Sabtu, Maret 14, 2009

143. Memeluk Salib atau Berpihak Pada Agama Kemakmuran?

Tambah Gambar
Minggu, 15 Maret 2009
Minggu Ketiga Masa Puasa

Kej. 22:1-2.9-13.15-18; 1Kor 1:18.22-25; Mrk 9:2-10

Memasuki Minggu ketiga Masa Puasa ini, saya mengajak kita untuk mengarahkan perhatian pada refleksi tentang Salib sebagai bagian yang paling esensial dari iman Kristen yang sejati. Inilah yang menjadi inti pengajaran Santu Paulus kepada umat di Korintus sebagaimana kita dengar dalam bacaan kedua dalam liturgi pada hari ini.

Menurut Santu Paulus, warta Kristiani adalah warta tentang salib. Inilah penegasannya: ”Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor.1:18). Paulus mengakui bahwa untuk para beriman yang tulen, salib adalah kekuatan Allah, tetapi suatu kebodohan bagi kaum beriman yang tersesat. Ia mengingatkan bahwa jalan salib adalah suatu jalan penuh kesulitan, penderitaan dan pertentangan. Tetapi sebagai orang-orang yang beriman sejati, tak ada pilihan lain kecuali bertahan melangkah mengikuti Yesus, Tuhan yang tersalib dan bangkit. Sesungguhnya, ganjaran bagi iman yang benar bukanlah dari dunia ini. Percaya bahwa pahala untuk kebajikan dapat ditemukan di dunia adalah suatu kekeliruan, karena yang sering dijumpai adalah penyembahan berhala (menyembah kuasa, harta dan kekayaan, dll). Memang, pemberitaan tentang salib berjalan berseberangan dengan prapaganda agama kemakmuran.

Santu Paulus mengakui bahwa ajaran Kristen yang benar, teologi tentang salib, tidak bisa dimengerti lewat standar atau ukuran pemahaman manusiawi. Mengapa? Karena salib, di mata manusia hanya menyingkapkan kelemahan dan kebodohan Allah. Tapi, ingat, Paulus tidak berhenti di sini. Lebih lanjut, dengan keyakinan yang mendalam ia menegaskan, “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia” (1Kor.1:25).

Lebih lanjut Paulus menunjukkan contoh tentang standar pemikiran manusiawi dalam memahami warta kristiani. “Orang Yahudi menghendaki tanda dan orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan, untuk orang orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang yang bukan Yahudi suatu kebodohan. Tetapi untuk mereka yang dipanggil baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1Kor.1:22-24).

Orang-orang Yahudi menuntut tanda-tanda. Menurut kepercayaan mereka, Mesias, Putra Allah harus membuktikan itu melalui tanda-tanda dan mukjizat. Kita tentu masih ingat penegasan Yesus ini: tak ada tanda-tanda dan mukjizat bagi angkatan ini. Ketika setan mencobai Yesus untuk turun dari puncak bubungan Kanisah dan dengan itu rakyat akan percaya kepada-Nya; dan ketika seorang serdadu yang menjaga di bawa kaki salib mengejek Yesus dengan kata-kata “Orang-orang lain Ia selamatkan; tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan. Ia adalah Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya” (Mt 27: 42). Apakah Yesus menyerah kepada pencobaan-pencobaan ini? Apakah Yesus membuktikan harapan-harapan mereka? Tidak! Yesus justru memberikan kepada mereka sebuah tanda negatip. Salib adalah tanda negatip itu. Bagi orang-orang Yahudi, fakta bahwa Yesus yang bergantung di salib, sama sekali tidak membuktikan apa pun bahwa Ia adalah Putra Allah. Sekali lagi, mereka mencari tanda dan mukjizat , tetapi apa yang mereka peroleh adalah Salib, sebuah tanda negatip.

Di pihak lain, orang-orang Yunani menuntut hikmat. Mereka mengembangkan suatu metode berpikir tentang Allah dan mengharapkan Allah bertindak seturut metode berpikir itu. Misalnya, mereka percaya bahwa Allah tidak dapat menderita. Karena itu, Yesus yang menderita dan mati di salib tidak dapat mengklaim diri-Nya sebagai yang ilahi. Di sini, penyaliban Kristus lalu menjadi suatu halangan untuk menerima warta Kristen.

Salib adalah suatu rintangan besar untuk memeluk iman Kristen yang benar bagi orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani. Bagaimana dengan orang-orang Kristen Katolik jaman ini? Apakah salib masih tetap merupakan sebuah problem yang tak terselami maknanya? Apakah kita juga tergoda untuk menyembah agama kemakmuran? Kita berdoa dan menyembah Allah ketika segala sesuatu berjalan baik dalam hidup kita. Tetapi, apakah kita masih bisa berdoa dan menyembah Allah ketika kesulitan datang menerpa dan hidup terasa pahit? Dalam masa puasa ini, baiklah kita berdoa dan memohon agar Allah menambahkan lagi kekuatan iman kita sehingga kita dapat mencintai dan melayani Allah dalam segala kondisi hidup kita, sehingga kita sanggup berkanjang dalam iman yang benar, baik ketika matahari bersinar sejuk pun ketika kegelapan menyelimuti, sehingga kita tetap setia pada iman kita, mencintai dan melayani Allah, pun ketika akan bergantung pada salib dan merasa seperti Allah sungguh-sungguh meninggalkan kita. Amin.

Copyright © 14 Maret 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD

Kamis, Maret 12, 2009

142. Pembaharuan Hidup

Sabtu, 14 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan : Lk 15:1-3,11-32

Bahan renungan kita hari ini diambil dari Injil Lukas bab 15: Perumpamaan tentang Anak Yang Hilang. Kisah perumpamaan ini memang sudah begitu akrab dengan kita tetapi selalu tetap menarik untuk direnungkan. Mengapa? Karena ia berbicara dengan lantang tentang manusia dalam hubungan dengan Allah dan dengan sesamanya. Yesus membuat sebuah ilustrasi yang sangat relevan dengan situasi hidup kita dan tepat sasar. Ia berkisah tentang seorang bapa tua, yang adalah Allah sendiri, seorang putra dengan karakter ingin hidup glamour dan berfoyah-foyah. Dan itu sebetulnya mengatakan tentang kita sebagai orang-orang yang punya kecenderungan ke arah hidup itu dan tentang orang-orang lain yang belum melihat terang keselamatan. Akhirnya, kisah itu menggambarkan pula seorang putra yang lain yang punya sifat sulit mengampuni. Dan itu pun berbicara tentang kita yang dalam kenyataan, gampang-gampang susah untuk mengampuni sesama.

Lebih lanjut, dikisahkan bahwa sang ayah membagi-bagikan seluruh harta kekayaan kepada kedua putranya. Masing-masingnya mendapatkan bagian yang sama banyak. Ia tidak menunjukkan adanya perbedaan perlakukaan terhadap kedua putranya. Keduanya diperlakukan dengan kasih sayang yang sama. Sang ayah tidak mengenal “anak manis”, yang tentu bertentangan dengan perlakuan kita terhadap putra-putri kita dan terhadap sesama. Perbedaannya justru terlihat dalam diri kedua putra. Yang satu memutuskan untuk tinggal di rumah dan membantu ayahnya, yang dalam istilah perumpamaan mengandung makna setia berkarya demi datangnya Kerajaan Allah. Sementara putra yang lain, meninggalkan rumah karena ingin membangun kerajaannya sendiri dengan menghabiskan segala hal yang baik yang telah diberikan oleh ayahnya. Akhirnuya harta yang tersisah padanya adalah menemukan diri asing. Tak ada kegembiraan dan kedamaian, karena ia telah mengikianati kebaikan dan cinta ayahnya. Begitu pula akan terjadi pada diri kita, jika kita tidak melakukan tugas dan kewajiban kita sebagaimana mestinya, apabila kita melupakan tujuan hidup kita yang sesungguhnya. Dan itulah sebetulnya keadaan kita sebelum mengalami cinta Allah. Maka, dengan merendahkan diri seperti yang dilakukan putra bungsu dalam perjalanan kembali kepada bapanya, hendaklah kita menyadari sungguh siapa diri kita di hadapan Allah, sesama dan lingkungan sekitar, lalu dengan rendah hati berpaling kepada takhta kerahiman Allah. Dan pastikan bahwa kita akan diterima kembali oleh Allah sebagaimana sang bapa menerima kembali anaknya dengan cinta.

Satu hal lain yang tentunya menarik perhatian kita yakni sikap si sulung ketika menyaksikan saudaranya, si bungsu kembali ke rumah bapanya. Ketika si bungsu kembali ke rumah, si sulung seharusnya ikut bergembira dan mencintainya sebagaimana bapanya bergembira dan mencintai mereka. Tetapi, ia tidak memiliki model cinta itu. Ia membiarkan hatinya dikuasai oleh kemarahan, kebencian bahkan dendam kesumat. Ia melihat saudaranya bukan dari perspektif sebagai seorang saudara yang telah mengalami pembaharuan diri, tetapi meluluh dari sudut seorang saudara yang telah mengkhianati relasi persaudaraan dan cinta keluarga. Kita pun dapat dengan mudah menjadi saudara yang tidak penuh cinta, saudara yang mengalami kehilangan total cinta kasih. Kadang kita tidak sanggup mengontrol diri, sehingga begitu gampang kemarahan meledak ketika melihat sesama berperilaku kurang sopan. Sering kita memohon agar Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita, dan kita pun berjanji kepada Allah untuk berbuat hal yang sama kepada sesama. Namun, sering pengampunan yang kita tawarkan cuma rumusan kata-kata hampa yang terucap dari bibir karena meterai hitam tentang “si dia yang berdosa/bersalah” tetap terpatri di dalam hati dan pikiran kita. Kalau direnungkan dengan sungguh, kita sebetulnya terjerumus ke dalam kebobrokan baru, yakni dosa ketidakadilan. Karena ketika kita diperdamaikan Allah dengan Diri-Nya di dalam Kristus, kita sekaligus menyatakan siap untuk menjadi agen-agen Kristus yang membawa perdamain kepada sesama. Tetapi seringkali kita hanya bisa berjanji dengan mengulang kata-kata “esok, aku akan melaksanakannya pada setiap hari baru.”

Karena telah mengalami diperdamaikan oleh Allah, maka sekarang adalah tugas kita untuk membawa rekonsiliasi yang sama kepada sesama. Karena telah mengakui sebagai saudara dan saudari Kristus, maka sekaranglah tugas kita untuk melanjutkan pekerjaan Kristus. Kita seharusnya menjadi alat-alat yang menghantar orang-orang lain untuk menemukan dan mengalami kembali relasi yang baik dan benar dengan Allah.

Rekonsiliasi bukanlah sebuah gagasan abstrak yang sulit dipahami. Itu berarti, dengan mengikuti Kristus kita menjadi orang-orang yang penuh kasih dan harus membiaskan itu kepada orang-orang lain dalam kehidupan kita, khususnya mereka yang berada dalam kesulitan, kesesakan, cinta yang Allah telah berikan kepada kita dan yang kita tawarkan kepada sesama.

Copyright © 12 Maret 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD

141. Kata-Kata Dan Perbuatan Baik

Jumad, 13 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan : Mat 21:21-33.43.45-46
Salah satu hal menarik dari pengajaran Yesus sebagaimana kita jumpai dalam Injil hari ini yakni Perumpamaan tentang kedua putra, yang mengatakan satu hal dan melakukan hal yang lain. Diminta oleh ayah mereka untuk pergi dan bekerja di kebun anggur, putra yang pertama mengatakan tidak, tetapi kemudian mempertimbangkan kembali keputusannya, lalu melakukan perintah ayahnya. Sedangkan putra kedua, dengan sangat sopan dan yakin menjawab ya, tetapi gagal membuktikan jawabannya. Siapakah yang sesungguhnya melakukan apa yang dikehendaki sang ayah? Tampak jelas bahwa kita akan menjawab, putra pertama yang telah mengatakan tidak kepada ayahnya. Yakinkah kita?

Yesus menceriterakan perumpamaan ini di Kenisah di Yerusalem justru beberapa hari sebelum Ia ditangkap, diadili dan divonis hukuman mati. Selama tiga tahun Ia telah mengajar, mengundang umat untuk bertobat dan percaya kepada Kabar Gembira. Dalam kenyataan, Ia menyaksikan bahwa hanya para pendosa publik, seperti para pemungkut bea dan para pelacur yang menanggapi undangan-Nya. Para pemimpin Agama, kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat, sekalipun setelah mereka merasa bahwa ada kekuatan ilahi dalam pewartaan Yesus, mereka lebih memilih untuk menentang daripada mempercayainya. Sikap yang sama mereka perlakukan pula terhadap Yohanes Pembaptis, sebagaimana Yesus tegaskan: “Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya” (Mt 21:32). Kadang orang-orang beragama begitu mengikuti keyakinan pribadinya, sehingga mereka gagal untuk mendengarkan surara Allah.

Perumpamaan ini menyamakan para pemungut bea dan para pelacur dengan putra yang pertama, yang mengatakan tidak, tetapi kemudian melaksanakan perintah ayahnya; dan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat dengan putra yang kedua, yang dengan entusias menjawab ya, tetapi tidak mewujudkan permintaaan ayahnya. Kelompok yang satu tidak memiliki kata-kata yang baik tetapi punya perbuatan baik. Sementara kelompok yang satunya lagi, memiliki kata-kata yang baik tetapi tidak berhubungan sama sekali dengan perbuatan baik.

Kedua kelompok ini sebetulnya merupakan representasi dari dua model umat dan cara-cara yang berbeda, mereka berhubungan dengan Allah. Ada kelompok orang yang tidak punya kata-kata yang baik, seperti orang-orang yang mengaku tidak punya iman, yang tidak pergi ke Gereja, yang tidak berdoa. Tetapi, kadang-kadang, ketika terjadi ketidakadilan dalam hidup bermasyarakat, justru merekalah orang-orang pertama yang tampil dan mengupayakan ditegakkannya keadilan. Atau, ketika melihat orang-orang yang kedinginan, merekalah yang pertama menyumbangkan selimut; ketika terjadi gempa bumi, merekalah orang-orang pertama yang akan mengurangi anggaran sebungkus rokok demi menyumbangkan kepada para korban. Orang-orang ini memang tidak punya kata-kata yang baik, untuk disampaikan kepada Allah, tetapi ketika mereka melakukan hal-hal baik seperti ini, mereka sebetulnya sedang melakukan apa yang Allah perintahkan kepada kita semua untuk dilakukan.

Ada pula orang-orang yang memiliki kata-kata baik, seperti orang-orang yang setia datang ke Gereja pada setiap hari Minggu dan menyampaikan kepada Allah: “Amin, saya setuju, saya percaya. Tetapi kadang ketika saatnya menuntut tindakan konkrit sebagai suatu wujud melaksanakan kehendak Allah, kita hanya sampai pada taraf kehendak. Jika kita meneruskan sikap ini dalam kehidupan kita, ,kita sebetulnya mengacuhkan peringatan bahwa Kerajaan Allah akan diambil dari kita dan diberikan kepada orang-orang yang menghasilkan buah bagi Kerajaan Allah. Mereka akan mendahului kita memasuki Kerajaan Allah.

Saya menuntup renungan ini dengan mengajukan pertanyaan reflektif berikut. Siapakah dari kedua putra itu yang dapat dipandang sebagai putra ideal? Dia yang blak-blakan atau berterus terang mengatakan tidak di hadapan ayahnya; atau dia yang mengatakan ya tetapi tidak disertai dengan tindakan lanjut? Jawabannya adalah tak seorang pun dari kedua putra yang masuk kategori sebagai putra ideal. Para putra dan putri yang ideal adalah orang-orang yang mengatakan YA kepada orangtuanya dan selanjutnya pergi untuk melakukan apa yang diperintahkan. Dan inilah yang seharusnya menjadi tujuan perjuangan kita. Teguh dan setia berjuang dari hari ke hari untuk mengakui iman kita dalam dalam kata dan perbuatan yang baik. Bukankah kita tahu bahwa “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku Tuhan, Tuhan, akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di Surga! Amin.

Copyright © 12 Maret 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD

140. Karya karitatif: iman yang menyata dalam tindakan

Kamis, 12 Maret 2009
Masa Puasa
Bacaan: Lukas 16, 19 - 31

Dalam perikop injil hati ini, Santo Lukas melukiskan perumpamaan Yesus yang ditujukan kepada orang-orang Farisi. Sebutan orang Farisi dikenakan kepada sekelompok orang Yahudi yang saleh yang amat memperhatikan pelaksanaan hukum taurat. Dengan demikian mereka menganggap diri sebagai anak Abraham karena taat sekali pada kehendak Allah yang tertulis dalam hukum taurat itu. Dengan keyakinan ini mereka merasa diri akan memiliki hidup yang kekal.

Justru cara pikiran inilah yang hendak dilawan oleh Yesus dengan menyodorkan perumpamaan orang kaya dan Lazzarus yang miskin. Percaya akan asal usul keluarga sebagai turunan Abraham atau sekurang-kurangnya memiliki kepercayaan yang sama seperti Abraham, menurut Yesus belum menjamin akan memiliki hidup yang kekal. Yesus menunjuk sesuatu yang lain yaitu tindakan nyata berupa karya karitatif membantu sesama yang sedang menderita, sesama yang tak dikenal dan ditelantarkan. Orang-orang seperti ini ditemukan di mana-mana malah di depan pintu rumah, bahkan dalam rumah sendiri.

Kalau kita merenungkan perikop ini dalam suasana masa puasa, maka teks ini mengungkapkan sisi lain dari puasa. Sisi lain itu adalah melepaskan belenggu kemiskinan dan kesengsaraan, penyakit dan peperangan, ketidakadilan dan keserakahan yang ditemukan dalam setiap situasi dimana kita ada dan hidup.

Tindakan nyata dalam hal-hal ini merupakan pengungkapan iman yang konkrit. Percaya kepada Allah mesti nyata dalam tindakan konkrit mengasihi, menerima dan melepaskan belenggu kesengsaraan sesama yang dijumpai.

Ya Tuhan, berilah saya kepekaan hati untuk mengungkapkan iman saya dalam perbuatan nyata membantu sesama keluar dari kesengsaraan yang membelenggunya. Amin

Copyright © 12 Maret 2009, by Paulus Tolo SVD

Selasa, Maret 10, 2009

139. Menerima Resiko dari Pilihan Dalam Hidup

Rabu, 11 Maret 2009
Masa Puasa

Bacaan : Mat 20, 17-28

Injil hari ini menampilkan beberapa peristiwa penting. Di antaranya adalah penyampaian Yesus tentang penderitaanNya yang bakal Dia hadapi di Yerusalem dan permintaan Yesus tentang sebuah gaya hidup yang mesti mereka hidupi sebagai muridNya dalam pelayanan dan kerendahan hati. Dan di antara kedua penyampaian ini, ada sebuah episode menarik yakni menyangkut permintaan ibu dua orang bersaudara : Yakobus dan Yohanes.

Keduanya bertemu Yesus di tepi danau Galilea, ketika Yesus memanggil mereka untuk menjadi muridNya, tatkala melihat mereka untuk pertama kalinya. Di sanalah mereka memulai perjalanan kemuridan mereka bersama sang Guru. Dan sama seperti para murid Yesus yang lain, mereka berdua pun sering tak mengerti dengan baik tanda kasih Yesus kepada mereka, dan karenanya bisa dimengerti kalau dalam upaya mereka untuk menjadi orang dalam itu, mereka juga berusaha mendapatkan peran dan jabatan yang penting.

Inilah yang menjadi latar belakang kenapa ada permintaan tadi. Penginjil Mateus menceritakan demikian, "Maka datanglah ibu anak-anak Zebedeus serta anak-anaknya itu kepada Yesus, lalu sujud di hadapan-Nya untuk meminta sesuatu kepada-Nya. Kata Yesus: "Apa yang kaukehendaki?" Jawabnya: "Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." Tetapi Yesus menjawab, kata-Nya: "Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?" Kata mereka kepada-Nya: "Kami dapat." Yesus berkata kepada mereka: "Cawan-Ku memang akan kamu minum, tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa Bapa-Ku telah menyediakannya."

Tak heran memang, permintaan ini memancing reaksi langsung dari yang lainnya, yang sebenarnya di kedalaman hati mereka juga bergaung permintaan dan kerinduan yang sama. Dari jawaban Yesus kepada mereka seraya menghubungkan dengan penyampaian ramalan tentang penderitaan sang Guru, kita sebenarnya diajak untuk melihat dan merenungkan betapa pentingnya untuk menyiapkan diri menerima resiko dari pilihan kehidupan. Yesus paham betul bahwa pemberitaan khabar Gembira yang diembanNya pasti akan membuatNya mesti menghadapi tantangan dan penderitaan. Tapi Ia siap. Karenanya Ia melanjutkan perjalananNya menuju Yerusalem.

Masih dalam garis pemikiran ini, ajakan untuk kedua bersaudara sebenarnya sama motifnya. Bahwa keduanya mesti siap menerima risiko karena pilihan mereka menjadi muridNya. Dan memang itulah yang terjadi dalam hidup muridNya ini. Mereka terus melanjutkan ziarah kemuridan mereka dan mereka menerima resikonya dengan sendiri menyerahkan hidup mereka karena Yesus. Pertemuan mereka dengan Yesus yang bangkit serta anugerah serta penyertaan Roh Kudus menyanggupkan mereka memberikan diri mereka hingga mati sebagai martir. Jadi Yakobus memang meminum dari piala yang diminum Yesus. Karenanya hidupnya menjadi sebuah pemberian yang penuh, sebagaimana yang diminta Yesus dari mereka.

Sungguh sebuah permenungan yang perlu didalami terus menerus dalam upaya kita menjadi murid Yesus. Pilihan apapun yang kita buat, selalu membawa kita untuk menerima resikonya. Untuk setia kepada pilihan kita perlu melihat dan mengikuti sang Guru. Kiranya pewartaan hari ini membantu kita untuk menatap resiko dalam perutusan dengan besar hati, karena kepenuhan hidup bukan terletak pada upaya mempertahankannya, tetapi menyerahkannya dalam pelayanan bagi yang lain.

Tuhan, bantulah kami untuk memahami kebijaksanaan ajaranMu ini: bahwa kami mempertahankan hidup ketika kami memberikannya, kami menjadi besar ketika kami mau melayani. Amin.

Copyright © 10 Maret 2009, by Ansel Meo SVD

138. Di Dalam Kristus, Kita Adalah Saudara Dan Saudari

Selasa, 10 Maret 2009

Masa Puasa

Bacaan : Mat. 23: 1-12

Adalah sebuah pengalaman menarik, kisah seorang sahabat. Sekelompok misionaris diutus untuk berkarya di Zambia. Ketika tiba mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa hampir semua misionaris yang bekerja di wilayah itu berkebangsaan Amerika. Para misionaris Amerika ini, biasanya menyapa Uskup, yang adalah seorang Afrika, dengan namanya. Sementara itu, umat biasanya menyapa Uskupnya dengan “Tuhanku.” Suatu hari, seorang wanita datang untuk bertemu dengan Uskup. Sebelum bertemua dengan Uskup, ia berjumpa dengan seorang misionaris Amerika. Ia bertanya kepada misionaris tersebut: “Di manakah Tuhanku?” Dengan senyum sang misionaris menjawab: Tuhan kita ada di Tabernakel.”

Vatikan II telah membawa perubahan dan pembaharuan di dalam Gereja. Tetapi adalah menarik bahwa menyangkut titel yang dialamatkan kepada para pemimpin Gereja, tampaknya tidak mengalami perubahan apa pun. Seorang uskup misalnya, biasa disapa dengan “Yang Mulia”, atau seorang kardinal, disapa dengan Sri atau Yang Termasyur.” Tentu kita berpikir begini, bagaimana Gereja mengisinkan penggunaaan titel-titel yang kedengaran sangat mulia, sapaan-sapaan yang dengan jelas menyiratkan adanya tingkatan dalam relasi di antara manusia: Yang superior dan yang Rendah/Bawahan.” Padahal, Gereja terus menerus membaca dan merefleksikan perihal pengajaran Yesus sebagaimana dituturkan oleh penginjil Lukas pada hari ini.

Tentu, kita tidak begitu saja memahami kata-kata Yesus itu secara literer. Pesan yang mau disampaikan Yesus lebih menyentuh pada soal bagaimana menghayati dan melakukannya dengan sikap dan perilaku yang konkrit daripada hanya menggunakan kata-kata atau istilah-istilah belaka. Sebagai contoh, katakan ada seorang nabi yang mendirikan Gereja lalu meminta para pengikutnya manyapa dia dengan “saudara.” Tetapi setiap hari ia duduk di takhta dan saudara-saudarinya datang kepadanya dengan berjalan menggunakan lutut mereka. Atau, seorang pemimpin tinggi di pemerintahan, sebut saja duta, yang secara literer berarti hamba, apakah gelar-gelar itu dapat membuat mereka menjadi cukup rendah hati? Hukum Kristus lebih menuntut perbuatan nyata, nampak dalam sikap dan perilaku, bukan lewat kata-kata indah.

Hari ini dalam Injil, kita justru mendengar Kabar Gembira. Ia tidak meniadakan otoritas ilahi atas jabatan. Orang yang menduduki jabatan sebagai pengajar di tengah-tengah umat Allah, barangkali sebagai pribadi kurang setia, tidak mempraktekkan apa yang ia ajarkan. Tetapi Allah adalah setia dan menjamin sehingga jabatan pengajar tidak terkontaminasi dengan kesalahan, dan dengan demikian ajaran itu sendiri tetap baik dan sah.

“Ahli-ahli Taurat dan Orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu, turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengjarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mt 23:2-3)

Pernahkah kita mempunyai pengalaman yang kurang baik karena mengetahui bahwa beberapa pemimpin Kristen yang bermuka dua, yang munafik seperti ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi sebagaimana dilukiskan dalam Injil hari ini? Tantangan bagi kita adalah sebaiknya berusaha membuat pembedaan antara apa yang mereka ajarkan, yang mungkin dapat dipercaya, dan bagaimana mereka hidup, yang mungkin tidak pantas, tidak senonoh? Kita tidak harus membuang bayi ke dalam air kotor. Penyelewengan terhadap suatu jabatan bukannya meniadakan keabsahan jabatan mengajar itu sendiri. Mereka yang mengambil jarak dari Gereja karena mendengar dan melihat perilaku yang tak pantas dari beberapa pelayan Gereja, sungguh ibarat membuang bayi ke dalam sungai.

Lebih lanjut, pesan Injil hari ini berakhir dengan suatu panggilan untuk berlaku rendah hati bagi para pemimpin Kristen dalam menjalankan tugas pewartaan Kabar Gembira. Apa arti pewartaan dalam kerendahan hati? Itu artinya suatu pengakuan bahwa orang-orang yang kepada mereka kita wartakan Kabar Gembira bukan lebih rendah statusnya, tetapi dalam kenyataan mereka sederajat dengan kita di mata Tuhan. Dengan sikap rendah hati, pengajaran lalu tidak menjadi suatu pembicaraan dari atas ke bawah. Lewat pewartaan dalam kerendahan hati, pola dasar hubungan antara pelayan dan umat Allah yang mereka layani bukan seperti pola hubungan antara ayah-anak, atau guru-murid, tetapi saudara-saudara, saudara-saudari atau sahabat-sahabat.

“Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Kristus…..Tidak ada orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:26-28). Amin

Copyright © 10 Maret 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD