Hari Minggu Biasa Keduabelas
Minggu, 21 Juni 2009
Ayub 38:1.8 - 11; 2Kor 5:14-17; Mrk 4: 35-41
Gagasan tentang Gereja ibarat sebuah bahtera tentunya bukan asing bagi telinga kita. Dalam Injil hari ini kita dapat melihat beberapa inspirasi bibilis yang berpautan dengan gagasan tersebut. Perbandingan ini berasal dari Gereja Perdana yang tentunya bertolak dari realitas hidup mereka sendiri. Kebanyakan dari murid-murid pertama adalah para nelayan. Mereka juga biasa mewartakan Khabar Gembira Injil dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menempuh jalan laut. Bagi mereka yang menghabiskan keseharian hidupnya di sekitar laut dan yang memiliki pengetahuan tentang seperti apakah kehidupan di laut, menggunakan perbandingan ini untuk mengkomunikasikan Injil adalah suatu hal yang patut untuk dilakukan.
Gereja yang mengalami penganiayaan dapat mengidentifikasikan dengan pelaut di sebuah kapal dan yang tentunya mengharapkan belaskasihan dari angin topan/badai. Rasul Paulus misalnya, pernah mengalami peristiwa kapal karam. Demikian juga kapal dalam dunia modern dewasa ini, tatkala menghadapi badai yang dahsyat, tentu bukan merupkan suatu pengalaman yang menggembirakan. Para pelaut dan nelayan sangat menyadari tentang bagaimana air laut yang tenang tiba-tiba saja bisa menjadi ganas dan sangat berbahaya. Gereja perdana, pun Gereja zaman ini, dapat merasakan kenyataan-kenyataan hampir ditenggelamkan oleh pelbagai badai kehidupan.
Apa yang benar tentang Gereja, benar juga tentang orang-orang Kristen sebagai pribadi. Ziarah hidup ini semisal sebuah pelayaran di laut lepas dan badai yang terjadi merupakan aneka krisis yang kita alami atau hadapi dalam kehidupan ini. Ada orang-orang tertentu yang terus menerus mengalami badai daripada orang-orang lain, tetapi setiap orang pasti mengalami badai-badai itu dalam hidupnya. Dan seperti para murid dalam Injil hari ini, juga anda dan saya pun Gereja dewasa ini, meskipun sesaat mengalami krisis, cepat-cepat berpaling kepada Allah, dan tidak selamanya dengan perasaan yang menyenangkan.
Mereka berpaling untuk menanyakan apa yang akan Allah lakukan/perbuat. “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa? Kita akan tenggelam!” Seperti para murid, hati dan pikiran kita pun segera terarah kepada Allah manakala krisis datang menerpa; tetapi seiring dengan itu merebak pula keraguan kita kepada-Nya. Memohon sembari meragukan memang tidak baik, tetapi lebih baik sempat berpaling kepada Allah daripada tidak pernah sama sekali. Memohon bantuan Allah ketika dilanda krisis dengan hati yang mendua sama halnya dengan tengah menanyakan kekuasaan Allah. Meski demikian, jika anda dan saya memohon, kita sekaligus akan mendapatkan jawabannya. Para murid bertanya apakah Yesus peduli, dan mereka mendapatkan jawabannya.
Dalam Injil tertulis bahwa Yesus sedang tertidur lelap ketika badai menerjang perahu mereka. Hal itu, tampak seolah-olah Yesus memang tidak peduli. Tetapi pertanyaannya adalah: “Apakah kita tengah berbicara tentang realitas atau tentang persepsi para murid? Apakah Allah memang absen dari dan tak peduli dengan hidup kita atau itu cuma persepsi para murid tentang situasi tertentu?” Entah kita sadar pun tidak menyadari, Yesus tentu benar-benar menyadari akan apa yang akan terjadi pada segala waktu.
Pertanyaan kita kepada Allah pada momen-momen krisis seharusnya membimbing kita untuk menguji sikap-sikap kita kepada-Nya dalam hari-hari baik kehidupan kita. Itu sesungguhnya hanyalah dugaan kita, seolah-olah Allah tengah tertidur lelap, karena kita lagi dihantui kebingungan malah kepanikan. Yesus dihadapkan dengan pertanyaan, “Apakah, Engkau tidak peduli?” Ia menjawab dengan bertanya tentang iman para murid. Mereka seharusnya tahu bahwa Ia adalah Allah dan mereka tidak punya alasan untuk masuk ke dalam kebingungan tersebut. Yesus bertindak pada momen yang tepat. Angin badai meredah dan laut pun menjadi tenang karena perintah-Nya.
Pada saat itu, meskipun mereka adalah murid-murid Yesus, mereka malah bertanyaa-tanya, “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?” Ia adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi. Ia adalah Allah atas ciptaan yang memiliki kekuasaan atas segala ciptaan-Nya. Ia adalah Allah yang memungkinkan kita beriman kepada-Nya. Dan sudah pasti Ia ada pada segala waktu hidup kita dan setia pula menyertai kita.
Menanyai Allah adalah baik jika hal itu selanjutnya membimbing kita dari keadaan tidak mengarahkan pikiran dan hati kepada Allah kepada suatu keyakinan bahwa Allah selalu menyertai kita. Namun keyakinan itu harus dipahami dalam konteks bahwa Allah tentunya tidak menjawabi permohonan kita berdasarkan kehendak kita, melainkan meluluh berdasarkan kehendak-Nya. Laut tidak menjadi tenang untuk semua kapal, ada beberapa yang tenggelam. Gereja bukan diselamatkan dari badai tantangan dan kesulitan dan kadang-kadang kita akan mengalami ketakutan hanya karena Gereja. Anda dan saya sebagai pribadi, tidak diselamatkan dari segala penderitaan. Tetapi semua ini tidak berarti bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, sungguh-sungguh tidak menyertai kita dalam hidup ini atau Allah lagi tertidur pulas. Menanyai atau meragukan Allah Pencipta sama artinya dengan meragukan ciptaan dan eksistensi kita sendiri.
Injil pada hari ini sesungguhnya mengingatkan kita bahwa bukan ALLAH yang tengah tertidur dan seakan-akan tak peduli terhadap kita, tetapi KITA yang sering terlelap tidur kepada-Nya, yang sering mau berjalan seakan-akan kita tidak perlu melibatkan Allah. Kita memiliki iman akan Allah yang selalu bersama dan menyertai kita. Ia adalah Allah yang selalu ingin membawa kita kepada keselamatan kita. Ada saat-saat tertentu kita mungkin menghadapi masalah, krisis untuk melihat langkah-langkah kita menuju keselamatan. Tetapi, hendaklah kita terus berkanjang dalam iman bahwa Allah akan selalu membimbing kita kepada-Nya.
Tuhan, tambahkanlah imanku akan cinta dan kuat kuasa-Mu yang menyelamatkan sehingga saya sanggup mengenali kehadiran-Mu yang abadi bersamaku. Berilah aku rahmat, kekuatan dan dukungan untuk melakukan kehendak-Mu dalam segala situasi dan kondisi kehidupan.” Amin.
CCopyright © 20 Juni 2009, by: P. Paskalis B. Keytimu, SVD