Senin, 30 Maret 2009
Masa Puasa
Bacaan : Yoh 8: 1-11
Pada hari ini kita diajak oleh penginjil Yohanes untuk menggali bersama dan menemukan pesan iman yang mau disampaikan melalui kisah tentang seorang perempuan yang ingin divonis hukuman mati oleh kaum Farisi karena berbuat dosa. Inilah sebuah kisah yang tampaknya aneh, yang dimiliki Gereja perdana. Mengapa? Ceritera ini tampaknya dikisahkan secara terpenggal-penggal. Sebagian dikisahkan dalam Injil Yohanes dan bagian yang lainnya juga bisa dijumpai dalam Injil Lukas. Kisah aslinya, begitu pendapat beberapa ahli, lebih condong kepada Santu Lukas. Itu karena, cerita ini justru merefleksikan tema-tema yang biasa digeluti Santu Lukas dalam Injilnya. Misalnya, perhatian kepada para pendosa, kepedulian terhadap kaum wanita atau pun tentang belaskasih Yesus.
Dari gambaran singkat perihal latar belakang cerita ini, muncul pertanyaan: “Mengapa ada orang tega memisahkan bagian ceritera ini dari Kitab Suci? Sebabnya, karena banyak orang pada zaman itu tidak sanggup memahami mengapa Yesus menaru simpati dan belaskasih kepada seorang wanita pendosa. Menurut mereka, wanita yang tertangkap basah sedang melakukan zinah, seharusnya dihukum mati. Karena begitulah yang dititahkan dalam Kitab Suci bahwa orang-orang yang berdosa seharusnya dijatuhi hukum mati (Bil 20:10). Bukankah ini tampak bertentangan dengan keadilan, begitu pikir mereka. Menurut mereka, belaskasih dan kemurahan hati merupakan tanda-tanda kelemahan. Tapi, mengapa Yesus justru menentang keadilan?
Bagaimana orang-orang Kristen dapat membaca ceritera yang mengagumkan perihal belas kasih Yesus yang telah dipisah-pisahkan dengan alasan demi pelayanan yang benar? Jawabannya terletak dalam bagaimana seseorang membacanya. Lewat membaca ceritera ini, ada orang langsung mengidentifikasi diri mereka dengan orang-orang Farisi. Minat mereka terfokus pada bagaimana berhubungan dengan orang lain yang melanggar hukum. Dan biasanya, jawaban mereka adalah bahwa keadilan sudah sepatutnya dihargai sebagaimana mestinya. Itulah hukum, itulah keadilan dan tugas kita hanyalah mengimplementasikannya. Mereka adalah orang-orang yang taat hukum, tetapi kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.
Tetapi, apabila kita membaca kisah ini dan tidak mengidentifikasikan diri kita dengan kaum Farisi, tetapi dengan perempuan itu, barulah mata kita dapat melihat bahwa sesungguhnya cerita ini menghembuskan kabar gembira. Dan itulah sebenarnya pesan dari kisah ini. Seperti perempuan itu, kita “semua telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23). Seperti perempuan itu, kita semua patut menerima hukuman mati, “karena upah dosa ialah maut” (Rom 6:23). Tetapi ketika Yesus hadir dalam peristiwa itu, Ia mengatasi hukuman mati kita akibat dosa. Ia membebaskan kita dengan Sabda pengampunan-Nya: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi” (Yoh 8:11).
Gereja menawarkan cerita ini untuk renungan kita pada hari ini, justru mengundang kita untuk melihat diri kita sendiri di dalam diri perempuan berdosa itu yang Yesus selamatkan dari kematian dengan resiko kematian bagi diri-Nya sendiri. Ceritera ini, karena itu, sangat tepat dijadikan pokok renungan ketika kita hendak memasuki Minggu Suci, manakala kita melihat Yesus mempersembahkan korban yang paling istimewa untuk menganugerahkan kita pengampunan, kita yang sudah dihukum mati oleh dosa-dosa kita. Ketika langkah kita hampir memasuki gerbang Minggu Suci, marilah kita berterima kasih kepada Yesus untuk cinta dan belaskasih-Nya. Dan hendaklah kita pun berjanji kepada-Nya bahwa kita akan bertanggung jawab untuk melakukan hal yang benar sebagaimana telah Ia katakan: pergilah dan jangan berbuat dosa lagi. Amin.
Copyright @ 28 Maret 2009 by P. Paskalis B. Keytimu, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar