Senin, 01 Juni 2009
Pesta St. Yustinus, Martir
Bacaan : Mk 12, 1-12
Mestinya ada alasan khusus mengapa perumpamaan tentang para pekerja di kebun anggur dikisahkan oleh Yesus dalam Injil hari ini. Kalau kita membaca dengan seksama, Yesus sesungguhnya berada dalam situasi yang sulit, di mana kekuasaanNya tak diakui oleh para penguasa Yahudi masa itu. Bagi para pembaca dan pendengarNya, perumpamaan yang disampaikan Yesus sebenarnya mudah dicerna dan dimengerti. Mereka tahu dengan baik apa yang dimaksudkan Yesus dengan kebun anggur yaitu umat Israel dan siapakah pemilik kebun anggur itu yakni Allah sendiri.
Di hadapan para pendengarNya, Yesus memaparkan betapa sejarah bangsa Israel diberkati dengan kehadiranNya sendiri yang tak lain adalah sang Anak yang diutus untuk menyelamatkan bangsa itu bahkan melalui penolakan dan pembunuhan atas diriNya sendiri. Sampai di sini kisah ini memang masih enak didengarkan oleh pendengarNya, tetapi ketika berbicara lebih lanjut bahwa yang membunuh sang Putra tidak lain adalah para pekerja kebun anggur yang adalah para pemimpin agama dan bangsa Yahudi, di sinilah reaksi penolakan atas Yesus menjadi terang-terangan. Penginjil Markus melukiskannya cukup jelas, "Akhirnya ia menyuruh dia kepada mereka, katanya: Anakku akan mereka segani. Tetapi penggarap-penggarap itu berkata seorang kepada yang lain: Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, maka warisan ini menjadi milik kita. Mereka menangkapnya dan membunuhnya, lalu melemparkannya ke luar kebun anggur itu. Sekarang apa yang akan dilakukan oleh tuan kebun anggur itu? Ia akan datang dan membinasakan penggarap-penggarap itu, lalu mempercayakan kebun anggur itu kepada orang-orang lain. Tidak pernahkah kamu membaca nas ini: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita." Lalu mereka berusaha untuk menangkap Yesus, karena mereka tahu, bahwa merekalah yang dimaksudkan-Nya dengan perumpamaan itu. Tetapi mereka takut kepada orang banyak, jadi mereka pergi dan membiarkan Dia.
Kendatipun akhir kisah ini menunjukkan betapa marahnya para penguasa Yahudi kepada Yesus, kita sebenarnya dihadapkan pada satu poin penting yang hendak ditunjukkan Yesus, yakni tentang arti sejati dari setiap kekuasaan. Kepada para pendengarNya, sang Guru ingin menunjukkan bahwa otoritasNya sejati, otoritasNya yang benar bermula dari cintakasih Allah yang ingin menyelamatkan bangsa pilihanNya. Dan di dalam diri Yesus kekuasaan dan otoritas itu terungkap dalam cintaNya yang tanpa batas dan tanpa pandang buluh kepada siapapun.
Yang menjadi sumber otoritas dan kuasa Yesus bukanlah peran yang dimainkan, bukannya jabatan yang diletakkan di pundakNya, atau pengaruh yang dimilikiNya, tetapi sumbernya ada pada cintaNya tiada batas, yang sumbernya ada pada Allah BapaNya sendiri.
Sebuah petunjuk dan ajakan bagi semua yang mengakui Nama Yesus sebagai Tuhan, dan bagi semua komunitas yang berbangga menyatakan diriNya komunitas Kristen. Bahwa kuasa sejati di bidang apa saja, baik di bidang rohani maupun di bidang sosial politik, harusnya bersumber dari cinta yang tanpa batas, yang menghendaki kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia dan diwarnai oleh pelayanan penuh pengorbanan.
Tuhan Yesus, Santu Yustinus menunjukkan dengan kemartirannya bahwa cinta sejati adalah asal segala kuasa di bumi ini. Mampukanlah kami murid-muridMu untuk mencintai tanpa pamrih dalam berbagai bidang tugas pelayanan kami dan dalam berbagai jabatan kami. Amin.
Copyright © 30 Mei 2009 by Ansel Meo SVD