Jumat, Maret 06, 2009

137. Cintailah Musuhmu

Senin, 09 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan : Lk. 6: 36 -38

Perikop Injil pada hari ini mengandung ajakan yang serius kepada kita untuk tetap teguh mengasihi sekalipun orang-orang di sekitar kita tetap membara membenci kita. Setelah berbicara tentang penganiayaan, kekerasan yang akan selalu dihadapi para murid, sebagaimana telah dialami pula oleh para Nabi terdahulu, kini Yesus beralih berbicara tentang bagaimana sikap para murid dalam menghadapi kenyataan permusuhan. Dan apa yang diungkapkan Yesus, bukan merupakan sebuah kode umum tingkah manusia pada umumnya, tetapi hal-hal itu merupakan suatu standar sikap dan pola tingkah laku yang mesti diindahkan oleh para pengikut-Nya.

“Tetapi, kepada kamu yang mendengarkan, Aku berkata: kasihilah musuh-musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiap menampar pipimu yang satu, berikanlah kepadanya pipimu yang lain; dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkanlah juga ia mengambil pakaianmu.” (Lk. 6:27-30).

Kita bertanya: Apa yang dimaksudkan Yesus dengan ‘mencintai musuh’? Apakah Ia maksudkan kita seharusnya mempunyai musuh dan selanjutnya dalam cara yang misterius atau secara sembunyi-sembunyi mencintai mereka? Memperhatikan pada apa yang tengah Yesus bicarakan tentang para murid dan para penganiaya mereka, kita dapat memahami bahwa “musuh” yang Yesus maksudkan di sini adalah orang-orang membenci para murid dan bukan sebaliknya. Para murid seharusnya tidak menaruh benci kepada siapa pun. Bukankah kita tidak dapat mengontrol tentang bagaimana orang-orang lain memperlakukan kita, tetapi kita hanya dapat mengontrol bagaimana kita seharusnya memperlakukan sesama.

Para murid hidup di dalam sebuah masyarakat yang de facto membenci mereka dan memperlakukan mereka dengan sikap permusuhan. Apa yang Yesus minta dari mereka sebagaimana kita baca dalam perikop Injil hari ini yakni hendaklah mereka tidak menerapkan prinsip mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Hendaklah mereka tidak membalas orang yang membenci mereka dengan kebencian dan mengutuk orang-orang yang telah mengutuk mereka. Inilah sikap yang hampir tidak dapat dipahami oleh Gereja (orang-orang Kristen) sepanjang rentang 2000-an tahun lebih keberadaannya. Dalam hubungan ini, barangkali kita perlu bercermin pada kehidupan orang-orang saleh, seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr, guna membangun kembali kesadaran kita akan betapa amat penting sikap tanpa kekerasan sebagai norma utama dalam merespon aneka bentuk kejahatan, seperti penganiayaan, penindasan, penyimpangan dan ketidakadilan. Memang, Yesus tetaplah Guru Agung yang tak tertandingi sekaligus sebagai model utama bagi kita dalam mengimplementasikan sikap tanpa kekerasan sebagai ganjaran yang patut diterima oleh orang-orang yang berlaku tidak adil terhadap kita. Meskipun tak setitik pun kesalahan-Nya, Yesus digiring ke pengadilan dan di sana Ia dijatuhi hukuman mati. Dan ketika menerima eksekusi public pada salib, Yesus tetap sanggup mengatakan: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang merekaperbuat” (Lk. 23:34).

Kita pun akan lebih mudah mengampuni dan menawarkan sikap tanpa kekerasan kepada para musuh kita, orang-orang yang membenci kita dan bukan orang-orang yang kita benci, dengan mengingatkan pada diri kita sendiri bahwa mereka telah bertindak dalam ketidaktahuan, dan bahwa pada suatu saat nanti kebenaran yang mengadili mereka. Sikap tanpa kekerasan itu, tidak terbatas pada lingkup gerakan-gerakan sosial. Tetapi sikap itu pun dituntut untuk diterapkan dalam lingkup kehidupan keluarga sebagai Gereja Mini dan di dalam relasi antar pribadi, di mana kita dapat menjadi korban kekerasan kata-kata dan fisik. Ingat bahwa prinsip mata ganti mata, hanya akan membuahkan semua orang buta. Jika dalam kehidupan kita ada kalajengking kebencian terus menyengat, hendaklah kita tetap setia pada komitmen untuk mencintai dan mencintai. Amin.

Copyright © 06 Maret 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD

136. Bukan Untuk Mempesona Dan Bermegah Tetapi Untuk Mati

Minggu, 08 Maret 2009
Minggu II Masa Puasa

Bacaan : Kej. 9:8-15; 1Ptr. 3:18-22; Mrk 1:12-15

Kesiap-sediaan kita untuk berkorban bagi mereka yang kita cintai merupakan suatu indikasi yang baik tentang luas dan dalamnya cinta yang sejati. Pengorbanan dapat mewujud dalam berbagai bentuk, antara lain: dalam wujud perhatian yang serius kepada seseorang, atau pun menyediakan waktu kita untuk sesama, dan lain-lain. Di dalam Perjanjian Lama, bisa kita temukan beberapa kisah yang mengungkapkan tentang korban yang dituntut oleh Allah dari pihak manusia, sekaligus Allah menunjukkan aspek penyimpangan dalam hal korban. Korban persembahan yang benar adalah suatu perubahan hati yang nyata, riil.

Abraham adalah pribadi yang memiliki karakter yang mempesonakan. Kita tentu berpikir tentang kualitas pribadinya yang membuat dirinya patut dikasihi, tetapi sesungguhnya yang membuat Abraham bertahan di dalam segala situasi hidupdi justru karena kedalaman kesalehannya dan kesunguhannya mengabdi kepada Allah. Tidak hanya ia ingin mempersembahkan putra semata wayangnya, tetapi juga memiliki kepercayaan kokoh bahwa Allah akan menyediakan baginya anak domba untuk korban bakaran. Ia tidak pernah ragu dalam beriman.

Allah selalu menganugerahkan kepada kita lebih banyak daripada apa yang kita minta. Dalam Masa Puasa ini, kita diminta untuk bertumbuh dalam persahabatan dengan Allah lewat mempersembahkan hal-hal baik yang telah Allah berikan kepada kita. Cerita tentang Abraham sebetulnya menghimbau kita untuk tidak tanggung-tanggung berlaku dermawan kepada Allah, sekaligus mempercayakan segenap hidup dan keberadaan kita seutuhnya kepada-Nya.

Tidak setiap kita diciptakan dengan semangat dan keberanian yang sama seperti Abraham. Kadang-kadang kita menghadapi suatu tantangan yang rumit dan kita butuh rahmat khusus untuk memikulnya. Barangkali inilah salah satu alasan mengapa ketiga rasul yang dihadapan mereka Yesus menyampaikan tentang penderitaan yang akan ditanggung-Nya, diperkenankan untuk menyaksikan penampakkan kemuliaan Yesus. Kodrat Keilahiaan-Nya menutupi tubuh kemanusiaan dengan gemerlap cahaya. Yesus memperlihatkan kodrat keilahian-Nya sehingga murid-murid sadar dan percaya bahwa Ia disalibkan bukan karena ketakberdayaan-Nya melainkan karena Ia memilih jalan penderitaan itu demi keselamatan kita.

Di zaman Santu Markus penginjil, banyak orang percaya akan kebangkitan dari kematian, dan mereka memahaminya dalam istilah-istilah yang komunal, seperti restorasi atas bangsa Israel atau kebangkitan dari para pengikut Kristus. Pertemuan Yesus dengan Elia dan Musa di atas puncak gunung merupakan suatu tanda bahwa surga akan menjadi nyata bagi manusia, suatu reuni yang agung, tidak hanya dengan orang-orang yang sudah kita kenal dan cintai tetapi dengan semua orang yang baik di dalam sejarah umat manusia. Dengan kata lain, surga akan menjadi suatu tempat di mana tak akan ada lagi rintangan untuk persaudaraan dan persahabatan di antara manusia. Dengan demikian, dalam Injil hari ini, kita tidak saja mendengar kisah tentang penampakkan kemuliaan Yesus, tetapi hal itu sekaligus merupakan suatu signal, isyarat tentang kemuliaan yang akan kita alami nanti.

Untuk sesaat Petrus memahami peristiwa penampakkan kemuliaan Kristus sebagai isyarat mengenai berdirinya suatu kerajaan baru tanpa melewati upaya-upaya yang keras dan konkrit. Ia tidak menghendaki penglihatan yang menakjubkan itu berlalu. Tetapi, sesungguhnya ketiga murid yang diajak menemani Kristus ke gunung itu bukan untuk melarikan diri dari dunia nyata. Suara Allah yang terdengar, mengandung perintah agar mereka mendengarkan Yesus, dan serta merta mereka cuma menemukan diri mereka sendiri bersama dengan Yesus. Sekarang adalah saatnya bagi mereka untuk turun dari gunung dan menapakkan lagi kaki di jalan itu. Sebuah jalan yang teramat sulit untuk dilalui, dan sebuah penampakan yang mendalam terbentang ke depan, penampakan Cinta Ilahi yang tersalibkan.

Sepanjang rentang Masa Puasa ini, kita diajak untuk merangkul, memeluk erat salib sehingga kita nantinya dimuliakan seperti tubuh kemanusiaan Kristus yang sudah sekilas tampak mulia di atas puncak gunung itu. Kita tidak diminta untuk bermegah tetapi untuk mati. Mati terhadap diri sendiri sehingga cinta-Nya boleh menaungi dan merasuki kita secara lebih sempurna. Pengorbanan yang benar harus lahir dari sesal dan tobat hati yang mendalam. Itu berarti, sungguh-sungguh menyediakan waktu dan memberi tempat bagi Allah dalam seluruh hidup dan karya kita dan menaruh perhatian penuh serta setia berusaha melaksanakan kehendak Allah dalam hidup ini. Dan itulah satu-satunya jalan menuju Kerajaan Allah. Jalan yang telah dilewati Abraham dan yang diminta untuk kita lalui pada masa puasa ini. Amin.

Copyright © 05 Maret 2009 by P. Paskalis B. Keytimu, SVD

135. Mencintai Musuh sebagai Upaya Mendekati Kesempurnaan Allah

Sabtu, 07 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan : Mt 5, 43-48

Merenungkan Injil hari ini, kita dihantar untuk melewati kebiasaan dan kemampuan manusiawi kita. Betapa tidak. Bukan soal mudah untuk mencintai orang yang paling tidak kita sukai, apalagi mencintai seseorang yang dianggap sebagai musuh, sebagai lawan. Saya katakan permintaan Yesus itu melewati batas kemanusiaan kita karena biasanya musuh itu diperhitungkan untuk dibenci, bukan sebaliknya untuk dicintai.

Yesus justru meminta hal ini, ketika Injil hari ini melukiskan, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. .... Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."

Tetapi apakah sungguh permintaan Yesus itu sungguh dikategorikan sebagai melewati batas kemampuan kita sebagai manusia. Saya kira tidak. Justru permintaan itu menggaris bawahi kenyataan bahwa sebagai manusia kita membutuhkan cinta dan mencintai baik itu kepada seorang yang ada di pihak kita maupun yang menjadi lawan kita. Jadi permintaan Yesus sesungguhnya adalah afirmasi agar kita sungguh hidup sebagai manusia, karena bersama Dia dan dalam Dia, kita semua telah diangkat menjadi anak Allah. Dan karena Allah adalah Bapa yang sempurna, maka mencintai semua baik kawan maupun musuh menjadi upaya paling riil untuk hidup sebagai anakNya.

Penekanan seperti ini memang melampaui ide persekutuan perjanjian Lama. Karena persekutuan di dalam perjanjian lama menunjukkan adanya pemisahan kelompok orang yang menjadi sekutu dan kelompok lainnya sebagai lawan. Kedatangan dan pewartaan Yesus sebaliknya telah menghapuskan pembatasan itu, karena ajarannya tentang Kerajaan Allah menunjukkan bahwa kita semua tanpa kecuali mengambil bahagian dalam hidup sebagai anak Allah. Maka tugas mencintai baik kawan maupun musuh adalah suatu tugas yang melekat erat pada hakikat kita sebagai Anak dari Allah Bapa yang sama.

Kiranya pewartaan Injil ini mempererat kesatuan kita dengan semua yang mengakui Allah sebagai Bapa yang satu dan sama, dan mendorong kita untuk mencintai dan mendoakan semua orang, terutama mereka yang kita anggap sebagai musuh dalam hidup kita.

Tuhan Yesus, semoga kami dengan bantuan rahmatMu selalu mendoakan dan mengusahakan cinta yang tulus kepada siapapun, terutama kepada mereka yang kami pandang sebagai musuh kami. Amin.

Copyright © 06 Maret 2009 by Ansel Meo SVD

Kamis, Maret 05, 2009

134. Berubah itu Mungkin Dengan Bantuan Rahmat Allah

Jumat, 06 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan : Mt. 5, 20-26

Bacaan Injil hari ini memang bicara tentang sebuah tema besar yakni pertobatan, perubahan dan pembaharuan. Dan sebuah penegasan diberikan juga kepada para pendengar, kita semua bahwa berubah atau bertobat itu mungkin dengan bantuan rahmat Allah. Bertobat itu selalu bisa dilakonkan, jauh mlebihi ketegaran hati manusia.

Penegasan ini dibahasakan secara cukup jelas oleh Mateus yang menyampaikan perkataan Yesus. "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara."

Yesus memang menempatkan tema pertobatan ini dalam relasi persaudaraan di antara para pengikutNya. Bahwa praktek keagamaan sejati mesti selalu bergema dalam perbaikan hubungan dengan saudara, yang pada gilirannya juga memperbaiki hubungan dengan Allah. Dalam ungkapan Yesus, saudara itu bisa selalu menjadi lawan ketika kita tak sejalan dengannya, tak sepaham dengannya. Ia bisa menjadi lawan yang mengusik kenyamanan semu dalam diri kita. Karena itu penting selalu untuk menempatkan hubungan persaudaraan dengan sesama sebagai bingkai hubungan yang benar dengan Allah. Itulah sebabnya, Yesus menegaskan bahwa mempersembahkan korban kepada Allah tak akan menghasilkan buah kalau tak ada damai dengan saudara. Jadi perlu bertobat, perlu banting haluan, perlu berubah.

Dan Allah dalam Yesus menunjukkan bahwa berubah dan bertobat itu bisa dibuat. Dan Ia sendiri yang mendorong orang dan mengundang kita untuk melakukannya, walaupun benar juga bahwa untuk melakukkannnya diperlukan korban. Nah ... berhadapan dengan kesulitan dan korban serta tantangan inilah par murid Yesus boleh yakin bahwa rahmat Allah akan menjadi jaminannya. Karena itulah Yesus menegaskan bahwa pendosa betapapun berat dosanya tak akan binasa, tetapi akan hidup selamanya kalau ia bertobat. Ia mengatakan dalam Injil hari ini, "Pergilah berdamai dengan saudaramu".

Kenapa Yesus begitu meminta kita untuk berubah dan bertobat? Jawabannya hanya mungkin kalau kita sadar bahwa bagi Yesus manusia itu sendiri adalah rumah cinta Allah. Maka bertobat adalah sebuah usaha untuk melangkah lagi ke dalam cinta dan ke dalam hidup yang dijanjikan Allah.

Karenanya kita seyogyanya senantiasa meminta rahmat Allah untuk memberikan kepada kita kemampuan untuk meminta maaf, untuk mengusahakan damai, untuk mendekati saudara yang bersalah kepada kita.

Tuhan Yesus Kristus, kami berdoa dan berharap bahwa dengan bantuan rahmatMu yang berlimpah, kami semua boleh berbalik kepada Allah, ketika langkah kami keliru dan salah. Bantu kami dengan harapan itu. Amin.

Copyright © 05 Maret 2009 by Ansel Meo SVD

Rabu, Maret 04, 2009

133. Biarkan Allah Menjawab Doa dengan CaraNya

Kamis, 05 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan : Mt 7 : 7 - 12

Injil hari ini memberikan kepada kita pelajaran sangat penting tentang perlunya mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah Bapa dalam doa. Dan berhubungan dengan itu, ada hal yang dikritik tentang sikap yang sering kita tunjukkan ketika kita berdoa kepada Allah, bahwa kita sering kali mengatur Allah untuk mengabulkan permohonan dan doa kita sesuai keinginan kita. Pada hal sikap tepat yang seharusnya dikembangkan adalah membiarkan Allah menjawab doa-doa kita dengan caraNya, sesuai kehendakNya sendiri.

Yesus dalam Injil berkata, "Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? .... (Bapamu yang di Sorga) akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya."

Indikasi Yesus jelas bahwa kalau kita mencari maka kepada kita akan diberikan tetapi tak dibicarakan bahwa akan diberikan persis seperti yang kita minta. Kalau kita mengetuk pintu, maka pintu pasti dibukakan tetapi tak berarti kita temukan bahwa di belakang pintu itu ada dia yang kita cari dan kitadamba-dambakan. Meminta, mencari dan mengetuk dalam doa kepada Bapa di Surga bukanlah sebuah upaya menekan suatu tombol mesin yang secara otomatis mengeluarkan apa yang kita indikasikan. Nah ... di sinilah kita sebenarnya diajak untuk merenungkan tentang hakekat doa kita.

Doa bukanlah sebuah rumus otomatis untuk yang memberikan kepada kita apa yang kita perlukan. Doa dalam pandangan Yesus adalah sebuah percakapan, sebuah dialog dengan Allah. Doa kepada Allah selalu merupakan sebuah pencaharian akan solusi atas masalah yang kita hadapi, bukannya suatu solusi jadi atas apa yang kita rencanakan. Dalam doa yang benar harus selalu ada ruang dan waktu untuk membiarkan Allah menjawab doa dengan caraNya, dengan pertimbanganNya dan dengan kehendakNya sendiri. Karena itulah sering kita mendengar bahwa doa sejati adalah upaya mencari kehendak Allah.

Injil hari ini sungguh sebuah ajakan untuk kita untuk berdoa dengan cara yang benar. Baiklah kita berdoa kepada Allah seraya membiarkan Allah mengabulkan doa kita atas cara dan kehendakNya sendiri. Hendaknya kita tidak menempatkan solusi yang telah jadi kepada Allah supaya Allah penuhi atas masalah kita. Marilah kita berbicara dengan Allah untuk menyatukan kehendak kita dengan kehendakNya, untuk menyelaraskan cara kita melihat masalah kehidupan dengan cara Allah sendiri.

Tuhan, kiranya kami paham bahwa doa kami adalah kesempatan bagi kami untuk bersatu dengan Dikau dan Bapa dalam Roh. Ajarilah kami selalu untuk meyelaraskan kehendak kami dengan kehendakMu sendiri. Amin.

Copyright © 4 Maret 2009 by Ansel Meo SVD

Selasa, Maret 03, 2009

132. Yesus, tanda hidup yang membawa keselamatan manusia

Rabu, 4 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan: Lukas 11, 29 - 32

Hari ini penginjil Lukas menceritakan bagaimana sikap Yesus terhadap orang banyak yang bertanya-tanya mengenai identitas dirinya. Orang banyak meminta tanda untuk menjelaskan siapakah Yesus sesungguhnya. Namun Yesus menolak keinginan orang banyak yang ingin meminta tanda atau bukti bahwa Yesus sungguh Mesias yang dijanjikan. Dalam peristiwa ini Yesus menunjuk pada diri nabi Yunus atau Yonas. Nabi Yunus datang untuk membawa keselamatan kepada Niniwe. Penduduk Niniwe selamat dari hukuman karena percaya akan pewartaan Yunus. Yesus mengerti tugas perutusannya seperti Yunus sehingga ia menyamakan dirinya dengan Yunus "seperti Yunus menjadi tanda untuk orang-orang Niniwe, demikian pulalah Anak Manusia akan menjadi tanda untuk angkatan ini".
Penyamaan diri Yesus dengan Yunus menunjuk pada tugas perutusannya untuk menyelamatkan manusia. Bertemu dengan Yesus mesti membuahkan pertobatan bagi orang tersebut. Menjadi jelaslah bahwa setiap pertemuan dengan Yesus, mendengar pewartannya mesti membuat seseorang berubah dalam segala hal. Dengan kata lain orang menjadi manusia baru. Tidak bisa orang mengatakan bahwa saya telah bertemu dengan Yesus sementara hidupnya tetap sama seperti ia belum bertemu dengan Yesus.
Selama masa puasa, setiap orang kristiani mesti menyadari hal ini agar dengan demikian ia sungguh mengalami apa artinya puasa, mati raga, doa dan sedekah. Semuanya itu bermuara pada pertobatan, perobahan hidup yang semakin menyerupai Yesus, Al Masih terjanji itu.
Tuhan Yesus, buatlah aku selalu baru setiap kali aku datang bertemu denganmu dalam setiap kesempatan terutama ketika aku bertemu dalam Sabda dan Ekaristi. Amin
Copyright © 3 Maret 2009 by Paulus Tolo SVD

Senin, Maret 02, 2009

131. Kita adalah Saudara yang Berdoa kepada Bapa

Selasa, 03 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan : Mt 6, 7-15

Matius hari ini menampilkan tentang pengajaran Yesus tentang doa kepada para muridNya. Kata Yesus kepada mereka, "Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya. Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, ..."

Ada banyak hal yang bisa direnungkan tentang pengajaran Yesus ini. Mungkin baik kita melihat dua hal ini secara singkat saja, yakni tentang cara serta bagaimana berdoa dan yang kedua soal isi doa. Tentang hal pertama, Yesus mengingatkan para muridNya untuk tidak berpanjang lebar dalam doa, melainkan secara singkat namun penuh dengan ketekunan. Hal ini tidak berarti bahwa kita cukup menyediakan waktu yang singkat untuk berdoa, tetapi singkat dalam menyampaikan doa. Nah penekanan yang menjadi penting di sini adalah ketekunan dalam doa. Dengan kata yang singkat, kita bisa mengulangnya terus menerus, yang pasti membantu kita untuk berkonsentrasi pada apa yang kita doakan. Persis inilah yang kita temukan dalam doa Bapa kami, sebuah doa yang diajarkan Yesus yang memiliki hanya tujuh petisi, yang berisi pujian dan permohonan. Dan berhubungan dengan itu, kita masuk kepada hal kedua dari pengajaran tentang doa yakni tentang isi doa.

Doa Bapa kami yang kita renungkan hari ini mengingatkan kita juga tentang aspek penting doa komunitas dan upaya aplikasinya. Dengan menyebut Allah sebagai Bapa, kita diingatkan Yesus bahwa kita adalah saudara yang bersama Dia mengambil bagian dalam hubungan dengan Allah sebagai Bapa dan anak. Karenanya, doa ini sungguh menegaskan bahwa dengan mendoakannya, kita tak pernah boleh lupa bahwa kita adalah saudara bagi yang lain dan kita dipelihara oleh Allah yang adalah Bapa bagi semua.

Tuhan Yesus, Engkau ajarkan kami doa Bapa kami. Semoga kami selalu mendoakannya dengan kesadaran bahwa kami adalah saudara satu bagi yang lain dan anak Allah yang diperhatikan dan dikasihiNya. Ajarilah kami Tuhan untuk mendoakannya dengan tekun dan hormat. Amin.

Copyright © 03 Maret 2009 by Ansel Meo SVD

Minggu, Maret 01, 2009

130. Aku Berkata Kepadamu

Senin, 02 Maret 2009

Bacaan : Mt 25, 31-46

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”

Masa prapaska merupakan kesempatan yang baik untuk merefleksikan kembali relasi kita dengan Tuhan dan sesama. Kutipan dari Injil Matius 25, 40 di atas memang tampaknya sulit untuk dipanami. Apakah yang dimaksudkan Tuhan dengan: salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini? Menarik bahwa penginjil menggunakan kata “SaudaraKu”. Kata ini setidaknya menunjukkan suatu hubungan yang sangat dekat dan juga sebuah sapaan yang amat mendalam.

Penginjil tidak memakai kata “orang” yang kelihatan sangat anonim dan tak jelas, tetapi dengan kata “saudara.” Ini berarti dihadapan mata Tuhan kita semua bersaudara dan sama. Kita semua adalah gambaran dan rupa Allah sendiri. Tak ada yang lebih tinggi dan lebih berharga. Siapa yang memperlakukan saudaranya secara sama dan sederajat, dia itu adalah orang benar yang pada akhir jaman diperkenankan menikmati kebahagiaan kekal bersama Tuhan. Tentu memperlakukan sesama, terutama mereka yang disebut oleh Injil hari ini: mereka yang lapar, mereka yang haus, mereka yang terasing, mereka yang telanjang, mereka yang sakit dan yang di dalam penjara, muncul dari keyakinan tunggal bahwa mereka semua adalah saudara dan saudariku dan bahwa wajah Tuhan yang dicari justru sangat nampak dalam penderitaan mereka.

Membaca Injil hari ini kita sebagai pengikut Kristus memang sangat ditantang. Sebab kita hidup persis di tengah dunia yang lagi dilanda ketidakadilan. Dibagian tertentu orang boleh hidup berlimpah ruah sementara di bagian bumi yang lain masih banyak yang melarat dan menderita secara kejam. Tuhan memang tidak menuntut kita untuk menjadi penyelamat situasi dunia yang tak adil, tapi baiklah dimasa prapaska ini kita juga bisa melakukan sesuatu untuk saudara dan saudari kita yang paling hina dan menderita ini. Sebab berpuasa memang bukan sebatas membangun relasi saya dengan Tuhan, melainkan juga membangun rasa belaskasihan Allah dalam diriku terhadap sesamaku yang menderita dan berkesusahan.

Kita akan diperkenankan menikmati kebahagiaan abadi, bukan karena sebatas kita sudah begitu baik berelasi dengan Tuhan dalam doa saja, tapi justru karena kita bisa menemukan wajahNYA yang sudah hadir dalam semama yang menderita. Tuhan buatlah kami mampu mengenali wajahMu dalam sesama yang kecil dan hina ini.

Copyright © 01 Maret 2009 by Paskalis Lina SVD