes 11, 45 - 56

Dalam kisah ini Yohanes melukiskan ketegangan yang semakin tinggi antara orang Yahudi dan Yesus dari Nasareth. Yohanes melukiskan ketegangan sekian rupa sehingga nampak bahwa yang terjadi adalah persaingan jumlah pengikut. Para pemimpin agama Yahudi melihat bahaya kehilangan pengikut di antara orang Yahudi. Sudah banyak orang yang berbalik dan menjadi percaya kepada Yesus. Bila ini berlangsung terus maka akan terjadi kekerasan fisik antara para pengikut agama Yahudi dan para pengikut Yesus. Dengan demikian orang Roma akan datang menyerang orang Yahudi yang sedang saling berkelahi itu sehingga musnahlah orang Yahudi seluruhnya. Untuk mencegah hal itu terjadi, pemimpin muda yang sedang naik daun ini, Yesus dari Nasareth dibunuh saja.

Itulah jalan pikiran yang disampaikan oleh Kaifas, Imam Agung yang sedang berkuasa pada masa Yesus. Jelaslah bahwa di mata pemimpin agama Yahudi masa itu, Yesus menjadi batu sandungan bagi ketenangan mereka selama ini. Yesus dijadikan kambing hitam atas berkurangnya para pengikut pemimpin agama Yahudi. Dari jalan pikiran agama mereka Yesus dari Nasareth itu memang pemuda luar biasa. Tapi mereka tidak sampai pada kesimpulan bahwa Yesus memang Anak Allah karena melakukan berbagai tanda bahwa Mesias telah datang.

Ketika bangsa Indonesia sedang hangat-hangatnya memasuki hari-hari penting untuk menentukan pilihan Wakil Rakyat dan Pemimpin Negara, kisah Yesus ini memberikan banyak inspirasi. Persaingan pengaruh atau pengikut amat nampak pada saat kampanye. Setiap orang akan berusaha menyingkirkan pesaingnya dengan berbagai cara.

Kisah Yesus menjadi nyata dan berbicara banyak pada saat ini. Kita bisa melihat bahwa kisah Yesus adalah kisah kita. Satu hal pasti bahwa demi memiliki dan mempertahankan pengaruh atas banyak orang, orang bisa mengorbankan apa saja, bahkan menghilangkan sesama manusia, orang-orang sebangsa.

Tuhan Yesus, kisah hidupMu adalah kisah kami. Semoga aku menjadi sadar bahwa apa yang aku sering menjadi pelaku dalam kisahMu itu yang terjadi pada masa ini dalam bentuk yang lain. Amin.

Copyright © 03 April 2009 by Paulus Tolo, SVD

Kamis, April 02, 2009

162. Melakukan Pekerjaan dengan Sebaik-baiknya

Jumat, 03 Apri 2009
Masa Puasa

Bacaan : Yoh. 10:31-42

Rupanya masih tetap relevan untuk memberikan klaim bahwa keluarga yang baik pasti menghasilkan juga keturunan yang baik pula. Seperti pepatah ini, "pohon yang baik memang dikenal dari buahnya". Dan membaca Injil hari ini kita bisa membenarkan bahwa anggapan atau pandangan seperti itu juga hidup pada masa Yesus. Itulah sebabnya ketika orang Yahudi mau melempari Dia, Yesus menyampaikan kata-kata berikut, "Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?" ... dan lanjutnya pula, "Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa."

Mengapa banyak orang Yahudi tak percaya dan tergerak untuk melempari Yesus dengan batu? Di pihak lain, mengapa begitu banyak orang biasa yang tergerak hatinya dan semakin percaya kepada Yesus? Dua kelompok orang yang mendekati Yesus dengan motif yang sungguh berbeda. Namun kduanya melihat apa yang tengah terjadi, bahwa Yesus sedang melakukan pekerjaanNya dengan cara yang sempurna. Kendatipun pekerjaanNya menjadi bahan pertentangan, Yesus setia pada komitmenNya untuk melakukan pekerjaanNya dengan optimal, sehingga menghasilkan buah yang maksimal pula. Dan Injil mencatat pula bahwa pekerjaan itu tak lain adalah pekerjaan Bapa, yang dikehendaki Allah untuk dibuat Yesus dalam perutusanNya.

Merenungkan perikop ini, kita sebenarnya diajak untuk melihat kembali komitmen kita terhadap pekerjaan dan perutusan kita dalam bidang apa saja. Yesus memang dibenci sebagian orang Yahudi karena Ia setia melakukan kehendak BapaNya untuk mencari yang hilang dari antara Israel, menyembuhkan yang sakit, mengembalikan orang yang dibuang kembali ke tengah komunitas mereka. Ia melakukannya dengan sepenuh hatinya walaupun dibenci danbahkan diancam untk dibunuh. Kita diminta meneladani Dia untuk tak pernah putus asa dan menyerah dalam melakukan pekerjaan kita hingga akhir.

Kiranya masa khusus ini membantu kita kembali berkomitmen untuk melaksanakan tugastugas kita dengan spenuhnya. Untuk itu, marilah kita berdoa bersama pemazmur, "Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku! karena Engkau ya TUHAN, adalah bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku. Engkaulah Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku! Terpujilah TUHAN, seruku; maka aku pun selamat dari pada musuhku." Amin.

Copyright © 02 April 2009 by Ansel Meo, SVD

Rabu, April 01, 2009

161. Tampilkan Diri yang Sebenarnya

Kamis, 02 April 2009
Masa Puasa

Bacaan : Yoh 8:51-59

Bermula dari pernyataan ini, "Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya." Pernyataan yang membuat banyak orang Yahudi tak enak mendengarnya, karena terkesan Yesus tengah meremehkan peran Abraham, Bapa Bangsa mereka semua. Namun Yesus meneruskan pernyataanNya, "Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikit pun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami, padahal kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia. Dan jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia, maka Aku adalah pendusta, sama seperti kamu, tetapi Aku mengenal Dia dan Aku menuruti firman-Nya. Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari-Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita. "

Menyimak pernyataan Yesus dan ketidak nyamanan orang sebangsanya terhadap pernyataan diriNya, kita sebenarnya bisa bermenung sebentar tentang arti pengenaan nama dan sebutan atau gelaran yang kita sering pakai. Yesus justru tengah menampilkan jati diriNya yang sejati, namun menimbulkan ketegangan di antara para pendengarNya. Pertanyaan di sini ialah mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa orang Yahudi merasa terganggu dengan pernyataan diri Yesus dan pernyataan misiNya?

Untuk menjawabnya, kita coba tengah apa yang sering terjadi di sekitar kita. Kenyataan yang kita alami bahkan kita hidupi ialah bahwa sering kita suka menampilkan sesuatu yang bukan menjadi karakter kepribadian kita. Mungkin untuk menarik orang lain, membuat orang dekat dengan kita. Ketika orang berpacaran dan di masa tunangan bagi pmuda-pemudi misalnya, ataupun ketika di masa pembentukan bagi kalangan biarawan/wati ataupun rohaniwan. Di masa ini orang suka tunjukkan bahwa ia baik, pantas dipercayai, tetapi kadang pula tak sedikit dari mereka sebenarnya tengah bersandiwara. Yang akan muncul sesungguhnya adalah ketika orang hidup bersama atau menjalankan panggilannya setelah masa pendidikannya. Di sinilah ada tantangan untuk mencintai dan menghayati panggilan itu.

Nah berhadapan dengan tantangan seperti inilah Yesus menampilkan pernyataan tadi. "Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya”. Sebaliknya jika kita tidak mampu mengatasi tantangan dan hambatan yang muncul pada tahun-tahun pertama hidup terpanggil, kiranya dengan mudah kita akan saling mengusir, bercerai, mengingkari panggilan, dst.. serta ada kemungknan bertindak seperti orang-orang Yahudi terhadap Yesus “mengambil batu untuk melempari Dia”.

Masa Puasa ini adalah kesempatan untuk mawas diri: selama mengarungi jalan hidup terpanggil ini apakah saya semakin percaya kepada Tuhan dan sesama manusia alias semakin banyak sahabat atau semakin kurang percaya kepada Tuhan dan sesama, sehingga semakin memiliki musuh?

Tuhan Yesus, semoga dalam hidupku, saya juga setia menampilkan diriku sebagaimana yang kuterima dari rahmat panggilan ini. Amin.

Copyright © 01 April 2009 by Ansel Meo, SVD

160. Kemerdekaan Sejati Ada Dalam Allah

Rabu, 01 April 2009
Masa Puasa
Bacaan : Yoh 8, 31-42

Dari bacaan Injil hari ini, kita mesti bertanya, mengapa orang Yahudi begitu membenci Yesus? Apakah yang telah dibuat Yesus? Atau apakah Yesus memang berbuat jahat terhadap mereka? Kebencian mereka kepada Yesus bukanlah karena Ia melakukan sesuatu yang buruk terhadap mereka, tetapi karena Ia memberikan kesaksian dalam kata dan dalam perbuatanNya tentang kebenaran, yang untuk mereka sungguh-sungguh tak bisa mereka terima. Pewartaan dan ajaran Yesus menelanjangi praktek-praktek keagamaan mereka, yang kelihatannya bagus tetapi di dasarnya menyembunyikan segala praktek ketidakadilan kepada yang lemah, miskin dan orang asing.

Itulah yang dikedepankan Yesus dalam Injil hari ini, sebagaimana Yohanes melukiskannya, "Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." Jawab mereka: "Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapapun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?" Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka."

Perdebatan tentang kebebasan oleh karena orang Yahudi adalah keturunan Abraham dijawab Yesus dengan cara menunjukkan bahwa apa yang dibuat Abraham yakni percaya dan hidup dalam kebenaran yang diterimanya dari Allah sama sekali tidak dijalankan oleh orang Yahudi masa itu. Kemerdekaan sejati yang Yesus tunjukkan adalah terletak dalam kesetiaan kepada apa yang dilakukan Abraham. Bahwa Abraham percaya kepada Allah dan Abraham menghidupkan praktek keadilan kepada siapapun yang hidup bersama dia. Nah, jika orang Yahudi mengklaim bahwa mereka sungguh anak Abraham dan karenanya bebas, seharusnya tampak dalam kenyataan hidup mereka. Justru inilah yang gagal mereka tunjukkan kepada dunia di sekitar mereka dan kepada Yesus.

Sebuah pelajaran untuk kita masa ini. Kepercayaan dan kesetiaan kita kepada Allah yang menghendaki kebaikan bagi kita seharusnya terus kita tunjukkan juga pada saat kesulitan dalam hidup dan dalam iman. Kalau kita setia kepada Allah dan wartaNya hampir pasti kita akan dibebaskan pada saat mengalami kelusitan da tantangan. Persis inilah yang ditunjukan oleh orang Kristiani pada awal masa kekristenan, yang tahan terhadap penindasan, penganiayaan. Mengapa? Karena mereka menemukan bahwa kebenaran dan kemerdekaan sejati memang hanya ada dalam Allah yang mengasihi mereka.

Lebih dari itu, cara terbaik untuk menghidupkan kebenaran sejati itu ialah dengan mengasihi seperti Kristus dan Bapa mengasihi kita. Karena demikian kataNya hari ini, "Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku.

Tuhan Yesus, ajarilah kami semua para pngikutMu untuk mengashi lebih sungguh siapapun yang kami jumpai dan hidup bersama kami. Hanya dengan cara demikianlah kami membuktikan bahwa kami memiliki Bapa sebagai Allah kami yang sama dan Engkau adalah Tuhan kami. Amin.

Copyright © 30 Maret 2009 by Ansel Meo, SVD

159. Allahlah yang Memuliakan Yesus PuteraNya

Selasa, 31 Maret 2009
Masa Puasa
Bacaan : Yoh 8, 21 - 30

Memang tidak gampang menunjukkan bahwa sengsara Yesus adalah jalan menuju kemuliaanNya. Tetapi dari penggalan Injil Yohanes yang kita renungkan hari ini hubungan itu rasanya tak sulit ditemukan. "Maka kata Yesus: "Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia, dan bahwa Aku tidak berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepada-Ku. Dan Ia, yang telah mengutus Aku, Ia menyertai Aku. Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya." Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya.