Jumat, Juli 17, 2009

235. Sediakanlah Waktu Untuk Belajar Mengingat

Jumad, 17 Juli 2009
Masa Biasa
Bacaan: Kel 11: 10 - 12: 14; Matius 12: 1-8
Bacaan pertama pada hari ini nampaknya agak familiar dengan kebanyakan dari antara kita. Bacaan ini biasanya dibacakan sebagai bacaan pertama pada setiap hari Kamis Putih, pada perayaan mengenangkan Perjamuan Akhir Yesus bersama para murid-Nya. Ini merupakan kisah tentang perjamuan Paskah, perjamuan pembebasan bangsa Israel sebelum Malaikat Tuhan melewati rumah-rumah mereka; dan sekaligus sebagai perjamuan peringatan akan karya penyelamatan Allah, yang mesti dirayakan oleh generasi penerus bangsa.
Saya tertarik untuk mengajak kita merenungkan lebih lanjut makna perjamuan itu, terutama sebagai suatu peringatan akan karya atau tindakan penyelamatan Allah. Bagiku hal ini penting karena kelihatan begitu mudah bagi kita untuk melupakan Allah dan karya penyelamatan yang dikerjakan Allah atas nama kita. Dewasa ini, seiring dengan kemajuan zaman, banyak orang lebih cenderung menghabiskan waktunya berjam-jam di depan komputer, sibuk dengan email demi email, dan hanya berusaha untuk mengingat segala hal yang harus ia kerjakan. Kesibukan memungkinkan mereka untuk melupakan. Kesibukan memupuk penyakit lupa ingatan.
Tanpa memori tersebut, saya lebih mudah untuk lupa berterima kasih, tak akan pernah tahu untuk bersyukur. “Bagaimana akan kubalas kepada Tuhan segala kebajikan-Nya kepadaku” (Mzr 116: 12). Tanpa mengingat tindakan penyelamatan Allah, saya akan dengan mudah melupakan bahwa saya adalah milik Allah. “Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu dan akan menyerukan nama Tuhan” (Mzm 116:17). Tanpa memelihara dengan setia ingatan akan karya penyelamatan Allah bagiku, saya tak akan sungguh-sungguh memahami apa yang Yesus maksudkan dengan “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan, bukan persembahan” (Mat 12: 7).
Maka, pertanyaannya adalah: “Bagaimana cara kita menempatkan posisi sebagai umat dari komunitas Kristen Katolik yang tidak didera oleh penyakit lupa ingatan? Bagiku, hal pertama yang harus aku lakukan ialah belajar untuk tidak dikuasai oleh “raja super sibuk” agar punya waktu untuk mengingat. Sebaiknya aku mengalokasikan waktuku untuk memperingati, sebagaimana terjadi pada perjamuan Paskah orang Yahudi. Bagaimana dengan anda??
Copyright@ 17 Juli 2009, by : P. Paskalis B. Keytimu, SVD

Mari Pikul Kuk Yesus Dan Belajar Daripada-Nya

Kamis, 16 Juli 2009
Pesta Santa Maria Dari Gunung Karmel
Masa Biasa
Bacaan: Matius 11: 28-30
Injil pada hari ini berbicara tentang kuk, beban. Santu Matius menyampaikan warta gembira kepada kita yang sering berhadapan dengan aneka beban berat kehidupan. Ia menuturkan undangan Yesus untuk lebih memilih memikul kuk yang ditawarkan Yesus dan belajar daripada-Nya. Yesus mengundang kita untuk memikul kuk bersama-Nya, untuk mempersatukan kehidupan kita dengan kehidupan-Nya, kehendak dan hati kita dengan kehendak dan hati Yesus sendiri. Memikul kuk bersama Yesus berarti dipersatukan dengan-Nya dalam suatu relasi cinta, kepercayaan dan ketaatan.
Dalam Injil kita juga mendengar perkataan Yesus sendiri bahwa “beban-Nya ringan.” Ada sebuah kisah tentang seorang bapa yang bertemu dengan seorang anak yang lagi memikul beban sekitar 50 kg pada pundakknya. “Itu terlampau berat bagimu”, kata sang bapa. “Ia tidak berat, ia adalah saudaraku”, kata anak itu. Tiada beban yang terlampau berat apabila itu diberikan dengan cinta dan dipikul dengan cinta. Ketika kita memikul beban kehidupan kita bersama Yesus, Ia juga memikul beban kita dan berjalan bersama kita serta memberikan kekuatan kepada kita untuk mengikut di jalan-Nya – jalan cinta kasih. Apakah anda tahu tentang beristirahat di hadirat Yesus/dalam kehadiran Yesus dan setiap hari berjalan bersama-Nya di jalan yang Ia tentukan untuk anda?
Yesus menawarkan kepada kita sebuah kerajaan baru – keadilan, damai dan kegembiraan. Dalam Kerajaan-Nya, dosa tidak hanya diampuni, tetapi sekaligus dicabut dari akar-akarnya, dan kehidupan abadi dianugerahkan kepada semua warga. Beban dari Kerajaan Kristus, aturan, hukum dan cara hidup Kerajaan-Nya membebaskan kita dari beban kesalahan dan dari tekanan dosa. Yesus menggunakan analogi tentang sebuah kuk, beban untuk menjelaskan tentang bagaimana kita dapat meninggalkan beban dosa dan kehilangan harapan/putus asa dengan anugerah kemuliaan dan kemenangan bersama-Nya. Kuk yang Yesus tawarkan kepada kita untuk dirangkul adalah jalan cinta-Nya, rahmat dan kebebasan dari kekuasaan dosa. Apakah anda percaya dalam cinta Allah dan berpasrah kepada kehendak dan rencana-Nya untuk kehidupan anda?
Tuhan Yesus, kobarkanlah hatiku dengan cinta untuk-Mu dan untuk jalan-jalan-Mu dan bantulah aku untuk mengubah kuk, beban kedurhakaan dengan merangkul/memeluk kuk yang kudus dan Sabda cinta-Mu. Semoga aku selalu menginginkan apa yang baik dan sesuai dengan kehendak-Mu.” Amin.
Copyright@ 16 Juli 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD

Kerendahan Hati: Pintu Bagi Revelasi Hal-Hal Surgawi

Rabu, 15 Juli 2009
Pesta Santu Bonaventura
Masa Biasa
Bacaan: Matius 11: 25-27
Perikop Injil hari ini mengajak kita untuk merenungkan perihal ucapan syukur Yesus yang ditujukan kepada Bapa-Nya di Surga. Yesus bersyukur kepada Bapa di Surga yang telah menampakkan kepada murid-murid-Nya kebijaksanaan dan pengetahuan tentang Allah. Ada dua hal yang disoroti Yesus dalam doa syukur-Nya itu. Pertama, doa itu dengan jelas menegaskan kepada kita bahwa Allah adalah Bapa dan Tuhan langit dan bumi. Ia adalah Pencipta dan Pemimpin atas segala yang tercipta; yang pertama dari segala sesuatu dan otoritas transenden; dan sekaligus mahabaik dan penuh kasih sayang atas semua putra dan putri-Nya. Selanjutnya, doa itu juga mengandung suatu peringatan keras tentang kesombongan yang dapat menjauhkan kita dari cinta dan pengetahuan tentang Allah. Kesombongan intelektual, kedinginan hati dan kebekuan kehendak akan menghalangi Allah dan Kerajaan-Nya.
Kesombongan adalah akar dari segala perbuatan jahat dan sangat kuat pengaruhnya karena menjerumuskan kita ke dalam dosa. Kesombongan pertama-tama menaklukan hati, membuat hati menjadi dingin dan acuh tak acuh kepada Allah. Ia juga menutup pikiran akan kebenaran dan kebijaksanaan Allah bagi kehidupan kita. What is pride? It is the inordinate love of oneself at the expense of others and the exaggerated estimation of one's own learning and importance. Yesus mempertentangkan kesombongan intelektual dengan kepolosan dan kerendahan hati seorang anak kecil. Kerendahan hati itu ibarat seorang anak kecil yang melihat dengan jujur, tanpa berpura-pura, yang mengakui ketergantungannya dan kepercayaan seutuhnya kepada seorang yang lebih besar, bijak dan dapat dipercaya. Orang yang rendah hati hanya mencari satu hal, yakni Kebaikan Umum atau Kebaikan Tertinggi yang adalah Allah sendiri. Sebagaimana kesombongan merupakan akar segala dosa dan kejahatan, demikian kerendahan hati merupakan lahan dalam mana rahmat Allah berakar. Hanya orang yang rendah hati dapat menerima kebijaksanaan dan pemahaman tentang Allah dan jalan-jalan-Nya.
Yesus adalah revelasi sempurna Allah. Salah satu kebenaran terbesar dari iman Kristen yakni bahwa kita dapat mengenal dan mengentahui Allah yang hidup. Pengenalan kita tentang Allah tidak saja dibatasi oleh mengetahui sesuatu tentang Allah, tetapi kita dapat mengenal Allah secara pribadi. Esensi Kristiani adalah pengenalan akan Allah sebagai Bapa. Yesus memungkinkan masing-masing kita mengenal Allah sebagai Bapa. Melihat Yesus sama seperti melihat Allah. Dalam Yesus kita melihat kesempurnaan cinta Allah, Allah yang memelihara kita secara intensif dan yang mencintai kita hingga rela mempertaruhkan hidup-Nya sendiri bagi kitta pada kayu salib. Singkatnya, Yesus adalah reveasi Allah – Allah yang mencintai kita secara total, tanpa syarat dan sempurna.
“Tuhan Yesus, anugerahkanlah kepada kepolosan hati seorang anak dan iman yang sejati untuk memandang wajah-Mu dengan kegembiraan dan kepercayaan akan keutuhan cinta dan belaskasih-Mu. Halaulah kebimbangan, ketakutan dan kesombongan yang akan mengelakkan aku untuk menerima Sabda-Mu dengan iman dan kerendahan hati yang pasrah.” Amin.
Copyright@15 Juli 2009 by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD

Berpalinglah Ke Jalan Yang Benar

Selasa, 14 Juli 2009
Pesta Santu Kamilus de Lellis
Masa Biasa
Bacaan: Matius 11: 20-24
Jika Yesus mengunjungi komunitas anda hari ini, apa yang akan anda sampaikan? Apakah Ia akan menyampaikan peringatan keras sebagaimana Ia lakukan di kota Korazim dan Bethsaida? Dan bagaimana tanggapan anda? Ke mana pun Yesus pergi, Ia melakukan banyak mukjizat dan menunjukkan kepada umat betapa Allah menaruh peduli terhadap mereka. Demikian halnya terjadi di Korazim dan Bethsaida. Mereka telah mendengarkan Kabar Gembira dan namun mereka menanggapi dengan sikap acuh tak acuh. Yesus melemparkan kritik yang pedas karena hati mereka tetap terpaut kepada jalan yang sesat. Mereka enggan untuk berpaling ke jalan yang benar. Mereka enggan untuk bertobat.
Bertobat menuntut perubahan – suatu perubahan hati dan cara hidup. Sabda Allah adalah Sabda Kehidupan. Mendengarkan Sabda Allah dan mewujudnyatakan pesan Sabda itu dalam kehidupan konkrit berarti menjauhkan kita dari situasi khaos; menyelamatkan kita dari kehancuran – kehancuran hati, pikiran, jiwa begitu pula kehancuran badan. Yesus memberikan peringatan keras justru karena kelekatan pada dosa dan pada segala sesuatu yang mengalihkan kehendak dan tekad kita untuk melakukan kehendak Allah. Dalam cinta Ia memanggil kita untuk berjalan dalam jalan kebenaran dan kebebasan, rahmat dan cinta kasih, keadilan dan kekudusan. Apakah anda menerima Sabda-Nya dengan iman dan ketaatan atau dengan bimbang dan acuh tak acuh?
“Ya Allah Yang Maha Mulia, terangilah kegelapan hati kami dan berikanlah kepada kami iman yang benar, harapan yang pasti dan cinta yang sempurna. Berikanlah kepada kami suatu perasaan yang ilahi dan pengetahuan tentang Diri-Mu, sehingga kami boleh melakukan segala sesuatu demi pemenuhan kehendak-Mu yang kudus, melalui Yesus Kristus Tuhan kami.” Amin.
Copyright@14 Juli 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD

Kamis, Juli 16, 2009

Pertama Dan Terutama Adalah Mencintai Allah

Senin, 13 Juli 2009
Masa Biasa
Bacaan: Matius 10: 34 - 11: 1
Yesus telah memanggil para murid-Nya untuk suatu karya pelayanan. Ia juga telah mempersiapkan mereka dan akan mengutus mereka untuk mewartakan Kerajaan Allah. Dalam Injil hari ini Yesus menyampaikan secara detail kepada mereka tentang konsekuensi yang harus dihadapi dan diterima dari tugas mereka sebagai pewarta Kerajaan Allah. Tak ada satu pun alasan bagi para murid untuk tidak menjalankan karya pewartaan ini, termasuk alasan karena hubungan atau relasi dengan orang-orang yang paling dikasihi. Menjadi murid Yesus, pertama-tama dan terutama berarti mencintai Allah di atas segala-galanya, melebihi cinta akan ayah dan ibu; cinta kepada saudara dan saudari, pun cinta kepada para anggota keluarga lainnya. Bukankah ini merupakan suatu himbauan yang rasa-rasanya terlampau berat? Siapakah dari para murid Yesus dewasa ini, yang kurang mencintai ayah dan ibunya, pun saudara dan saudarinya? Di mata manusia, hal itu kelihatan paradoks. Tapi itulah artinya menjadi seorang murid Kristus. “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Mt 10: 39). Penegasan yang lebih radikal lagi, dan mungkin kita tidak ingin untuk mendengarnya. Tapi, ini barulah salah satu tuntutan yang kita jumpai dari Kitab Suci yang menantang kita kepada masalah inti jika kita ingin menjadi seorang murid dan mengikuti langkah-langkah Kristus.
Jika kita hanya memandang pada diri sendiri dan mengandalkan kemampuan diri sendiri, sejujurnya kita akan dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan dalam menanggapi tuntutan-tuntutan hidup sebagai murid Yesus. Bercerminlah pada pengalaman para murid Yesus. Mereka menjadi murid-murid Yesus, berdasarkan panggilan Yesus dan bukan atas inisiatip mereka sendiri. Seiring dengan itu, Yesus mempersiapkan mereka. Mereka tidak sendirian, melainkan saling memiliki dan mendukung satu sama lain. Dan terutama karena mereka memiliki Roh Kristus yang setia menyertai mereka dalam menjalankan tugas misioner “mewartakan Kerajaan Allah.” Demikian halnya terjadi atas diri kita. Kita pun bukan sendirian. Kita dipanggil kepada tugas pelayanan itu oleh Yesus sendiri, dan Ia tidak akan meninggalkan kita sendirian tetapi Ia akan mendukung kita dengan kekuatan-Nya dan inspirasi Roh-Nya.
Pengalaman-pengalaman apa saja dalam hidup kita yang membuat kita cenderung untuk tidak menanggapi panggilan Yesus untuk menjadi murid-murid-Nya? Apakah pengalaman-pengalaman itu erat kaitannya dengan relasi kekeluargaan? Atau, berpautan dengan pekerjaan kita, sahabat-sahabat kita, sesama kita? Adakah situasi-situasi yang kurang menguntungkan dalam hidup kita? Yang cenderung menghantar kita masuk ke dalam pengalaman ketakutan dan kecemasan, yang cenderung mendesak kita untuk mengelak?
“Tuhan, tiada mata yang telah melihat; telinga yang telah mendengar dan hati yang telah memahami hal-hal yang telah Engkau siapkan bagi mereka yang mencintai-Mu. Kobarkanlah kami dengan Api Roh Kudus, sehingga kami boleh mencintai Dikau di atas segala-galanya dan dengan demikian boleh menerima ganjaran yang Engkau janjikan kepada kami melalui Yesus Kristus, Tuhan kami.” Amin.
Copyright@ 13 Juli 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD

Selasa, Juli 14, 2009

Kebaskanlah Debu Kegagalan

Minggu Biasa Ke-15
Minggu, 12 Juli 2009
Amos 7: 12-15; Ef 1: 3-14; Mrk 6: 7-13
Memiliki semacam pohon masalah, kecemasan dan kegagalan barangkali bisa ditawarkan sebagai salah satu cara yang positip untuk menghadapi kegagalan-kegagalan dan masalah-masalah yang kadang-kadang kelihatan membanjiri keseharian hidup. Karena masalah dan kegagalan merupakan suatu bagian dari kehidupan, maka kita semua membutuhkan pohon masalah. Itulah sebabnya Yesus, ketika hendak mengutus para murid untuk mewartakan Kabar Gembira Injil, berpikir bahwa adalah bijak untuk mengingatkan mereka akan perlunya pohon masalah. Demikian kata-kata Yesus: “Kalau ada suatu tempat yang tidak mau menerima kamu dan kalau mereka tidak mau mendengarkan kamu, keluarlah dari situ dan kebaskanlah debu dari kakimu sebagai peringatan bagi mereka” (Mrk 6:11). Dengan kata lain, jika kamu berusaha untuk mengajarkan umat di suatu desa tertentu dan kamu berhadapan dengan kegagalan, jangan biarkan kegagalan itu melemahkan semangatmu. Kebaslah debu dari desa itu, pergilah ke desa yang lain dan mulailah dengan semangat yang baru. Kebaskanlah debu dari kaki mereka adalah cara mereka untuk menggantungkan masalah pada pohon masalah.
Seperti para murid, kita pun memerlukan semacam pohon masalah. Karena, masalah dan kegagalan adalah hal-hal yang tak dapat dielakkan dari kehidupan kita. Kadang-kadang kita begitu terpaku pada kegagalan dan masalah hari kemarin dan malah membiarkan masalah dan kegagalan itu mengikis antusiasme dan kegembiraan hidup kita. Kadang-kadang kita membiarkan masalah-masalah dan tekanan-tekanan dari tempat kerja menghancurkan berkeping-keping kehidupan keluarga kita. Agar hal ini tidak terjadi, kita perlu pohon masalah di mana kita dapat menggantungkan dan melupakan masalah-masalah kita, sekurang-kurangnya untuk sesaat atau sementara. Kita butuh, pada akhir dari suatu ziarah harian, kemampuan untuk mengebaskan debu kecemasan, dan kegagalan dari kaki kita dengan kesadaran bahwa hari esok akan membawa serta suatu dahan dan ranting baru dengan kesempatan baru pula. Ibarat sebuah pertandingan bola kaki. Meskipun kemarin tim anda menderita kekalahan 10 – 0; hari ini adalah suatu babak baru dari sebuah pertandingan dengan skor 0 – 0.
Apa yang terjadi jika kita tidak memiliki pohon masalah? Jika kita tidak punya cara untuk mengebaskan debu dari masalah dan kegagalan hari kemarin dari kaki kita, debu-debu itu akan melekat erat, kian bertumpuk dan semakin membebani ziarah hidup kita. Akibatnya adalah tertekan dan menderita. Kita akan kehilangan semangat. Yesus tidak menghendaki kita menjadi orang-orang yang mudah putus asa, patah semangat, mudah menyerah pada tantangan. Ia ingin agar kita menjadi laki-laki dan perempuan yang selalu mulai lagi pada setiap hari baru. Hari baru, tantangan baru, kesempatan baru!
Sebagai putra-putri Allah, hari ini adalah hari yang indah untuk berterima kasih kepada Allah yang telah menunjukkan jalan bagi kita untuk keluar dari kegagalan, kelemahan, dan ketidaksempurnaan kita. Putri-putra Allah yang setia bukanlah orang-orang yang sempurna dan tak pernah melakukan kesalahan dan kekeliruan. Tetapi mereka adalah orang-orang yang menyadari kesalahan-kesalahan mereka, mengakuinya dan menghadapinya, sejenak tinggalkan dan berani untuk melanjutkan, memulai lagi pada setiap hari baru dengan suatu harapan baru. Allah dalam cinta dan belaskasih-Nya telah menganugerahkan kepada kita Kristus. Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib” (1Ptr 2:24). Melalui Sakramen-Sakramen, khususnya Sakramen Tobat, kita memiliki akses kepada pohon kehidupan nitu. Kita dapat juga melakukan itu lewat doa-doa harian apabila kita melakukan sebagaimana dikatakan oleh Santu Petrus, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Ptr 5: 7).
"Tuhan Yesus, jadikanlah aku sebuah corong rahmat-Mu dan cinta penyembuhan-Mu agar orang-orang lain boleh menemukan kehidupan dan kebebasan di dalam Engkau. Bebaskanlah aku dari segala tetek-bengek tambahan sehingga aku boleh mengejar hal-hal surgawi. Semoga aku menjadi saksi kegembiraan Injil baik lewat kata-kata maupun lewat perbuatan.” Amin.
Copyright@ 12 July 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD