Senin, 19 Januari 2009
Bacaan : Mk 2, 18 - 22
Kita bertemu sebuah praktek religius yang sangat umum dijalankan oleh komunitas-komunitas religius pada masa Yesus, yakni praktek berpuasa. Para murid Yohanes dan murid-murid kaum Farisi mempraktekan aturan puasa sebagai jalan kemuridan mereka. Karena pelaksanaan praktek itulah mereka merasa memiliki hak juga untuk mengkritisi para murid Yesus bersama guru mereka. Dan Yesus menjawab mereka dengan sebuah lukisan yang jelas dan menyentuh inti praktek keagamaan mereka.
Markus melukiskan kata-kata Yesus demikian, "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. Tidak seorangpun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya. Demikian juga tidak seorangpun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula."
Jawaban yang menunjukkan bahwa inti dari segala praktek keagamaan hendaknya menyentuh aspek interior yakni hati manusia. Praktek lahiriah memang perlu tetapi bukan itulah yang menunjukan kemurnian hati atau keindahan hidup manusia. Lebih dari itu, ketika seseorang menerima Yesus sebagai mempelainya atau sebagai penyelamat dalam kehidupannya, mereka sebenarnya tengah merangkul Dia yang memberikan kepada mereka kebahagiaan da kegembiraan yang sejati yang diperlukan manusia.
Sebuah jawaban yang secara sangat jelas menegaskan bahwa keselamatan sejati ada di dalam hati bukannya terletak dalam praktek-praktek yang bersifat lahiriah semata. Mengapa Yesus katakan demikian? Karena jika datang saat-saat sulit dalam hidup kemuridan, yang memiliki kegembiraan sejati di hati biasanya jauh lebih bertahan daripada mereka yang mengutamakan aturan lahiriah dalam kehidupan keagamaan mereka. Orang yang memiliki kegembiraan di hati mereka akan memiliki keberanian mengatasi saat sulit, karena hati mereka dipenuhi cinta dan kepercayaan. Apa sebabnya yang terdalam? Karena di hati mereka Tuhan bertakhta.
Kebahagiaan dan kegembiraan sejati yang tak lain adalah keselamatan memang bukan ditemukan dalam kebanggaan karena menjalankan berbagai aturan keagamaan, walaupun bagus seperti halnya praktek puasa, tetapi terutama terletak dalam hal mengasihi Yesus Tuhan di atas segalanya. Dan cinta yang demikianlah yang memberi kebaruan dalam seluruh ziarah hidup manusia.
Tuhan Yesus, terimakasih atas ajaranMu. Bahwa kebaruan hidup manusia terutama dalam mencintai secara benar. Dan cinta yang benar itu hendaknya bertolak dari cinta kepadaMu sebagai Tuhan dan Juruselamat kami. Amin.
Copyright © 18 Januari 2009 by Ansel Meo SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar