Minggu, 05 Maret 2009
Minggu Palma
Bacaan : Yes 50: 4-7; Fil 2: 6-11; Mrk 14: 1 – 15: 47
Minggu Palma adalah sebuah perayaan yang penuh kontradiksi! Berawal dengan suasana pawai yang gegap gempita dari peziarah yang datang ke Yerusalem untuk merayakan Pesta Paskah umat Yahudi. Sebuah perayaan untuk mengenangkan kembali peristiwa Allah membebaskan umat-Nya dari perbudakan di tanah Mesir. Sebuah perayaan yang syarat makna karena Allah memperbaharui janji-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya dari kejahatah dan sekaligus umat memperbaharui komitmen mereka untuk setia kepada Allah.
Suasana yang ramai itu tidak hanya berasal dari irama ribuan kaki yang menjejakkan langkah pada jalan menuju kota Yerusalem. Kemegahan prosesi itu bertambah semarak juga karena sorak-sorai massa yang memaklumkan bahwa Yesus adalah putra Daud yang datang atas nama Tuhan. Ia adalah Mesias terjanji yang dengan jaya memasuki kota Allah untuk menyatakan kerajaan-Nya. Karenanya mereka lalu tak peduli kalau harus membentangkan pakaiannya di jalan di mana akan dilalui oleh Yesus, Mesias terjanji itu.
Tetapi gemuruh sorak sorai dan puji-pujian itu berubah drastis. Inilah hal-hal yang kontras sebagaimana terlihat dalam kisah sengsara Kristus menurut Santu Markus. Santu Markus melukiskan kisah Sengsara Yesus dengan warna yang sangat suram. Tak seorang pun dari massa itu hadir di bawah kaki salib. Ia tidak mengungkapkan doa Yesus demi pengampunan dosa bagi para penganiaya, atau menjanjikan kebahagiaan Firdaus kepada penjahat yang bertobat. Yesus tidak mempercayakan murid yang dikasihi kepada ibu-Nya. Dan sebelum wafat Yesus juga tidak memaklumkan bahwa Ia telah menyelesaikan misi-Nya, pun tidak menyerahkan hidup dan kematian-Nya ke dalam tangan Bapa.
Dalam kenyataan hanya seruan ini yang terungkap dari atas salib: “Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Daku?” Suatu seruan yang sama sekali tidak dimengerti oleh para penonton yang menyaksikan peristiwa penyaliban itu. Akhirnya, Yesus masuk ke dalam kegelapan kematian tanpa mengucapkan lagi sepata kata pun. Sungguh Markus menghadirkan Kristus yang tersalib dengan perasaan ditinggalkan oleh Allah dan manusia, sungguh-sungguh tidak dipahami.
Belum lagi kontradiksi yang satu ini. Orang-orang yang menobatkan Yesus sebagai Raja dan mengelu-elukan sang Raja ketika memasuki kota Yerusalem, kini mereka juga yang mengejek dan mencelah manakalah Yesus bergantung pada Salib. Pilatus menghukum Dia sebagai Yesus dari Nazareth, Raja orang Yahudi. Sementara para serdadu Roma mengolok-olok Dia sebagai Raja yang dimahkotai duri. Apa yang ironi dari kisah sengsara menurut penginjil Markus adalah setiap orang benar dalam memaklumkan bahwa Yesus adalah Raja, tetapi tak seorang pun yang memahami makna dari kata-kata tersebut.
Bangsa Yahudi mengharapkan seorang pemimpin yang akan membebaskan mereka dari pendudukan Roma, tetapi Yesus justru datang untuk membebaskan kita dari sebuah tirani yang teramat besar, yakni dosa dan kematian. Walaupun kelihatan Yesus dikalahkan oleh kegagalan, tak berdaya dipaku pada salib. Tetapi di sana, pada salib itulah, bukan di sebuah istana, juga bukan di sebuah kenisah,Yesus ditakhtakan sebagai Raja. Sebab dengan kematian pada Salib Yesus menaklukkan segala kekuatan jahat yang menimpah diri-Nya dan pengikut-pengikut-Nya, orang-orang Kristen.
Mengapa Santu Markus melukiskan kisah sengsara Yesus atas cara sangat memprihatinkan? Bagi Markus, Kristus yang tersalib adalah Dia yang telah secara total mengidentifikasikan diri-Nya dengan penderitaan kita. Dan hal itu dimaksudkan agar kita tidak segan-segan untuk mengidentifikasikan diri kita dengan-Nya. Dia, yang telah mengalami kesendirian pada salib, adalah Dia yang selalu menyertai kita, membesarkan hati kita dalam menghadapi penderitaan. Kita dapat mengambil bagian dalam kemenangan-Nya mengatasi kejahatan, jika kita mengangkat salib hidup kita, memanggulnya dan mengikuti Yesus. Kita dapat mengambil bagian dalam kejayaan salib.
Lewat menghadirkan kengerian penderitaan Kristus, Markus menunjukkan bahwa kepekatan kegelapan dari penyaliban sesungguhnya menyingkapkan kemuliaan kemenangan. Bagi Markus makna yang benar dari Kabar Gembira tentang Yesus Kristus , Putra Allah, hanya ditampakkan pada salib. Meskipun semua orang lain tidak memahami Yesus, hanya kepala pasukan yang secara sekilas menyadari jati diri Yesus yang benar. Ia mengakui bahwa sungguh, Kristus adalah Putra Allah.
Pengakuan iman kepala pasukan itu ditempatkan sebagai puncak dari Kisah Sengsara menurut Santu Markus. Ini dilakukannya demi menunjukkan kepada kita bahwa Yesus Kristus, Putra Allah, adalah Hamba Tuhan yang menderita, yang mati pada kayu Salib untuk menyelamatkan kita dari kekuatan jahat. Itulah esensi/intisari/pokok dari Kabar Gembira, dan itulah pula menyingkapkan arti yang benar tentang Yesus sebagai Kristus.
Pada hari ini kita masuk ke dalam gerbang Minggu Suci. Serentak dengan itu, kita sekaligus dipanggil untuk berjalan bersama Yesus. Bersama para peziarah yang melambaikan daun-daun palma, marilah dengan penuh suka cita kita menyambut Yesus sebagai Mesias terjanji. Tapi ingat, kemegahan Kristus sungguh berbeda secara total dengan kemegahan dari bangsa manusia ini. Jalan Salib adalah jalan menuju kemegahan itu. Jika kita ingin masuk ke dalam Kerajaan Kristus dan mengambil bagian dalam kemenangan-Nya, hanya ada satu-satunya jalan, yakni mengikuti Kristus pada jalan Salib, Amin.
Copyright © 25 Maret 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar