Minggu, 15 Maret 2009
Minggu Ketiga Masa Puasa
Kej. 22:1-2.9-13.15-18; 1Kor 1:18.22-25; Mrk 9:2-10
Memasuki Minggu ketiga Masa Puasa ini, saya mengajak kita untuk mengarahkan perhatian pada refleksi tentang Salib sebagai bagian yang paling esensial dari iman Kristen yang sejati. Inilah yang menjadi inti pengajaran Santu Paulus kepada umat di Korintus sebagaimana kita dengar dalam bacaan kedua dalam liturgi pada hari ini.
Menurut Santu Paulus, warta Kristiani adalah warta tentang salib. Inilah penegasannya: ”Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor.1:18). Paulus mengakui bahwa untuk para beriman yang tulen, salib adalah kekuatan Allah, tetapi suatu kebodohan bagi kaum beriman yang tersesat. Ia mengingatkan bahwa jalan salib adalah suatu jalan penuh kesulitan, penderitaan dan pertentangan. Tetapi sebagai orang-orang yang beriman sejati, tak ada pilihan lain kecuali bertahan melangkah mengikuti Yesus, Tuhan yang tersalib dan bangkit. Sesungguhnya, ganjaran bagi iman yang benar bukanlah dari dunia ini. Percaya bahwa pahala untuk kebajikan dapat ditemukan di dunia adalah suatu kekeliruan, karena yang sering dijumpai adalah penyembahan berhala (menyembah kuasa, harta dan kekayaan, dll). Memang, pemberitaan tentang salib berjalan berseberangan dengan prapaganda agama kemakmuran.
Santu Paulus mengakui bahwa ajaran Kristen yang benar, teologi tentang salib, tidak bisa dimengerti lewat standar atau ukuran pemahaman manusiawi. Mengapa? Karena salib, di mata manusia hanya menyingkapkan kelemahan dan kebodohan Allah. Tapi, ingat, Paulus tidak berhenti di sini. Lebih lanjut, dengan keyakinan yang mendalam ia menegaskan, “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia” (1Kor.1:25).
Lebih lanjut Paulus menunjukkan contoh tentang standar pemikiran manusiawi dalam memahami warta kristiani. “Orang Yahudi menghendaki tanda dan orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan, untuk orang orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang yang bukan Yahudi suatu kebodohan. Tetapi untuk mereka yang dipanggil baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1Kor.1:22-24).
Orang-orang Yahudi menuntut tanda-tanda. Menurut kepercayaan mereka, Mesias, Putra Allah harus membuktikan itu melalui tanda-tanda dan mukjizat. Kita tentu masih ingat penegasan Yesus ini: tak ada tanda-tanda dan mukjizat bagi angkatan ini. Ketika setan mencobai Yesus untuk turun dari puncak bubungan Kanisah dan dengan itu rakyat akan percaya kepada-Nya; dan ketika seorang serdadu yang menjaga di bawa kaki salib mengejek Yesus dengan kata-kata “Orang-orang lain Ia selamatkan; tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamatkan. Ia adalah Raja Israel? Baiklah Ia turun dari salib itu dan kami akan percaya kepada-Nya” (Mt 27: 42). Apakah Yesus menyerah kepada pencobaan-pencobaan ini? Apakah Yesus membuktikan harapan-harapan mereka? Tidak! Yesus justru memberikan kepada mereka sebuah tanda negatip. Salib adalah tanda negatip itu. Bagi orang-orang Yahudi, fakta bahwa Yesus yang bergantung di salib, sama sekali tidak membuktikan apa pun bahwa Ia adalah Putra Allah. Sekali lagi, mereka mencari tanda dan mukjizat , tetapi apa yang mereka peroleh adalah Salib, sebuah tanda negatip.
Di pihak lain, orang-orang Yunani menuntut hikmat. Mereka mengembangkan suatu metode berpikir tentang Allah dan mengharapkan Allah bertindak seturut metode berpikir itu. Misalnya, mereka percaya bahwa Allah tidak dapat menderita. Karena itu, Yesus yang menderita dan mati di salib tidak dapat mengklaim diri-Nya sebagai yang ilahi. Di sini, penyaliban Kristus lalu menjadi suatu halangan untuk menerima warta Kristen.
Salib adalah suatu rintangan besar untuk memeluk iman Kristen yang benar bagi orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani. Bagaimana dengan orang-orang Kristen Katolik jaman ini? Apakah salib masih tetap merupakan sebuah problem yang tak terselami maknanya? Apakah kita juga tergoda untuk menyembah agama kemakmuran? Kita berdoa dan menyembah Allah ketika segala sesuatu berjalan baik dalam hidup kita. Tetapi, apakah kita masih bisa berdoa dan menyembah Allah ketika kesulitan datang menerpa dan hidup terasa pahit? Dalam masa puasa ini, baiklah kita berdoa dan memohon agar Allah menambahkan lagi kekuatan iman kita sehingga kita dapat mencintai dan melayani Allah dalam segala kondisi hidup kita, sehingga kita sanggup berkanjang dalam iman yang benar, baik ketika matahari bersinar sejuk pun ketika kegelapan menyelimuti, sehingga kita tetap setia pada iman kita, mencintai dan melayani Allah, pun ketika akan bergantung pada salib dan merasa seperti Allah sungguh-sungguh meninggalkan kita. Amin.
Copyright © 14 Maret 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar