Senin, 09 Maret 2009
Masa Puasa
Bacaan : Lk. 6: 36 -38
Perikop Injil pada hari ini mengandung ajakan yang serius kepada kita untuk tetap teguh mengasihi sekalipun orang-orang di sekitar kita tetap membara membenci kita. Setelah berbicara tentang penganiayaan, kekerasan yang akan selalu dihadapi para murid, sebagaimana telah dialami pula oleh para Nabi terdahulu, kini Yesus beralih berbicara tentang bagaimana sikap para murid dalam menghadapi kenyataan permusuhan. Dan apa yang diungkapkan Yesus, bukan merupakan sebuah kode umum tingkah manusia pada umumnya, tetapi hal-hal itu merupakan suatu standar sikap dan pola tingkah laku yang mesti diindahkan oleh para pengikut-Nya.
“Tetapi, kepada kamu yang mendengarkan, Aku berkata: kasihilah musuh-musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiap menampar pipimu yang satu, berikanlah kepadanya pipimu yang lain; dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkanlah juga ia mengambil pakaianmu.” (Lk. 6:27-30).
Kita bertanya: Apa yang dimaksudkan Yesus dengan ‘mencintai musuh’? Apakah Ia maksudkan kita seharusnya mempunyai musuh dan selanjutnya dalam cara yang misterius atau secara sembunyi-sembunyi mencintai mereka? Memperhatikan pada apa yang tengah Yesus bicarakan tentang para murid dan para penganiaya mereka, kita dapat memahami bahwa “musuh” yang Yesus maksudkan di sini adalah orang-orang membenci para murid dan bukan sebaliknya. Para murid seharusnya tidak menaruh benci kepada siapa pun. Bukankah kita tidak dapat mengontrol tentang bagaimana orang-orang lain memperlakukan kita, tetapi kita hanya dapat mengontrol bagaimana kita seharusnya memperlakukan sesama.
Para murid hidup di dalam sebuah masyarakat yang de facto membenci mereka dan memperlakukan mereka dengan sikap permusuhan. Apa yang Yesus minta dari mereka sebagaimana kita baca dalam perikop Injil hari ini yakni hendaklah mereka tidak menerapkan prinsip mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Hendaklah mereka tidak membalas orang yang membenci mereka dengan kebencian dan mengutuk orang-orang yang telah mengutuk mereka. Inilah sikap yang hampir tidak dapat dipahami oleh Gereja (orang-orang Kristen) sepanjang rentang 2000-an tahun lebih keberadaannya. Dalam hubungan ini, barangkali kita perlu bercermin pada kehidupan orang-orang saleh, seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr, guna membangun kembali kesadaran kita akan betapa amat penting sikap tanpa kekerasan sebagai norma utama dalam merespon aneka bentuk kejahatan, seperti penganiayaan, penindasan, penyimpangan dan ketidakadilan. Memang, Yesus tetaplah Guru Agung yang tak tertandingi sekaligus sebagai model utama bagi kita dalam mengimplementasikan sikap tanpa kekerasan sebagai ganjaran yang patut diterima oleh orang-orang yang berlaku tidak adil terhadap kita. Meskipun tak setitik pun kesalahan-Nya, Yesus digiring ke pengadilan dan di sana Ia dijatuhi hukuman mati. Dan ketika menerima eksekusi public pada salib, Yesus tetap sanggup mengatakan: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang merekaperbuat” (Lk. 23:34).
Kita pun akan lebih mudah mengampuni dan menawarkan sikap tanpa kekerasan kepada para musuh kita, orang-orang yang membenci kita dan bukan orang-orang yang kita benci, dengan mengingatkan pada diri kita sendiri bahwa mereka telah bertindak dalam ketidaktahuan, dan bahwa pada suatu saat nanti kebenaran yang mengadili mereka. Sikap tanpa kekerasan itu, tidak terbatas pada lingkup gerakan-gerakan sosial. Tetapi sikap itu pun dituntut untuk diterapkan dalam lingkup kehidupan keluarga sebagai Gereja Mini dan di dalam relasi antar pribadi, di mana kita dapat menjadi korban kekerasan kata-kata dan fisik. Ingat bahwa prinsip mata ganti mata, hanya akan membuahkan semua orang buta. Jika dalam kehidupan kita ada kalajengking kebencian terus menyengat, hendaklah kita tetap setia pada komitmen untuk mencintai dan mencintai. Amin.
Copyright © 06 Maret 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD