Dengan begitu banyaknya perintah semacam ini, bisa dibayangkan betapa sulitnya mempelajari-nya. Dan kalau sudah sulit untuk mempelajari-nya, betapa lebih sulit lagi untuk mempraktek-kannya. Bisa dimengerti kenapa para ahli Taurat mengutuki orang banyak dengan ung-kapan bahwa mereka tak mengenal hukum, “Tetapi orang banyak ini yang tidak mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka” (Yoh 7, 49). Dan Yesus melihat kenyataan seperti itu sebagai beban yang berat, yang meletihkan dan menekan orang (Mat 11,28). Dan dalam Injil hari ini Yesus ditanya oleh seorang ahli Taurat, “Guru, hukum manakah yang terutama (dari 613 perintah) dalam Hukum Taurat?” Dan Yesus menjawab dengan satu referensi kepada pengakuan iman Israel yang terkenal itu, yang dikenal sebagai ‘shema Israel’, yang diucapkan setiap hari. Dan Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Ul 6,5). Jadi, tak ada yang baru dalam Sabda Yesus khan? Boleh jadi. Karena sebelum Yesus, ada rabbi Hilel misalnya yang mengatakan, “Inti dari hukum Taurat adalah ’Apa yang tidak kau sukai, janganlah lakukan hal itu kepada sesamamu!’ sedangkan yang sisanya adalah komentar atas Hukum Taurat.” Tapi tunggu dulu. Ada sesuatu yang baru di sini. Apa itu? Itulah konsep mereka tentang sesama. Orang Israel hanya memahami saudara sebangsanya sebagai sesama, sedangkan Yesus mengajarkan bahwa semua manusia adalah sesama, bahkan juga musuh (lihat Mat 5,43-48). Maka kata Yesus, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Dan Ia melanjutkan, “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” Kasihilah Tuhan Allahmu! Dan kasihilah sesamamu! Itulah yang utama. Itulah pilihan hidup dan pilihan dalam karya pelayanan. Satu hal jelas di sini: ada hubungan yang tak terpisahkan antara cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. Antara kewajiban menjalankan ibadat dan agama dan praktek hidup harian. Bahkan ketika tidak disinggung sedikitpun tentang kasih kepada Tuhan, ketika seorang mengatakan ‘aku mencintai kamu’ dia sebenarnya tengah menegaskan bahwa Tuhan hadir dalam saudaranya di hadapannya. Itulah sebabnya, Paulus misalnya, mengatakan, “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’.”(Gal 5,14). Lalu, bagaimana mencintai Allah? Mencintai sesama ya, mungkin tetapi mencintai Allah, bagaimana caranya? Apakah mungkin tak memisahkan keduanya? Ya, kalau kita mengerti dan mngenal Allah macam mana yang sedang Yesus wartakan. Allah yang Yesus wartakan tak pernah meminta sesuatu tanpa menunjukkannya lebih dahulu. Allahnya Yesus adalah Dia yang melayani manusia, Dia yang mencuci kaki dan meminta kita melakukan hal yang sama, sebagaimana Yohanes mengingatkan, “Kalau Tuhan mengasihi kita, kitapun harus mengasihi satu sama lain” (1 Yoh 4,11). Allah yang Ia wartakan adalah Allah yang karena kasihNya rela menumpahkan darahNya bagi dia yang dikasihiNya. Nah, jika demikianlah Allah yang Ia wartakan, maka mencintai Allah berarti mencontohi Dia yang mencintai sesama. Itu juga berarti mengasihi semua orang, terutama mereka yang terpinggirkan, yang kurang disukai, yang asing dan tak dikenal. Karena mengasihi manusia adalah mengasihi seseorang yang diciptakan dalam keserupaan dengan Allah (Kej 1,27). Tuhan, semoga kami tetap sadar dan mengimani Dikau yang menciptakan setiap orang seturut gambaran dan citraMu sendiri. Dan semoga kami mencintaiMu di dalam mereka. Amin.
Copyright © 26 Oktober 2008, by Anselm Meo, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar