Jumat, Mei 29, 2009

195. Hanya Semangat Sejati Yang Mampu Merubah

Minggu, 31 Mei 2009
Hari Raya Pentekosta
Kis 2:1-11; Gal 5:16-25; Yoh 15: 26-27;16:12-15
Kita tentu masih ingat dengan baik peristiwa bersejarah di tanah air tercinta Indonesia pada tahun 1998, sebelas tahun yang lalu. Bangsa kita memasuki masa baru yang menjanjikan perubahan dan harapan besar bagi kita. Seluruh rakyat Indonesia dihembusi dengan harapan baru bahwa akan ada pemerintahan yang bersih, dan cita-cita warga akan suatu masyarakat yang lebih jujur dan berperikemanusiaan akan tercipta. Demikianlah muatan harapan yang dihembuskan oleh “Angin Reformasi.”
Sejak saat itu, reformasi lalu menjadi kata ajaib. Muncul Orde yang disebut Orde Reformasi dengan mengusung janji, akan membawa kita keluar dari aneka macam krisis. Perobahan, reformasi agaknya mulai menjadi kenyataan. Tetapi sesudah beberapa waktu bergulir ternyata tidak banyak perubahan yang terjadi. Teriakan reformasi sering hanya merupakan satu slogan tanpa makna. Kasus-kasus KKN yang dibongkar dari peti kemas, tiba-tiba menguap begitu saja karena tidak disikapi dengan penuh tanggung jawab atau cuma ditangani dengan setengah hati. Rakyat lebih suka memilih untuk main hakim sendiri karena tidak percaya pada aparat yang belum atau enggan berpihak pada keadilan. Kalau boleh kita bertanya: “Di manakah letak kesalahannya?”
Reformasi, pembaruan dalam hidup pribadi, dalam hidup masyarakat malah negara tidak terwujud karena tidak ada roh atau semangat sejati, tidak ada pembaruan mendasar. Reformasi baru terjadi secara lahiriah. Maka benarlah syair sebuah lagu nostalgia yang berjudul: “Tinggi Gunung Seribu Janji.” Penggalan syair lagu ini antara lain sebagai berikut: Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain dibibir, lain di hati.” Hanya semangat sejati akan perubahan yang mampu merobah manusia dan masyarakatnya. Jadi, betapa penting semangat sejati itu.
Hari ini kita merayakan Pesta Pentakosta. Pentakosta juga disebut pesta kelahiran persekutuan hidup, yakni Gereja. Memang Gereja, sudah mulai sejak Yesus Kristus memanggil dan mengumpulkan sejumlah murid untuk mengikuti-Nya. Namun kelahiran Gereja, kelahiran umat Allah terjadi sejak turunnya Roh Kudus. Karena Roh Kudus yang adalah hadiah Kristus, Roh-Nya sendiri membuat dan merobah hidup Gereja, dari ketakutan kepada keberanian, dari putus asa kepada semangat hidup baru. Roh adalah nafas kehidupan Gereja. Gereja hidup, kita hidup karena semangat, karena Roh baru.
Roh Allah itu dapat kita terjemahkan dengan pengertian Semangat Sejati, Semangat Baru, Semangat dari Allah sendiri. Roh Allah itu adalah seperti nafas hidup. Seperti segala makhluk akan mati jika tidak ada nafas, demikian kita orang Kristen, tidak bisa hidup sebagai orang Kristen jika tidak ada nafas hidup dari Allah. Tentu saja, semangat atau nafas hidup atau Roh Allah ini bukan semangat sembarangan, melainkan semangat akan keselamatan, akan kebaikan, akan cinta kasih, akan kehidupan. Reformasi yang didambakan banyak orang, hingga kini belum sungguh-sungguh terjadi, masih macet, masih mogok di tengah jalan, karena kita masih belum punya SEMANGAT SEJATI itu. Kita masih diliputi oleh semangat yang lain yang bukan dari Allah, yang bukan sejati.
Bacaan-bacaan Kitab Suci tadi dapat membantu kita untuk menangkap dan memahami bagaimana pengaruh Roh Allah itu. Roh itu mampu merobah hidup dan hati manusia, khususnya hidup orang beriman, hidup para murid.
Kisah Para Rasul, melukiskan dengan jelas bagaimana pengalaman murid-murid yang ditinggalkan Yesus dan bagaimana pengaruh Roh Allah itu setelah turun dan hadir di tengah mereka. Ketika Roh belum turun, para murid dikungkung oleh rasa takut yang mencekam. Mereka tidak berani keluar dan bicara, mereka cuma bisa mengunci diri. Ketika Yesus meninggalkan mereka, para murid dibayangi oleh rasa putus asa. Mereka penuh tanda tanya, ragu-ragu, tidak percaya bahwa misi Yesus akan berlanjut terus. Mereka patah semangat, kehilangan harapan dan semangat hidup untuk bersaksi tentang Yesus. Mereka tidak melihat jalan keluar lain, selain dikuasai oleh kebimbangan. Masa depan Gereja agaknya menuju tahap kehancuran. Inilah keadaan orang beriman, para murid Yesus tanpa kehadiran Roh Allah itu.
Tetapi dengan turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta, semua berubah jadi lain. Para murid mulai angkat bicara. Petrus misalnya, mulai menantang pendengarnya untuk merubah hidup dan memberi diri untuk dibaptis. Mereka berani bersaksi tentang Yesus, malah berani mengecam leluhur Yahudi yang telah menyalibkan Yesus. Inilah semangat pembaruan yang merasuki para murid. Inilah nafas hidup itu, dan itu pula semangat sejati yang tentunya dibutuhkan oleh kita orang beriman dan siapa saja yang berkehendak baik, agar ada perubahan atau reformasi sejati. Dan semangat itu tidak lain adalah Roh Allah sendiri.
Dari peristiwa ini kita dapat menarik beberapa kesimpulan mengenai peranan Roh Kudus, Roh Allah. Pertama-tama, Roh mampu memberi semangat baru, mampu merobah hidup kita dan mampu membuat kita berani tampil sebagai saksi dan tidak akan resiko yang harus ditanggung karena kesaksian itu. Selanjutnya, Roh itu berkuasa, lebih berkuasa dari kecemasan kita. Kita mungkin sering mengeluh, bahwa hidup kita tidak ada perubahan sama sekali. Tetapi apakah kita sempat berpikir bahwa kesalahan barangkali terletak pada diri kita, misalnya, karena kita tidak punya sikap bernanti, tidak memiliki sikap berjaga dan berdoa seperti para rasul bersama Bunda Maria. Mungkin salah kita ialah karena kita kurang memberi tempat yang luas bagi Roh Allah untuk berkarya. Kita lebih percaya diri daripada menyerahkan diri kepada bimbingan Roh Allah. Kita lebih suka dipimpin oleh ingat diri, oleh kepentingan diri daripada rela membiarkan Roh Allah merobah kita dan malah takut dirobah oleh Roh Allah itu.
Sementara dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menjanjikan Roh itu dan menunjukkan peran Roh itu bagi kehidupan kita orang beriman. Roh Kudus adalah pemimpin kita yang sejati kepada kebenaran. Roh itu adalah penghibur kita di masa-masa sulit kehidupan. Roh Kudus adalah Penghibur, apa artinya bagi kita?
Dewasa ini kita menyaksikan dan mungkin merasakan ada banyak tantangan dan kesulitan yang ditujukan kepada orang Kristen. Rasanya cukup beruntung kehidupan saudara-saudari kita di daerah-daerah yang mayoritas Katolik. Tetapi banyak saudara-saudari kita di banyak tempat di tanah air tercinta ini mengalami masa sulit yang menyesakkan. Di tempat di mana kita minoritas, rasanya sulit untuk mendapatkan izin untuk membangun gereja. Bagaimana seharusnya tanggapan kita?
Apakah kita harus balik melawan dengan cara kekerasan. Apakah kita harus terapkan semboyan: “mata ganti mata dan gigi ganti gigi?” Sangat tidak kristen kalau kekerasan dihadapi dengan kekerasan. Kekerasan lawan kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan yang berkepanjangan dan hal itu tak akan pernah berakhir. Maka strategi pendekatan dan tanggapan kita harus lain.
Nah, di sinilah kita membutuhkan inspirasi, hembusan Roh Allah yang mampu menguatkan kita untuk terus menggunakan STRATEGI KASIH, KESABARAN DAN DAMAI di mana situasi yang tidak mendukung. Di sini dibutuhkan roh yang memampukan kita untuk terus bersaksi. Kita membutuhkan Roh Penghibur yang dapat menjadi pembela kita di tengah situasi yang diwarnai permusuhan dan perselisihan. Inilah kekuatan baru, semangat baru yang tak dapat dikalahkan oleh tindakan dan kuasa manusiawi apa pun.
Pentakosta adalah tawaran Roh Allah bagi kita. Roh Allah itu merubah hidup murid-murid perdana. Ada reformasi total dalam kehidupan mereka. Roh itu terpancar dalam perbuatan-perbuatan orang kristen. Roh itu kekuatan, pembela dan penghibur kita di masa penuh tantangan dan kesulitan. Maka, seperti para murid, hendaknya kita pun senantiasa membuka diri bagi hembusan gairah baru Roh Allah, agar kita pun dibarui dan mampu menjukkan gairah baru itu kepada sesama dan siapa saja yang berkehendak baik. Sebagaimana pengalaman para murid, doa adalah tempat istimewa turunnya Roh Kudus, maka kita pun hendaknya memberi tempat bagi doa dalam hidup kita, sambil bernanti, sambil berjaga agar Roh itu datang. Amin.
Copyright © 29 May 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD

194. "Tetapi engkau: Ikutilah Aku!"

Sabtu, 30 Mei 2009

Bacaan : Yoh 21, 20-25

Masih melanjutkan episode Injil yang barusan kita renungkan, kali ini pembicaraan antara Petrus dan Yesus melibatkan juga seorang murid yang lain, yang oleh Kitab Suci diperkenalkan sebagai Murid yang sangat dikasihi Yesus. Yohanes menjadi tokoh yang dibicarakan oleh Yesus kepada Petrus. Ada apa dengan figur yang satu ini? Atau lebih tepatnya, kenapa dia dibicarakan?

“Ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: "Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?" Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus: "Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?" Jawab Yesus: "Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku."

Yohanes memang dikenal secara khusus sebagai murid yang sangat dikasihi Yesus. Lukisan tentang kesaksian ini bisa diperoleh dalam berbagai karya pelukis. Ada yang melukiskannya sebagai yang mirip dengan Yesus. Para pencinta Kitab Suci mengenal dia juga sebagai seorang teolog yang secara khusus menjabarkan tentang ajaran Yesus tentang cinta itu sendiri. Dan memang itulah karakter sejati diri Yohanes. Dalam suratnya dia pernah menulis juga, "Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.”(1Yoh 1:7-8). Singkat kata, Yohanes sebagai murid yang paling dikasihi ternyata adalah seorang pengasih ulung. Seorang yang sangat mengasihi orang lain, mengasihi murid-muridnya, komunitas yang didirikannya dan mengasihi kita semua, hal mana kita dapati dalam kenyataan bahwa ia menuliskan Injil dengan tema kasih yang sangat menonjol.

Nah, tentang dia inilah yang Yesus singgung dalam pembicaraanNya dengan Petrus, tatkala Petrus bertanya tentang bagaimana nantinya dengan dia. Adakah Petrus merasa terganggu dengan kehadiran Yohanes? Secara manusiawi, memang masuk akal apa yang dipikirkan Petrus. Kalau dia saja yang sifatnya angin-anginan dipilih menjadi pemimpin, bagaimana nanti dengan Yohanes yang sangat Yesus kasihi? Akan jadi apakah dia? Akan diberi peran apa nanti? Yesus tak menjawabinya tetapi kembali menegaskan inti pesan dan ajaranNya, "Tetapi Engkau: ikutilah Aku, mengasihilah seperti Aku. "

Dalam ajakanNya ini, Yesus sekali lagi menegaskan karakter positif yang telah dimiliki Yohanes beserta tugas yang bakal diembannya, yakni mengajarkan kepada semua tentang misteri cinta Allah yang tak ada batasnya itu kepada manusia. Yesus menunjukkan bahwa mengajarkan tentang cinta sebagai prinsip dasar kehidupan serta melakukannya adalah kewajiban murid. Dan Petrus disadarkan bahwa itulah tugasnya yang utama. Mengkampanyekan bukan hanya dengan kata tetapi dengan kesaksian hidup bahwa ia pun bisa mencintai tanpa batas, mencintai hingga mati.

Ajakan yang sama ditujukan juga kepada kita hari ini. Engkau: ikutilah Aku. Peran yang kita mainkan boleh berbeda, karya boleh berbea, partai politik boleh berbeda, tetapi kita sebagai murid Yesus membawa tugas perutusan yang sama, MENGIKUTI SANG GURU, menaburkan kasih dan berkarya kasih kepada siapapun dan di manapun.

Tuhan Yesus, kami adalah murid yang Kaukasihi. Kiranya seperti Yohanes yang meninggalkan ajaran kasih kepada siapapun, kami boleh mewartakannya dalam hidup dan perjuangan kami. Bahwa kami juga mengasihi Engkau sebagaimana secara lantang diakui Petrus di hadapanMu. Amin.

Copyright © 29 Mei 2009 by Ansel Meo SVD

Kamis, Mei 28, 2009

193. "Apakah Engkau Mencintai Aku?"

Jumat, 29 Mei 2009

Bacaan : Yoh. 21:15-19

Pertanyaan "Apakah engkau mencintai aku?" yang kita tempatkan sebagai judul renungan hari ini, adalah sebuah pertanyaan fundamental yang diajukan oleh mereka yang memiliki relasi erat satu dengan yang lain. Pertanyaan yang sering diajukan untuk membaharui komitmen pada sebuah relasi. Juga pertanyaan yang berkaitan dengan komitmen pada sebuah tugas.

Yesus hari ini mengajukan lagi pertanyaan yang sama kepada murid-muridNya dan secara khusus lagi dialamatkanNya kepada Petrus: "Apakah engkau mencintai aku?" Bahkan Injil hari ini mencatat bahwa pertanyaan itu diajukan hingga tiga kali, sebuah indikasi betapa jawaban atas pertanyaan itu menuntut pula sebuah komitmen jangka panjang dan sepenuh hati. Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan ia berkata kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku.

Mengapa perlu memperoleh kepastian akan jawaban atas pertanyaan "Apakah kamu sungguh cinta padaKu?" Menilik pada pengalaman manusiawi kita, pertanyaan ini biasanya diajukan ketika mereka yang terlibat dalam relasi mulai rasakan keraguan dan merasa kurangnya rasa cinta di antara mereka. Bisa juga diajukan ketika melihat pasangan akan menerima penugasan lain yang barangkali jauh lebih besar dari semula. Dan boleh jadi juga diajukan ketika si penanya menghadapi momen penting ketika ia sadar bahwa waktu untuk bersama semakin kurang.

Dan memang itulah yang terjadi dalam adegan Injil hari ini. Di satu pihak Yesus sadar bahwa Ia tak lama lagi bersama mereka secara kelihatan. Di lain pihak ada penugasan penting yang harus diserahkanNya kepada Petrus yang bakal dipilihNya sebagai pemimpin atas komunitas muridNya. Pertanyaan ini diajukan kepada Petrus bukan karena Yesus meragukan kasih dan komitmen Petrus, tetapi untuk menyadarkan Petrus bahwa tugas dan komitmennya akan sangat bergantung pada betapa dalam, kuat dan besarnya kasihnya akan Tuhan dan Gurunya. Dan bukan cuma itu, tapi juga sebuah petunjuk betapa kehidupan dan keberlangsungan komunitas murid ini akan bergantung pada semangat dasar ini, mengasihi tanpa syarat.

Dan ajakan lanjut dalam Injil hari ini, "Gembalakanlah domba-dombaKU!" sama artinya dengan "Ikutilah Aku!" Yesus ingin agar Petrus memiliki hatiNya yang mencintai tanpa batas. Yesus mau agar Petrus mencontohi sikap pelayananNya yang merendahkan diri untuk mencuci kaki para muridNya. Dan Yesus mau agar tak terjadi pengingkaran jati diri muridNya, bahwa mereka mengenal dan mencintaiNya.

Sebuah pertanyaan yang meminta kita untuk mawas diri dan membaharui komitmen kita pada pelayanan dan pekerjaan apa saja. Dan mengajak kita untuk kembali ke akar, pada semangat yang mendasari sebuah komitmen untuk pelayanan. "Apakah engkau mencintai aku?"

Ya Tuhan dan Allahku, aku sungguh mencintaiMu dengan segenap hatiku, dengan Aku mencintaiMu dengan segenap jiwa dan ragaku. Berkatilah semua saudaraku karena aku mencintai mereka. Amin.

Copyright © 29 Mei 2009 by Ansel Meo SVD

Rabu, Mei 27, 2009

192. Menjadi Satu dalam Keberagaman

Kamis, 28 Mei 2009

Bacaan : Yoh 17,20-26

Sudah tentu bahwa Yesus memiliki kerinduan untuk mengumpulkan semua muridNya dalam satu kesatuan. Apalagi Ia tahu bahwa waktunya bersama mereka tak terlalu lama. Dan itulah sebabnya Ia memanjatkan doa kepada BapaNya, yang berisi dambaan hatiNya bahwa semua murid yang berkumpul dalam namaNya bersatu.

Kerinduan Yesus ini tidak berarti bahwa mereka semua harus menjadi sama. Bukan itulah maksudnya, tetapi mereka berbeda, mereka kaya dalam perbedaannya tetapi perbedaan mereka membuat komunitas mereka menjadi kuat. Yesus meminta mereka untuk menghargai dan menerima perbedaan sebagai kekhasan para murid yang percaya dan menerima Injil dan khabar Gembira yang satu dan sama. Dan kesatuan dalam keberagaman yang demikian di satu sisi sungguh adalah wajah khas komunitas murid Yesus dan di lain pihak menjadi undangan untuk mewujudkannya secara terus menerus.

Kata Yesus hari ini, "Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku."

Sabda yang meneguhkan kita semua. Dan memang indah bahwa dalam hidup bersama dalam segala tingkatannya memiliki banyak perbedaan. Perbedaan di antara kita yang mengambil banyak bentuk itu hendaknya disatukan selalu oleh cinta yang saling memperhatikan di antara kita. Dan cinta yang demikian adalah kekuatan interior yang sesungguhnya telah ditanamkan oleh Allah dan didoakan selalu oleh sang Guru buat kita. Kiranya perbedaan di antara kita bukannya membuat kita saling menyisihkan satu sama lain atau menjauhkan diri yang yang lain, tetapi digerakan oleh cinta yang sama perbedaan itu menjadi unsur yang membuat kita bisa membangun kehidupan bersama secara lebih baik, lebih indah dan lebih dinamis.

Terpujilah Engkau ya Tuhan karena kami Kaukumpulkan menjadi satu dalam komunitas anak-anak Allah. Semoga kami menjadi satu untuk menyebarluaskan khabar gembira InjilMu ke seluruh dunia. Amin.

Copyright © 27 Mei 2009 by Ansel Meo SVD

Selasa, Mei 26, 2009

191. Yesus Mendoakan Kesatuan Kita dengan BapaNya.

Rabu, 27 Mei 2009

Bacaan : Yoh 17,11-19

Kita tentu tak akan tercengang membaca Injil hari ini, ketika Yesus berdoa bagi para muridNya agar mereka semua menjadi satu seperti Ia dan Bapa satu adanya. Yesus memang dalam Injil selalu mengungkapkan betapa hubunganNya dengan Bapa adalah hubungan yang spesial, intim karena Ia adalah Anak yang dikasihi BapaNya dan bahwa Bapa selalu bersama Dia dalam seluruh karya misi dan kehidupanNya. Yang mencengangkan kita ialah kenyataan bahwa Dia juga mau supaya hubungan khusus dengan Bapa itu juga kita miliki. Dengan kata lain, Yesus ingin memasukkan kita sekalian yang Ia kasihi ke dalam kesatuan yang erat yang telah terjalin antara DiriNya dengan Bapa.

Bagi kita berita ini adalah berita gembira. Yesus mendoakan kita semua, katanya, "Bapa, peliharalah dalam namaMu mererka semua yang telah Kauberikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu adanya seperti kita satu." Yesus meminta kepada Bapanya untuk menjadikan kita anak-anakNya walaupun oleh dosa dan kekurangan kita selalu ingin menjauhkan diri dari Bapa. Bukan cuma itu isi doa Yesus, Ia juga mau agar kita menjadi lebih ilahi, menjadi satu sama seperti DiriNya di hadapan Bapa. Jadi di dalam Yesus, kita menjadi anak Allah, dan terhadap kenyataan ini hati kita semestinya dipenuhi kegembiraan dan kesadaran bahwa Bapa menyertai kita.

Nah, jika kita adalah anak bersama Yesus di hadapan Bapa, maka konsekwensi langsung yang mesti kita sadari dalam relasi di antara kita ialah bahwa kita semua adalah saudara. Mengenangkan kenyataan ini, hati kita seharusnya lebih dipenuhi lagi dengan kegembiraan.

Maka adalah tugas kita senantiasa untuk menghidupkan persaudaraan dan mendoakan kesatuan di antara kita sehingga apa yang didoakan Yesus dalam Injil hari ini satu kali kelak akan menjadi kenyataan bahwa bersama Dia kita semua adalah satu dalam Bapa yang kekal.

Ya Tuhan, kiranya doaMu menjadi doa kami dan menjadi kekuatan bagi kami semua untuk selalu rindu mewujudkan kesatuan itu di antara kami dan bersama-sama kami boleh menemui Allah Bapa dan Tuhan kami. Amin.

Copyright © 26 Mei 2009 by Ansel Meo SVD

Minggu, Mei 24, 2009

190. Benang Pokok Hidup

Minggu, 24 Mei 2009
HARI RAYA KENAIKAN TUHAN KITA YESUS KRISTUS

Bacaan : Kis 1:1-11; Ef. 1:17-23; Mrk 16: 15-20

Pada hari ini kita boleh mengenangkan lagi Pesta Yesus Kristus naik ke surga. Kristus yang berasal dari Bapa, sekarang kembali lagi kepada Bapa-Nya. Peristiwa kembalinya Kristus kepada Bapa inilah yang menjadi fokus permenungan kita dalam kotbah ini. Apa arti dan maksud peristiwa ini untuk kita masing-masing?

Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa kenaikan Kristus ke surga sama sekali tidak punya hubungan, misalnya, dengan perjalanan para astronaut yang bertolak dari bumi masuk angkasa luar, menuju bulan, Venus atau Mars. Kenaikan Kristus ke surga tidak berpautan dengan arti teknis, pun bukan merupkan suatu adegan pembuktian tentang kuasa-Nya mengatasi gaya berat. Peristiwa yang kita rayakan hari ini mengandung makna yang lain. Ia mau mengungkapkan satu aspek hidup manusia yang amat penting, yakni aspek Vertikal. Kristus kembali kepada Bapa-Nya dari mana Ia sudah berasal.

Karya penebusan Kristus baru selesai kalau mahkota kemenangan sudah dibawa kepada Bapa-Nya. Seluruh hidup-Nya bergantung pada Bapa. Titik tolak ada pada Bapa: Karena Putra Allah turun dari surga dan menjadi manusia. Dalam seluruh hidup-Nya Kristus memelihara hubungan dengan Bapa. Dalam doa-Nya, dalam kotbah dan dalam pikiran Kristus, Bapa memainkan peranan yang sentral dan penting. Sekarang perutusan-Nya mencapi tahap definitif/tahap final, maka Kristus kembali kepada Bapa-Nya. Inilah dimensi Vertikal hidup Kristus: “Allah adalah Awal dan Akhir, Allah adalah Sumber hidup-Nya, Allah adalah tujuan hidup Kristus.

Peristiwa kenaikan Kristus yang kita rayakan pada hari ini justru menekankan aspek vertikal itu dalam hidup kita. Manusia berasal dari Allah dan mengarah kepada Allah. Ini adalah satu unsur amat penting , namun kadang kita lupakan, kita lalaikan atau mungkin kurang kita hiraukan. Dalam hidup ini, kadang-kadang kita bertindak seperti seekor laba-laba. Dia membuat satu sarang yang amat bagus. Setiap hari laba-laba itu berjalan mengitari sarangnya dan melakukan inspeksi. Ia memeriksa segala benang di dalam sarangnya, memperperbaiki di mana perlu, memperkuat yang tampak kusut dan menambah di mana masih dipandangnya kurang atau belum sempurna. Hidupnya sangat teratur dan terjamin. Namun pada suatu hari, ketika sedang melakukan inspeksi ia melihat satu benang, yang ujungnya tidak kelihatan. Benarang itu lurus ke atas. Sejenak ia berpikir, lalu mempertanyakan kegunaan dan fungsi benang tersebut. Dan katanya, benang ini rupanya tidak perlu, benang yang satu ini tampaknya hanya mengganggu pandangan saya dan keindahan sarangku. Serentak dengan itu, ia pun memotong benang tersebut. Apakah yang terjadi? Seluruh sarangnya runtuh. Benang yang dipotongnya itu, ternyata benang pokok/utama yang menjadi penopang seluruh sarangnya. Laba-laba itu terjerat dan terhimpit di dalam sarangnya sendiri. Dan malanglah nasibnya.

Seperti laba-laba itu, kita pun memperhatikan dengan teliti dan memelihara serta merawat dengan penuh tanggung jawab hidup kita. Segala bidang kehidupan mendapat perhatian optimal. Bidang pendidikan kita perhatikan. Bidang kesehatan tak pernah kita abaikan: makan-minum, tidur dan kalau sakit kita berobat. Bidang hidup kekeluargaan juga tak pernah tersisihkan dari perhatian kita. Kita selalu berusaha menjalin relasi dengan orangtua, sanak famili, malah kampung halaman juga senantiasa mendapat inspeksi khusus pada masa dan waktu-waktu tertentu. Semua bidang ini memang sangat penting untuk menjamin kebahagiaan hidup kita dan karena itu tidak pernah absen dari perhatian kita.

Maka pada perayaan hari ini perhatian kita diarahkan kepada benang pokok hidup kita, benang yang menopang seluruh hidup kita, yakni Benang Vertikal yang tegak lurus, menuju ke atas. Memang ujungnya kurang kelihatan, karena ia bermuara dalam tangan Bapa. Bapa yang memegang benang itu dalam tangan-Nya. Mungkin faedahnya kurang jelas, tetapi benang itu adalah benang yang memberi hidup. Segala urusan dan kesibukan kita pada taraf atau tingkat horisontal dapat terlaksana hanya karena adanya benang vertikal itu. Sekiranya kita kurang memelihara benang itu, maka ia akan menjadi lemah, malah bisa putus, sehingga seluruh sarang hidup kita dengan segala bidangnya akan runtuh dan hancur berantakkan dan kita pasti terjerat serta meratapi nasib di dalamnya.

Ada dua sikap yang kurang tepat dan harus kita hindari, yakni sikap Horisontalisme dan Vertikalisme. Kristus sendiri menunjukkan jalan tengah kepada kita. Ia datang ke dunia, hidup dan berkarya di dunia untuk menyelamatkan dunia. Tetapi segala aktivita dan hidup-Nya, sepenuhnya dijiwai dan diresapi oleh Bapa-Nya. Demikian hendaknya hidup kita, dengan segala aktivitanya: sekolah, belajar, kerja di tempat tugas masing-masing, relasi dengan keluarga dan sesama, dan lain-lain, harus digantung pada Benang Vertikal itu, yakni Penyelenggaraan, cinta kasih dan kebaikan Allah.
Add Image

Perayaan hari ini mengajak dan meminta kita untuk tengada ke langit. Kristus meminta dan mengundang kita untuk memandang ke atas dan ingin menyadarkan kita kembali akan Benang Pokok itu. Kita memang ada dalam tangan Allah - Bapa kita. Maka alangkah indahnya kalau kita dengan gagah berani , mau berdoa: “Dalam tangan-Mu ya Bapa, kami percayakan seluruh hidup dan karya kami.” Amin.

Copyright © 24 Mei 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD