Sabtu, Desember 06, 2008

45. Membiarkan Allah Menjumpai Kita

Minggu, 07 Desember 2008

Minggu II Masa Adventus

Bacaan : Yes 40:1-5.9-11; 2Ptr 3:8-15; Mrk 1:1-8

Ada sebuah cerita dikisahkan sebagai berikut:

Seorang anak Sekolah Dasar mendapat kunjungan dari salah seorang guru. Sang guru bermaksud mengetahui alasan, mengapa muridnya tidak ke sekolah pada hari itu. Ia disambut oleh muridnya sendiri. Hello…..? Apakah ayahmu ada di rumah? tanya sang guru. Ya, jawabnya berbisik. Boleh saya berbicara dengannya? tanya lagi sang guru. Tidak, jawabnya berbisik lagi. Oh ya, apakah ibumu ada di sana?, tanya guru itu lagi. Ya, bisik murid itu. Boleh saya berbicara dengan ibumu? Lagi-lagi anak itu membisikan jawabnya, Tidak. Baiklah, oh ya…apakah ada orang lain selain kalian sekeluarga? Ya, bisik anak itu … seorang Polisi. Seorang Polisi???
Sekarang, boleh saya berbicara dengan Polisi itu? Tidak bisa, bapak guru. Ia sedang sibuk. Sibuk buat apa, tanya guru itu. Polisi sedang berbicara dengan bapa dan mama serta pemadam kebakaran, tandas anak itu. Pemadam kebakaran??? Apakah ada kebakaran di rumahmu atau ada sesuatu yang lain? Tidak, jawab muridnya. Lalu, apa yang sedang dilakukan oleh Polisi dan Pemadam Kebakaran di rumahmu? Sambil terkiki-kiki anak itu menjawab: "Mereka sedang mencari aku."

Dalam Injil pada Hari Minggu II Adven, kita melihat Yohanes Pembaptis tengah menyerukan kepada rakyat Yudea untuk datang ke padang gurun dan membiarkan Allah menjumpai mereka.
Masuk ke padang gurun berarti sejenak meninggalkan rutinitas kehidupan normal dalam mana kita begitu terlekat dan bergantung. Hal-hal itu, antara lain bisa kita jumpai dalam pekerjaan kita, dalam relasi-relasi kita dan juga dalam praksis-praksis rutin kehidupan lainnya. Tetapi percayalah bahwa Allah tidak akan dapat berbuat banyak di tengah kita sejauh kita mengharapkan dan mempercayakan hal-hal ini sebagai hal-hal pertama yang memberi makna dalam hidup kita.

Ketika hati kita telah sarat, tak ada satu barang pun yang bisa masuk lagi, begitu pula Allah. Karena itu, pertama-tama, kita harus Membiarkan Pergi apa saja yang tengah melekat di hatimu, membiarkannya kosong, sebelum kita dapat memeluk/merangkul Allah. Dan melepaskan pergi ini dilambangkan oleh suatu Perjalanan Masuk ke Padang Gurun yang tandus.

Di dalam Kitab Suci, padang gurun berarti datang ke tempat pertemuan dengan Allah. (Semoga aku tidak menyesatkan anda kalian dengan penjelasan ini). Di sana, di padang gurun, umat Israel bertemu dengan Allah dan mendengarkan jalan-jalan Allah. Di padang gurun, mereka menjadi umat Allah sendiri dan Allah menjadi Allah mereka. Begitu pula yang dilakukan Yesus. Sebelum mengawali pelayanan-Nya di depan publik, Yesus menghabiskan 40 hari dan 40 malam di padang gurun. Itu adalah suatu masa penemuan dan pendalaman hubungan pribadi-Nya dengan Allah, Bapa-Nya. Jadi, seruan memasuki padang gurun, sesungguh merupakan sebuah ajakan yang disuarakan oleh Yohanes Pembaptistis kepada mereka, untuk "membiarkan pergi harapan dan jaminan mereka yang sesat" (…ya mungkin "keliruh" lebih nyaman terdengar…) dan "belajar untuk berharap dan percaya hanya pada Allah sendiri."

Yohanes Pembaptis menghidupi apa yang telah ia wartakan. Melalui gaya hidupnya, kebiasan-kebiasaan berpakaian dan makan, ia menunjukkan bahwa makna kehidupan tidak ditemukan dalam kelimpahan kepemilikan barang-barang duniawi, tetapi justru di dalam relasi dengan Allah. Kesederhanaan hidup dan pemisahan diri dari perhatian terhadap hal-hal yang tidak perlu serta kecemasan akan kehidupan sosial, membebaskan hati bagi suatu hubungan pribadi dengan Allah. Itu berarti meninggalkan tempat-tempat persembunyian kita yang biasa dan menempatkan diri kita sendiri dalam suatu keadaan di mana Allah dapat dengan mudah menjangkau kita. Itulah bukit-bukit yang harus diratakanlah dan itulah pula lembah-lembah yang perlu kita timbuni supaya tidak mempersulit Allah untuk menjumpai dan menyelamatkan kita.

Pada masa Adven ini Gereja menyampaikan kepada kita seruan/panggilan Yohanes Pembaptis untuk Bertobat dan Mengakui dosa-dosa kita sebagai persiapan bagi Dia yang akan datang. Ini merupakan suatu kesempatan untuk menemukan kembali ketergantungan yang seutuhnya pada Allah. Allah telah menciptakan kita bagi Diri-Nya dan akan terus mencipta, sebagaimana telah ditemukan Santo Agustinus, "Hatiku tidak tenteram sebelum beristirahat di dalam Allah." Amin.

Copyright © 22 Nopember 2008 by Paskalis Berkmans, SVD.

Tidak ada komentar: