Minggu, 08 Maret 2009
Minggu II Masa Puasa
Bacaan : Kej. 9:8-15; 1Ptr. 3:18-22; Mrk 1:12-15
Kesiap-sediaan kita untuk berkorban bagi mereka yang kita cintai merupakan suatu indikasi yang baik tentang luas dan dalamnya cinta yang sejati. Pengorbanan dapat mewujud dalam berbagai bentuk, antara lain: dalam wujud perhatian yang serius kepada seseorang, atau pun menyediakan waktu kita untuk sesama, dan lain-lain. Di dalam Perjanjian Lama, bisa kita temukan beberapa kisah yang mengungkapkan tentang korban yang dituntut oleh Allah dari pihak manusia, sekaligus Allah menunjukkan aspek penyimpangan dalam hal korban. Korban persembahan yang benar adalah suatu perubahan hati yang nyata, riil.
Abraham adalah pribadi yang memiliki karakter yang mempesonakan. Kita tentu berpikir tentang kualitas pribadinya yang membuat dirinya patut dikasihi, tetapi sesungguhnya yang membuat Abraham bertahan di dalam segala situasi hidupdi justru karena kedalaman kesalehannya dan kesunguhannya mengabdi kepada Allah. Tidak hanya ia ingin mempersembahkan putra semata wayangnya, tetapi juga memiliki kepercayaan kokoh bahwa Allah akan menyediakan baginya anak domba untuk korban bakaran. Ia tidak pernah ragu dalam beriman.
Allah selalu menganugerahkan kepada kita lebih banyak daripada apa yang kita minta. Dalam Masa Puasa ini, kita diminta untuk bertumbuh dalam persahabatan dengan Allah lewat mempersembahkan hal-hal baik yang telah Allah berikan kepada kita. Cerita tentang Abraham sebetulnya menghimbau kita untuk tidak tanggung-tanggung berlaku dermawan kepada Allah, sekaligus mempercayakan segenap hidup dan keberadaan kita seutuhnya kepada-Nya.
Tidak setiap kita diciptakan dengan semangat dan keberanian yang sama seperti Abraham. Kadang-kadang kita menghadapi suatu tantangan yang rumit dan kita butuh rahmat khusus untuk memikulnya. Barangkali inilah salah satu alasan mengapa ketiga rasul yang dihadapan mereka Yesus menyampaikan tentang penderitaan yang akan ditanggung-Nya, diperkenankan untuk menyaksikan penampakkan kemuliaan Yesus. Kodrat Keilahiaan-Nya menutupi tubuh kemanusiaan dengan gemerlap cahaya. Yesus memperlihatkan kodrat keilahian-Nya sehingga murid-murid sadar dan percaya bahwa Ia disalibkan bukan karena ketakberdayaan-Nya melainkan karena Ia memilih jalan penderitaan itu demi keselamatan kita.
Di zaman Santu Markus penginjil, banyak orang percaya akan kebangkitan dari kematian, dan mereka memahaminya dalam istilah-istilah yang komunal, seperti restorasi atas bangsa Israel atau kebangkitan dari para pengikut Kristus. Pertemuan Yesus dengan Elia dan Musa di atas puncak gunung merupakan suatu tanda bahwa surga akan menjadi nyata bagi manusia, suatu reuni yang agung, tidak hanya dengan orang-orang yang sudah kita kenal dan cintai tetapi dengan semua orang yang baik di dalam sejarah umat manusia. Dengan kata lain, surga akan menjadi suatu tempat di mana tak akan ada lagi rintangan untuk persaudaraan dan persahabatan di antara manusia. Dengan demikian, dalam Injil hari ini, kita tidak saja mendengar kisah tentang penampakkan kemuliaan Yesus, tetapi hal itu sekaligus merupakan suatu signal, isyarat tentang kemuliaan yang akan kita alami nanti.
Untuk sesaat Petrus memahami peristiwa penampakkan kemuliaan Kristus sebagai isyarat mengenai berdirinya suatu kerajaan baru tanpa melewati upaya-upaya yang keras dan konkrit. Ia tidak menghendaki penglihatan yang menakjubkan itu berlalu. Tetapi, sesungguhnya ketiga murid yang diajak menemani Kristus ke gunung itu bukan untuk melarikan diri dari dunia nyata. Suara Allah yang terdengar, mengandung perintah agar mereka mendengarkan Yesus, dan serta merta mereka cuma menemukan diri mereka sendiri bersama dengan Yesus. Sekarang adalah saatnya bagi mereka untuk turun dari gunung dan menapakkan lagi kaki di jalan itu. Sebuah jalan yang teramat sulit untuk dilalui, dan sebuah penampakan yang mendalam terbentang ke depan, penampakan Cinta Ilahi yang tersalibkan.
Sepanjang rentang Masa Puasa ini, kita diajak untuk merangkul, memeluk erat salib sehingga kita nantinya dimuliakan seperti tubuh kemanusiaan Kristus yang sudah sekilas tampak mulia di atas puncak gunung itu. Kita tidak diminta untuk bermegah tetapi untuk mati. Mati terhadap diri sendiri sehingga cinta-Nya boleh menaungi dan merasuki kita secara lebih sempurna. Pengorbanan yang benar harus lahir dari sesal dan tobat hati yang mendalam. Itu berarti, sungguh-sungguh menyediakan waktu dan memberi tempat bagi Allah dalam seluruh hidup dan karya kita dan menaruh perhatian penuh serta setia berusaha melaksanakan kehendak Allah dalam hidup ini. Dan itulah satu-satunya jalan menuju Kerajaan Allah. Jalan yang telah dilewati Abraham dan yang diminta untuk kita lalui pada masa puasa ini. Amin.
Copyright © 05 Maret 2009 by P. Paskalis B. Keytimu, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar