Minggu, November 02, 2008

12. Persoalannya adalah Keterikatan pada Milik

Selasa, 04 Nopember 2008

Bacaan : Lk 14, 15-24

Saya sering mendapatkan hadiah dari beberapa sahabat. Kebanyakan mereka ingin agar hadiah itu saya gunakan untuk kepentingan saya, tetapi nyatanya barang-barang pemberian mereka tak pernah bertahan lama untukku, dan selalu saya berikan kepada yang lain yang memerlukannya. Di satu pihak memang ada rasa bersalah kepada si pemberi, tetapi di lain pihak saya sebenarnya senang karena saya bisa melepaskan keterikatan saya kepada milik, betapapun berharganya barang yang diberikan itu.
Kelihatannya, persoalan utama yang disentuh penginjil hari ini adalah keterikatan mutlak kepada milik. Hal ini terlihat pada alasan yang menyertai permintaan maaf orang-orang yang diundang itu. “Aku telah membeli ladang dan aku harus pergi melihatnya.... Aku telah membeli lima pasang lembu kebiri dan aku harus pergi mencobanya... Aku baru kawin dan karena itu aku tidak dapat datang.”(Luk 14, 18-20) Semuanya adalah alasan yang masuk akal dan manusiawi. Tetapi di dasar segala alasan ini adalah kelekatan atau keterikatan kepada apa yang diklaim sebagai milik, entah itu ladang, lembu maupun istri.

Ada kontras yang dihadirkan di sini. Di satu sisi si tuan rumah yang mewakili sikap Allah menawarkan kelimpahan pemberiaanNya dalam bentuk jamuan makan; dan di sisi lainnya para tamu yang diundang, yang bergelut dengan kepemilikan mereka kepada barang atau hal yang belum tentu pas untuk mereka. Tawaran perjamuan yang limpah ditolak, tetapi terus berkutat dengan problem harian yang belum tentu dapat diatasi.

Tak jarang persoalan yang sama ini kita hadapi dalam keseharian kita. Mendapatkan hal baru dan berguna, kita ingin mencobanya sampai mendapatkan hasil. Sering sekali begitu terkonsentrasinya kita kepada hal-hal itu, membuat kita mudah mengabaikan sapaan seorang sahabat, undangan dan ajakan mereka, dan mungkin juga hampir tak punya waktu untuk menghadiri misa Minggu ataupun undangan Tuhan untuk berdoa dalam kesunyian. Mengapa? Karena seluruh pikiran kita tertuju pada kerja, program, alat-alat yang kita punyai sehingga bisa memberikan hasil segera buat kita.

Seperti halnya si tuan rumah, Tuhan mengundang kita semua untuk datang menemuiNya, dalam sebuah jamuan pesta. “Marilah, sebab segala sesuatu sudah siap.” Sebuah undangan dengan jaminan, bahwa menghadiri undangan Tuhan sama artinya menikmati kepenuhan dan mahkota segala usaha dan karya kita. Bukan tidak mungkin, kita memperoleh cara pandang baru, jalan keluar baru dari kemelut keseharian kita. Bukankah Ia juga bersabda, “Marilah kepadaKu, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kepadamu.”?

Tuhan, seringkali perlu berhenti sejenak dalam keseharian hidup sambil memandang Dikau. Betapa undanganMu meneguhkan kesahajaanku. Amin

Copyright © 02 Nopember 2008, by Anselm Meo, SVD

Tidak ada komentar: