Minggu, 31 Mei 2009
Hari Raya Pentekosta
Kis 2:1-11; Gal 5:16-25; Yoh 15: 26-27;16:12-15
Kita tentu masih ingat dengan baik peristiwa bersejarah di tanah air tercinta Indonesia pada tahun 1998, sebelas tahun yang lalu. Bangsa kita memasuki masa baru yang menjanjikan perubahan dan harapan besar bagi kita. Seluruh rakyat Indonesia dihembusi dengan harapan baru bahwa akan ada pemerintahan yang bersih, dan cita-cita warga akan suatu masyarakat yang lebih jujur dan berperikemanusiaan akan tercipta. Demikianlah muatan harapan yang dihembuskan oleh “Angin Reformasi.”
Sejak saat itu, reformasi lalu menjadi kata ajaib. Muncul Orde yang disebut Orde Reformasi dengan mengusung janji, akan membawa kita keluar dari aneka macam krisis. Perobahan, reformasi agaknya mulai menjadi kenyataan. Tetapi sesudah beberapa waktu bergulir ternyata tidak banyak perubahan yang terjadi. Teriakan reformasi sering hanya merupakan satu slogan tanpa makna. Kasus-kasus KKN yang dibongkar dari peti kemas, tiba-tiba menguap begitu saja karena tidak disikapi dengan penuh tanggung jawab atau cuma ditangani dengan setengah hati. Rakyat lebih suka memilih untuk main hakim sendiri karena tidak percaya pada aparat yang belum atau enggan berpihak pada keadilan. Kalau boleh kita bertanya: “Di manakah letak kesalahannya?”
Reformasi, pembaruan dalam hidup pribadi, dalam hidup masyarakat malah negara tidak terwujud karena tidak ada roh atau semangat sejati, tidak ada pembaruan mendasar. Reformasi baru terjadi secara lahiriah. Maka benarlah syair sebuah lagu nostalgia yang berjudul: “Tinggi Gunung Seribu Janji.” Penggalan syair lagu ini antara lain sebagai berikut: Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain dibibir, lain di hati.” Hanya semangat sejati akan perubahan yang mampu merobah manusia dan masyarakatnya. Jadi, betapa penting semangat sejati itu.
Hari ini kita merayakan Pesta Pentakosta. Pentakosta juga disebut pesta kelahiran persekutuan hidup, yakni Gereja. Memang Gereja, sudah mulai sejak Yesus Kristus memanggil dan mengumpulkan sejumlah murid untuk mengikuti-Nya. Namun kelahiran Gereja, kelahiran umat Allah terjadi sejak turunnya Roh Kudus. Karena Roh Kudus yang adalah hadiah Kristus, Roh-Nya sendiri membuat dan merobah hidup Gereja, dari ketakutan kepada keberanian, dari putus asa kepada semangat hidup baru. Roh adalah nafas kehidupan Gereja. Gereja hidup, kita hidup karena semangat, karena Roh baru.
Roh Allah itu dapat kita terjemahkan dengan pengertian Semangat Sejati, Semangat Baru, Semangat dari Allah sendiri. Roh Allah itu adalah seperti nafas hidup. Seperti segala makhluk akan mati jika tidak ada nafas, demikian kita orang Kristen, tidak bisa hidup sebagai orang Kristen jika tidak ada nafas hidup dari Allah. Tentu saja, semangat atau nafas hidup atau Roh Allah ini bukan semangat sembarangan, melainkan semangat akan keselamatan, akan kebaikan, akan cinta kasih, akan kehidupan. Reformasi yang didambakan banyak orang, hingga kini belum sungguh-sungguh terjadi, masih macet, masih mogok di tengah jalan, karena kita masih belum punya SEMANGAT SEJATI itu. Kita masih diliputi oleh semangat yang lain yang bukan dari Allah, yang bukan sejati.
Bacaan-bacaan Kitab Suci tadi dapat membantu kita untuk menangkap dan memahami bagaimana pengaruh Roh Allah itu. Roh itu mampu merobah hidup dan hati manusia, khususnya hidup orang beriman, hidup para murid.
Kisah Para Rasul, melukiskan dengan jelas bagaimana pengalaman murid-murid yang ditinggalkan Yesus dan bagaimana pengaruh Roh Allah itu setelah turun dan hadir di tengah mereka. Ketika Roh belum turun, para murid dikungkung oleh rasa takut yang mencekam. Mereka tidak berani keluar dan bicara, mereka cuma bisa mengunci diri. Ketika Yesus meninggalkan mereka, para murid dibayangi oleh rasa putus asa. Mereka penuh tanda tanya, ragu-ragu, tidak percaya bahwa misi Yesus akan berlanjut terus. Mereka patah semangat, kehilangan harapan dan semangat hidup untuk bersaksi tentang Yesus. Mereka tidak melihat jalan keluar lain, selain dikuasai oleh kebimbangan. Masa depan Gereja agaknya menuju tahap kehancuran. Inilah keadaan orang beriman, para murid Yesus tanpa kehadiran Roh Allah itu.
Tetapi dengan turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta, semua berubah jadi lain. Para murid mulai angkat bicara. Petrus misalnya, mulai menantang pendengarnya untuk merubah hidup dan memberi diri untuk dibaptis. Mereka berani bersaksi tentang Yesus, malah berani mengecam leluhur Yahudi yang telah menyalibkan Yesus. Inilah semangat pembaruan yang merasuki para murid. Inilah nafas hidup itu, dan itu pula semangat sejati yang tentunya dibutuhkan oleh kita orang beriman dan siapa saja yang berkehendak baik, agar ada perubahan atau reformasi sejati. Dan semangat itu tidak lain adalah Roh Allah sendiri.
Dari peristiwa ini kita dapat menarik beberapa kesimpulan mengenai peranan Roh Kudus, Roh Allah. Pertama-tama, Roh mampu memberi semangat baru, mampu merobah hidup kita dan mampu membuat kita berani tampil sebagai saksi dan tidak akan resiko yang harus ditanggung karena kesaksian itu. Selanjutnya, Roh itu berkuasa, lebih berkuasa dari kecemasan kita. Kita mungkin sering mengeluh, bahwa hidup kita tidak ada perubahan sama sekali. Tetapi apakah kita sempat berpikir bahwa kesalahan barangkali terletak pada diri kita, misalnya, karena kita tidak punya sikap bernanti, tidak memiliki sikap berjaga dan berdoa seperti para rasul bersama Bunda Maria. Mungkin salah kita ialah karena kita kurang memberi tempat yang luas bagi Roh Allah untuk berkarya. Kita lebih percaya diri daripada menyerahkan diri kepada bimbingan Roh Allah. Kita lebih suka dipimpin oleh ingat diri, oleh kepentingan diri daripada rela membiarkan Roh Allah merobah kita dan malah takut dirobah oleh Roh Allah itu.
Sementara dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menjanjikan Roh itu dan menunjukkan peran Roh itu bagi kehidupan kita orang beriman. Roh Kudus adalah pemimpin kita yang sejati kepada kebenaran. Roh itu adalah penghibur kita di masa-masa sulit kehidupan. Roh Kudus adalah Penghibur, apa artinya bagi kita?
Dewasa ini kita menyaksikan dan mungkin merasakan ada banyak tantangan dan kesulitan yang ditujukan kepada orang Kristen. Rasanya cukup beruntung kehidupan saudara-saudari kita di daerah-daerah yang mayoritas Katolik. Tetapi banyak saudara-saudari kita di banyak tempat di tanah air tercinta ini mengalami masa sulit yang menyesakkan. Di tempat di mana kita minoritas, rasanya sulit untuk mendapatkan izin untuk membangun gereja. Bagaimana seharusnya tanggapan kita?
Apakah kita harus balik melawan dengan cara kekerasan. Apakah kita harus terapkan semboyan: “mata ganti mata dan gigi ganti gigi?” Sangat tidak kristen kalau kekerasan dihadapi dengan kekerasan. Kekerasan lawan kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan yang berkepanjangan dan hal itu tak akan pernah berakhir. Maka strategi pendekatan dan tanggapan kita harus lain.
Nah, di sinilah kita membutuhkan inspirasi, hembusan Roh Allah yang mampu menguatkan kita untuk terus menggunakan STRATEGI KASIH, KESABARAN DAN DAMAI di mana situasi yang tidak mendukung. Di sini dibutuhkan roh yang memampukan kita untuk terus bersaksi. Kita membutuhkan Roh Penghibur yang dapat menjadi pembela kita di tengah situasi yang diwarnai permusuhan dan perselisihan. Inilah kekuatan baru, semangat baru yang tak dapat dikalahkan oleh tindakan dan kuasa manusiawi apa pun.
Pentakosta adalah tawaran Roh Allah bagi kita. Roh Allah itu merubah hidup murid-murid perdana. Ada reformasi total dalam kehidupan mereka. Roh itu terpancar dalam perbuatan-perbuatan orang kristen. Roh itu kekuatan, pembela dan penghibur kita di masa penuh tantangan dan kesulitan. Maka, seperti para murid, hendaknya kita pun senantiasa membuka diri bagi hembusan gairah baru Roh Allah, agar kita pun dibarui dan mampu menjukkan gairah baru itu kepada sesama dan siapa saja yang berkehendak baik. Sebagaimana pengalaman para murid, doa adalah tempat istimewa turunnya Roh Kudus, maka kita pun hendaknya memberi tempat bagi doa dalam hidup kita, sambil bernanti, sambil berjaga agar Roh itu datang. Amin.
Copyright © 29 May 2009 by Paskalis B. Keytimu, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar