Selasa, Maret 10, 2009

138. Di Dalam Kristus, Kita Adalah Saudara Dan Saudari

Selasa, 10 Maret 2009

Masa Puasa

Bacaan : Mat. 23: 1-12

Adalah sebuah pengalaman menarik, kisah seorang sahabat. Sekelompok misionaris diutus untuk berkarya di Zambia. Ketika tiba mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa hampir semua misionaris yang bekerja di wilayah itu berkebangsaan Amerika. Para misionaris Amerika ini, biasanya menyapa Uskup, yang adalah seorang Afrika, dengan namanya. Sementara itu, umat biasanya menyapa Uskupnya dengan “Tuhanku.” Suatu hari, seorang wanita datang untuk bertemu dengan Uskup. Sebelum bertemua dengan Uskup, ia berjumpa dengan seorang misionaris Amerika. Ia bertanya kepada misionaris tersebut: “Di manakah Tuhanku?” Dengan senyum sang misionaris menjawab: Tuhan kita ada di Tabernakel.”

Vatikan II telah membawa perubahan dan pembaharuan di dalam Gereja. Tetapi adalah menarik bahwa menyangkut titel yang dialamatkan kepada para pemimpin Gereja, tampaknya tidak mengalami perubahan apa pun. Seorang uskup misalnya, biasa disapa dengan “Yang Mulia”, atau seorang kardinal, disapa dengan Sri atau Yang Termasyur.” Tentu kita berpikir begini, bagaimana Gereja mengisinkan penggunaaan titel-titel yang kedengaran sangat mulia, sapaan-sapaan yang dengan jelas menyiratkan adanya tingkatan dalam relasi di antara manusia: Yang superior dan yang Rendah/Bawahan.” Padahal, Gereja terus menerus membaca dan merefleksikan perihal pengajaran Yesus sebagaimana dituturkan oleh penginjil Lukas pada hari ini.

Tentu, kita tidak begitu saja memahami kata-kata Yesus itu secara literer. Pesan yang mau disampaikan Yesus lebih menyentuh pada soal bagaimana menghayati dan melakukannya dengan sikap dan perilaku yang konkrit daripada hanya menggunakan kata-kata atau istilah-istilah belaka. Sebagai contoh, katakan ada seorang nabi yang mendirikan Gereja lalu meminta para pengikutnya manyapa dia dengan “saudara.” Tetapi setiap hari ia duduk di takhta dan saudara-saudarinya datang kepadanya dengan berjalan menggunakan lutut mereka. Atau, seorang pemimpin tinggi di pemerintahan, sebut saja duta, yang secara literer berarti hamba, apakah gelar-gelar itu dapat membuat mereka menjadi cukup rendah hati? Hukum Kristus lebih menuntut perbuatan nyata, nampak dalam sikap dan perilaku, bukan lewat kata-kata indah.

Hari ini dalam Injil, kita justru mendengar Kabar Gembira. Ia tidak meniadakan otoritas ilahi atas jabatan. Orang yang menduduki jabatan sebagai pengajar di tengah-tengah umat Allah, barangkali sebagai pribadi kurang setia, tidak mempraktekkan apa yang ia ajarkan. Tetapi Allah adalah setia dan menjamin sehingga jabatan pengajar tidak terkontaminasi dengan kesalahan, dan dengan demikian ajaran itu sendiri tetap baik dan sah.

“Ahli-ahli Taurat dan Orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu, turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengjarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mt 23:2-3)

Pernahkah kita mempunyai pengalaman yang kurang baik karena mengetahui bahwa beberapa pemimpin Kristen yang bermuka dua, yang munafik seperti ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi sebagaimana dilukiskan dalam Injil hari ini? Tantangan bagi kita adalah sebaiknya berusaha membuat pembedaan antara apa yang mereka ajarkan, yang mungkin dapat dipercaya, dan bagaimana mereka hidup, yang mungkin tidak pantas, tidak senonoh? Kita tidak harus membuang bayi ke dalam air kotor. Penyelewengan terhadap suatu jabatan bukannya meniadakan keabsahan jabatan mengajar itu sendiri. Mereka yang mengambil jarak dari Gereja karena mendengar dan melihat perilaku yang tak pantas dari beberapa pelayan Gereja, sungguh ibarat membuang bayi ke dalam sungai.

Lebih lanjut, pesan Injil hari ini berakhir dengan suatu panggilan untuk berlaku rendah hati bagi para pemimpin Kristen dalam menjalankan tugas pewartaan Kabar Gembira. Apa arti pewartaan dalam kerendahan hati? Itu artinya suatu pengakuan bahwa orang-orang yang kepada mereka kita wartakan Kabar Gembira bukan lebih rendah statusnya, tetapi dalam kenyataan mereka sederajat dengan kita di mata Tuhan. Dengan sikap rendah hati, pengajaran lalu tidak menjadi suatu pembicaraan dari atas ke bawah. Lewat pewartaan dalam kerendahan hati, pola dasar hubungan antara pelayan dan umat Allah yang mereka layani bukan seperti pola hubungan antara ayah-anak, atau guru-murid, tetapi saudara-saudara, saudara-saudari atau sahabat-sahabat.

“Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Kristus…..Tidak ada orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:26-28). Amin

Copyright © 10 Maret 2009, by Paskalis B. Keytimu, SVD

Tidak ada komentar: